Tentang Agama dan Manusia yang Berpikir

Bagian 1

Banyak agamawan berpendapat bahwa manusia harus membatasi akalnya. Saya punya pernyataan khusus terkait ini, pertama, jika tujuan kita adalah beragama yang baik, kita memang tidak perlu menggunakan akal terlalu banyak. Yang perlu kita lakukan hanya percaya dan mengikuti yang dikatakan agama. 

Kedua, jika tujuan kita adalah beragama dan bermanusia yang baik, kita perlu menggunakan agama dan akal dengan seimbang. Supaya dua tujuan tadi bisa dicapai, penerapan usaha sesuai porsi antara tujuan beragama dan bermanusia, dengan demikian, sangat dibutuhkan. Meskipun pada bagiannya, kedua hal ini bertentangan. 

Ketiga, jika tujuan kita adalah bermanusia seutuhnya yang mana juga sejalan dengan ajaran agama bahwa agama tidak pernah jauh dari kemanusiaan, yang perlu dilakukan adalah penerapan usaha secara penuh pada kemanusiaan kita. Kita perlu memperhatikan potensi kita dalam bermanusia. 

Ketika berbicara itu, yaitu tujuan bermanusia secara utuh, hal yang harus dilakukan tentu melihat kemanusiaan kita, apa yang paling berpengaruh pada posisi antara menjadi manusia dan tidak menjadi manusia. Dengan kata lain, jika sesuatu itu hilang dari manusia, manusia tidak akan menjadi manusia lagi. Kira-kira apa? Benar, akalnya.

Dalam tulisan ini, saya akan menjelaskan bagaimana kita bermanusia seutuhnya (yaitu kubu terakhir yang saya jelaskan tadi) di tengah gempuran orang-orang yang tidak sepaham dan tidak mengerti tujuan kubu tiga, orang-orang ini pada umumnya adalah dua pertama dari kubu-kubu yang saya jelaskan tadi. Yaitu manusia dengan tujuan beragama seutuhnya dan manusia dengan tujuan bermanusia dan beragama.

Sebelum lanjut pada pembahasan kubu terakhir, saya ingin menekankan bahwa tak seharusnya manusia dengan tujuan-tujuan berbeda, mengklaim kebenaran dan menyalahkan manusia dengan tujuan tentu, karena pada akhirnya kita tidak tau apapun terhadap dunia ini, atau yang kita tau hanya sedikit. Oleh sebab itu, agaknya kurang tepat jika kita bertindak seolah berposisi pada posisi paling benar dan paling tau.

Pada dasarnya kita sangat perlu mengerti posisi orang-orang dengan tujuan tertentu. Karena dalam tiga kubu ini yang paling banyak disalahpahami dan tidak diindahkan keberadaannya adalah kubu terakhir, maka saya merasa perlu untuk menjelaskan kenapa kubu tiga ini memilih hal tersebut?

Pertama mungkin kita bisa menarik sejarah orang-orang kubu tiga ini, dalam sejarah islam, kelompok yang mungkin mirip dengan tujuan tiga ini adalah golongan muktazilah, memang tidak bisa dikatakan sepenuhnya mirip, tapi pada bagian yang cukup fundamental keduanya memiliki kesamaan. Muktazilah dikenal mengusung kemanusiaan manusia, terutama dan yang terpenting mereka menyadari bahwa bagian paling berpengaruh dalam kehidupan manusia adalah akalnya. 

Sebelum lebih lanjut menjelaskan tentang muktazilah, saya ingin menjelaskan yang saya tau tentang muktazilah secara singkat. Muktazilah adalah aliran teologi dalam islam yang mencoba menekankan penggunan akal, dengan kata lain aliran ini sangat menghargai akal dalam setiap aspek kehidupan manusia.

Dalam hal akidah, muktazilah mengambil pendekatan yang rasional dan berargumentasi bahwa akal dan nalar manusia harus digunakan untuk memahami hakikat Tuhan dan kewajiban manusia dalam menjalankan agama. Mereka menolak penggunaan taqlid atau mengikuti tanpa pemahaman secara kritis terhadap ajaran agama. 

Sementara itu, dalam hal etika, muktazilah menekankan pentingnya perilaku yang benar dan adil dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memperjuangkan prinsip-prinsip moral seperti keadilan sosial, persamaan hak, dan toleransi antar agama berdasarkan pentimbangan yang objektif dan logis. Mereka juga menolak ketidakadilan, kekerasan, dan diskriminasi dalam segala bentuknya.

Muktazilah seperti yang sudah disebutkan di atas, berfokus pada akal sebagai sumber utama pengetahuan dan keyakinan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Muktazilah benar-benar menggunakan dan menghargai peran akal dalam memahami agama dan dunia sekitar. 

Mereka sering menolak pemikiran yang hanya didasarkan pada tradisi atau dogma tanpa dasar logis yang kuat. Dalam pandangan Muktazilah, akal juga dipandang sebagai alat untuk memperoleh kebenaran moral dan etika, sehingga mereka mempromosikan pemikiran rasional dan kritis untuk mencapai tujuan tersebut.

Berdasarkan pemahaman bahwa muktazilah menekankan penggunaan akal, saya bisa menyebutkan bahwa nilai-nilai mereka tidak jauh beda dengan kubu tiga yang sudah saya sebutkan di atas. Dari sini apakah kita bisa melihat pola yang sama antara muktazilah dan kubu tiga dengan modernitas? Seperti yang kita tau, manusia zaman modern mengusung nilai-nilai yang memperhatikan penggunaan akal, seperti rasional, logis, analitis, kritis, objektif, empiris, positif, materialistis dan nilai lain serupa menjadi yang utama dalam zaman ini. Ketika saya berbicara kubu tiga, pada dasarnya saya sedang membicarakan manusia modern ini.

Seperti yang sudah juga disinggung sebelumnya bahwa ada nilai-nilai yang berbeda antara muktazilah dan kubu tiga, bagaimanapun pada bagian yang signifikan, mereka berada posisi yang sama. Mari kita lihat perjalanan manusia modern hingga tiba pada kesimpulan bahwa akal yang rasional menjadi pintu mencapai kebenaran dan pada bagiannya, pikiran yang tidak bias akan memberikan keadilan dan kesetaran.

Manusia modern ini telah melalui jalan yang panjang untuk tiba pada kesimpulan tersebut. Mungkin ceritanya bisa kita tarik mulai dari yunani kuno, di mana manusia mencoba melepaskan diri dari mitos. Pemikiran ini terakumulasi melintas zaman, -sebagaimana pernyataan bahwa pada dasarnya satu manusia tidak benar-benar pintar, pengetahuan manusia adalah akumulasi dari pemikiran manusia pada zaman sebelumnya.- dengan demikian manusia tiba pada kesimpulan yang sudah dipertimbangkan oleh banyak kepala. Melalui berbagai pertentangan dan beberapa mengalami persekusi demi mempertahankan posisi akal.

Sekelompok manusia pada zamannya yang mengajak dan mengajarkan kita kembali pada sesuatu yang ada dengan sebenar-benarnya. Ini merupakan semangat pelepasan diri dari mitos-mitos. Tokoh-tokoh ini dikenal sebagai filsuf. Orang yang mencintai kebijaksanaan, mendedikasikan kehidupannya untuk perkembangan pemikiran manusia. Mungkin setiap filsuf memiliki pandanngannya masing-masing yang tidak bisa disederhanakan menjadi satu pemikiran, namun esensinya, setiap pola yang dilakukan para filsuf, adalah semangat untuk setia terhadap kebenaran mengunakan pertimbangan-pertimbangan akal.

Saya bisa berbicara panjang tentang banyak filsuf di setiap zaman, tapi sepertinya akan terlalu panjang, mengingat tulisan ini bukan tentang sejarah filsafat, maka saya merasa hanya perlu menjelaskan semangat semangat para filsuf dalam mencari kebenaran menggunakan akal dan pengamatan pada realitas kehidupan. 

Baik dari zaman sebelum masehi yaitu zaman kuno pra sokrates dan pasca; seperti murid-muridnya, plato dan aristoteles. Mereka setia pada penggunaan akal. Kemudian zaman selanjutnya yaitu abad pertengahan yang terjadi antara abad 4-5 hingga 15 dari agustinus hingga aquinas, di mana kekristenan sudah muncul, oleh sebab itu sebagian filsuf terpengsruh gereja dan menggunakan argumen agamanya, namun tujuannya tetap sama, yaitu mencoba merasionalkan ajaran agama tertebut, meskipun sebagian mengalami banyak pertentangan. Saat itu eropa dikenal sedang berada dalam zaman kegelapan.

Di belahan bumi lain, wilayah islam mengalami zaman cerah, di mana akal budi diposisikan dalam posisi yang seharusnya. Perbedaan pendapat dihargai dan keterbukaan pada pandangan lain mendapat tempat. Pergolakan di eropa mencapai puncak perubahan pada zaman pembaruan, ini dikenal sebagai zaman pembaruan abad 14-17 banyak filsuf yang bermunculan dengan berbagai pemikiran zaman itu, kemudian eropa mengalami zaman cerah yang disebut zaman pencerahan, ini terjadi abad 17-18.

Itulah sejarah singkat tentang manusia-manusia yang memperjuangkan penggunakan akalnya. Usaha mereka menambah kekayaan khazanah pemikiran manusia, yang mulanya berkutat dengan mitos berubah menjadi logos. Di mana posisi akal mendapat tempat yang semestinya. Hingga saat ini. Bahkan kelompok yang dikenal sebagai penentang nilai-nilai modern seperti post-modernis, -bukan berarti mereka melegitimasi penggunaan mitos dalam keseharian kita-, juga menggunakan landasan rasional untuk menyikapi informasi.

Kembali ke pembahasan zaman kita saat ini, zaman modern di mana hasil pikir manusia menghasilkan berbagai penemuan dan mendapat pencapaian dengan berhasil mengembangkan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan yang sangat berguna bagi manusia. Berdasarkan sejarah perkembangan pengetahuan manusia, kita bisa melihat posisi akal menjadi sangat penting. Sebenarnya tanpa dijelaskan pun posisinya sudah terjelaskan dengan sendirinya karena keberadaanya membedakan kita dengan makhluk lain. Jadi apabila ada yang menentangnya, yang ditentang bukanlah kubu tiga atau manusia modern, melainkan menentang kemanusiaan kita sendiri.

Kenapa berpikir itu perlu, kenapa harus melibatkan sains dalam setiap hal? Bukankah dengan demikian kita menuhankan sains? Sains adalah hasil dari hasrat manusia yang tidak pernah ingin berhenti belajar. Sains menyediakan penjelasan rasional dengan bukti empiris. Mengajak kita kembali pada kemanusiaan kita. Dari sekian hal yang dipelajari manusia selama berabad-abad, tujuan manusia adalah mencari tahu mengenai sesuatu, manusia selalu mengajukan pertanyaan dan semua ingin diketahui. Pada akhirnya manusia tiba pada titik di mana sains didefinisikan dan disadari manfaatnya bagi kehidupan manusia. Hingga titik ini, kita bisa merasakan manfaat sains dari berbagai peralatan di sekeliling kita.
Alat-alat itu, jika kita perhatikan, dibuat dengan pengukuran yang jelas untuk mencapai manfaat yang sempurna, efektif, efisien.

Kita hidup dalam kehidupan yang nyata. Semua yang kita lakukan, berdasarkan hukum alam yang di dalamnya terjadi hubungan sebab akibat. Jika kita bertumpu pada sesuatu yang tidak nyata, atau mungkin belum terlihat nyata. Bagaimana mungkin kehidupan nyata kita mengalami perubahan. Misal kita ingin berperilaku adil. Namun pikiran adil itu hanya didasarkan pada sesuatu yang 'tidak nyata' dan penuh bias, perlakukan adil untuk dunia nyata tentu saja tidak akan pernah tercapai. Oleh sebab itu, pentingnya penggunaan akal sebagai dasar (alih-alih berdasar yang lain) dalam berlaku adil untuk kehidupan nyata kita ini.

Bagian 2

Berbicara mengenai aktivitas menggunakan akal atau berpikir, tentu sangat beragam, setiap kebudayaan memiliki corak berpikirnya masing-masing. Namun satu yang umumnya sejalan, dan yang selalu dirindukan oleh nature manusia dalam menghadapi kehidupan nyatanya, yaitu berpikir dengan adil. Berpikir dengan adil artinya memproses informasi sebagaimana adanya, berdasarkan kenyataan kehidupan kita, tidak berdasar pada hayalan atau sesuatu yang tidak jelas adanya, tidak terpengaruh bias emosional atau dogmatis. Tipe berpikir ini disebut berpikir rasional, berpikir menggunakan metode yang sistematis, logis, analitis, berdasarkan informasi yang keberadaannya dapat dipertanggungjawabkan, dan menghasilkan pikiran yang objektif, sesuai yang ada.

Tulisan ini tidak mengatakan bahwa berpikir berdasarkan sesuatu yang tidak ada itu tidak perlu diperbincangkan, keberadaannya masih penting sebagai wadah emosi kita, sebagai makhluk yang berperasa dan tidak sepenuhnya logis. Namun penggunaan tipe berpikir tersebut agaknya akan lebih baik apabila diletakkan di tempat yang benar, misalnya sebagai alat proses kreatif untuk menciptakan karya tulis sastra dan mewadahi kebutuhan spiritual manusia terhadap entitas yang lebih tinggi darinya untuk membuatnya merasa aman secara psikologis.

Berbicara tentang bagaimana manusia secara psikologis dan naluriah membutuhkan entitas yang lebih tinggi darinya, telah dijelaskan dalam sebuah buku yang berjudul "bagaimana tuhan mengubah otak kita", buku ini berupaya menjelaskan kebutuhan kita kepada tuhan dengan lebih manusiawi dan kebumian, berdasarkan hal-hal yang 'nyata' dari pada berusaha memahami dengan ungkapan dogmatis. Disebutkan dalam buku tersebut bahwa manusia memang punya naluri itu, tapi naluri tersebut adalah bentuk dorongan evolusi manusia, ketika ia merenungkan Tuhan cukup lama, syaraf otaknya berubah, manusia menjadi makhluk yang butuh akan Tuhan. Pandangan ini bisa kita lihat sama seperti bagaimana manusia purba memiliki rambut di seluruh tubuhnya, mungkin saat itu rambut di tubuh sangat dibutuhkan berdasarkan kondisi alam di mana ia tinggal, dan karena kemudian manusia berevolusi, ia kehilangan rambut-rambut tersebut.

Itu sedikit contoh tentang bagaimana kita menggunakan akal berdasarkan hal-hal sebagaimana adanya dalam alam nyata kita. Poin berikutnya akan dijelaskan lebih lanjut contoh serupa untuk menekankan mengapa kubu tiga memilih menggunakan akal, dari pada mempercayai hal yang tidak berdasar seperti mitos atau hal dogmatis lainnya.

Kubu tiga dan orang-orang lain yang merasa perlu 'memikirkan' pernyataan dogmatis untuk membuatnya menjadi lebih rasional berdasarkan fakta yang ada, juga dilakukan orang-orang abad pertengahan di eropa. Banyak filsuf sekaligus teolog yang mencoba 'memikirkannya'. Mereka optimis melakukan itu, mereka berfilsafat. Meskipun pada akhirnya, filsafat yang mereka gunakan dianggap hamba agama, karena filsafat saat itu dikembangkan dalam rangka membenarkan atau menjelaskan apa yang sebenarnya disampaikan dalam sumber wahyu. Selain itu, mereka juga mendapatkan penolakan dari pihak gereja. Kendati demikian, mereka tidak menyerah menjelaskan agama dengan filsafat, oleh sebab itu lahir konseo seperti causa prima dan secunda untuk menjelaskan wahyu menggunakan pikiran-pikiran logis manusia.

Kendati demikian, jalan bercabang antara pendapat dogmatis dan akal pikir manusia agaknya makin menjauh. Kabut tebal menutupi masa depan mitos atau anggapan tidak berdasar untuk berkembang di kemudian hari. 

Bagaimanapun, orang abad pertengahan sangat optimis bahwa akal bisa didamaikan dengan agama, seiring berjalannya waktu, banyak yang mereka coba jelaskan. Namun pada akhirnya usaha untuk berjalan di jalan-jalan wahyu dengan sendirinya gagalz apa lagi didukung dengan perkembangan ilmu pengetahuan, semua yang berbau mitos bisa dijawab dengan ilmu, pada akhirnya banyak pemikiran abad pertengahan yang tidak sejalan dengan jalan wahyu. Inilah gambaran bagaimana akal kemudian di pilih sebagai jalan yang tepat untuk mengahadapi ketidakpastian masa depan.

Kenapa keanehan-keanehan yang belum terpecahkan atau tidak terdefinisikan tidak disebut sebagai misteri Tuhan? Dan agamawan akan berkata "Ketidakmampuan untuk mengetahui sesuatu, bukan berarti sesuatu itu tidak ada." Jawbannya sederhana, jika semua yang tidak kita ketahui disebut sebagai misteri Tuhan, bukahkah saat itu juga kita sedang membatasi pikiran kita mengenai segala pengetahuan yang lain di luar itu? Agamawan mungkin menganggap fenomena aneh yang terjadi di alam sebagai misteri Tuhan, tapi orang yang penasaran, akan tetap mencari tau mengenai itu. Mereka belum menarik kesimpulan atas sesuatu yang belum jelas. 

Selain itu, ketika kita menganggap keanehan-keanehan dunia sebagai misteri keberadaan Tuhan. Bukankah dengan 'manja (baca: tidakpeduli)' kita menggunakan istilah Tuhan untuk hal yang sepele? Seperti yang kita tau, agama disebut sebagai keyakinan atau kepercayaan, kita hanya yakin dan percaya, terlepas dari yang dipercayai adalah sebuah fakta atau bukan. Katakanlah ada beberapa argumen kitab suci yang terbukti benar secara saintifik, alih-alih mempercayai sebagai sebuah keajaiban, kita punya pilihan untuk berkata bahwa itu kebetulan atau dengan kemungkinan lain yang lebih manusiawi dan membumi. Tentu kita tidak bisa melupakan kenyataan bahwa banyak argumen yang belum terbukti, termasuk argumen mengenai keberadaan Tuhan itu sendiri. Tulisan ini tidak untuk membuktikan Tuhan. Tulisan ini hanya mengajak kita semua berpikir berlandaskan kemanusiaan kita, karena akhir-akhir ini banyak manusia terlena menjadi Tuhan. Saya berpendapat bahwa berpikir dalam beragama sangat diperlukan di masa di mana kehausan akan pengakuan ketaqwaan dan kurangnya pemikiran kritis merajalela.

Pada akhirnya, jika kita melihat alam, alam memiliki otoritas mandiri, yang kita kenal sebagai hukum alam. Hal itu berlaku pasti, contoh jika kita menjatuhkan telur ke atas tanah dari ketinggian dua meter, maka telur itu akan pecah. Hukum ini berlaku di manapun, tak terbatas wilayah negara atau ras tertentu. Di manapun telur dijatuhkan dengan kondisi seperti itu, ia akan pecah. Inilah yang disebut otoritas alam. Meskipun kita mendoakankan berulang kali supaya tidak pecah, bagaimanapun terlur akan pecah. Alam memiliki hukumnya yang mandiri.

Otoritas alam ini kemudian didefinisikan oleh manusia dengan simbol-simbol dan lahir sebagai sains. Dengan kondisi semacam itu, sepasti itu. Bagaimana entitas gaib mencampuri hukum alam? Apakah kuasa entitas tersebut terikat dengan otoritas alam, atau Ia bebas? Jika bebas dan terlepas dari otoritas alam, doa yang manusia panjatkan tidak pernah punya pengaruh apapun kepada kehidupan ini kecuali pengaruh psikologis, karena bagaimana mungkin entitas tersebut punya pengaruh apabila alam berjalan dengan mandiri berdasarkan hukum-hukumnya. Jika otoritas alam adalah otoritas entitas, maka entitas tersebut terikat dengan otoritas alam yang ia ciptakan sendiri. Jika alam berkata 1+1 maka harus 2 jadi entitas tersebut harus ikut menjawab 2. Kesimpulannya, entitas tersebut tidak bebas? Mari berhenti membahas itu.

Kita bedakan antara sesuatu yang ada sebagaimana adanya dan sesuatu yang ada tapi tidak kita ketahui keberadaannya. Dengan memikirkan sesuatu yang ada kita dapat dengan mudah menjangkau dan mengukurnya karena keberadaanya ada dalam dunia kita. Ketika berhadapan dengan yang tidak pasti, manusia akan kebingungan, yang tak terukur memang menjengkelkan dan menggelisahkan, tapi keberadaannya melengkapi sisi manusia yang lain, kebutuhan emosional psikologis, manusia sebagai makhluk penuh rasa. Oleh sebab itu datang mitos-mitos untuk menjelaskan sesuatu yang tidak ada tersebut dengan gambaran-gambaran yang pada dasarnya tidak faktual. Kendati demikian, posisi kubu tiga masih terus mempertanyakannya untuk bisa terbebas dari mitos-mitos. Ia tak bergeser posisi sedikitpun dalam memahami dunianya yang terukur ini. Kemudian, yang tak terukur tersebut disebut sebagai 'permainan rasa' yang bagaimanapun keberadaannya dibutuhkan oleh kita.

Pada posisi ini, kubu tiga terus mempertanyakan keberadaan entitas gaib di antara dunianya yang terukur. Ada keinginan untuk melupakannya namun ia secara natural masih membutuhkannya. Dia membutuhkannya untuk menciptakan makna dalam hidupnya dan semesta, meskipun ia tau bahwa ia bisa saja membuat makna-makna yang rasional tentang hidup, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hawking dalam sebuah wawancara. Kubu tiga juga percaya semua yang dianggap gaib dapat dijelaskan dengan akal. 

Bagaimanapun, ketiadaan diri manusia setelah kematian, menimbulkan rasa untuk selalu merasa ada dan abadi, oleh sebab itu manusia menciptakan 'kemungkinan keberadaan kehidupan' setelah kematian, untuk mempertahankan eksistensinya. Dengan demikian, keberadaan mitos-mitos tentang kematian, menjadi masuk akal. Meskipun manusia secara natural memiliki kebutuhan atas entitas lain, bagaimanapun itu tidak membuktikan kebwradaan entitas tersebut, tapi apakah penting untuk membutkikannya ketika keberadaannya sendiri menjadi manfaat bagi manusia secara natural. Karena manusia memiliki kebutuhan itu, bisa jadi kebutuhan itu bukan lshir dari realitas, melainkan sebuah produk hasrat manusia yang butuh tadi, dan pada akhirnya sebenarnya manusia membodohi dirinya sendiri.

Ada saat-saat tertentu bagi kubu tiga untuk meragukan entitas itu, tapi ia tidak pernah menolaknya seutuhnya. Kebutuhan-kebutuhan itu membawa kerinduan tersendiri terhadap entitas gaib tersebut. Di sisi lain, kehidupan yang nyata terhampar di depan matanya, kendati manusia memiliki kapasitas kognitif untuk berkesimpulan tentangnya, tapi kapasitas ini tidak pernah menunjukkan atau menolak keberadaanya yang sejati. Meskipun ia seringkali menolak kesimpulan para atheis di sekitarnya, tapi pendapat atheis selalu masuk akal. Ini sebuah dilema bagi seorang kubu tiga.

Bagaimanapun kubu tiga sangat terobsesi pada Tuhan. Kenyataan menunjukkan begitu banyak tuhan berbicara, begitu banyak konflik antar agama, konflik di dalam agama itu sendiri, konflik agama versus pemerintah, konflik orang yg percaya agama versus orang yg tidak percaya agama. Dari sanalah pertanyaan tentang Tuhan bermunculan. 
Satu hal yang ia bisa coba adalah menggunakan argumen apriori, seperti argumen matematis, jika testimoni orang-orang kebih sulit dipercaya. Kendati demikian, argumen tersebut membutuhkan bukti pada akhirnya.

Agamawan berpendapat tentangnya, mengaku mengetahuinya dengan sangat yakin, meski nyatanya itu hanya opini mereka. Dan orang seperti kubu tiga termasuk juga saintis juga mengaku mengatahuinya, meski itu hanya dugaan terbaiknya tentang keberadaan itu. Definisi-definisi tentang entitas tersebut dibangun, tapi tak satupun dibangun berdasarkan bukti, tapi ketika entitas itu terbukti, mau ataupun tidak ia terlahir sebagai entitas yang lemah, karena kuasanya telah dikuasai manusia yang mendefinisikannya, menjadikannya sebagai objek pengetahuan dan membajak namanya berdasarkan upaya sombong yang dilukiskan sebagai yang paling suci, tak jarang menjual beli namanya sesuai keinginan dan kepentingannya. Oleh sebab itu, definisi-definisi ini ditolak oleh kubu tiga, perlu diingat bahwa ia tidak pernah menolak entitas yang sejati. Kadang ia mengkritik agama bukan untuk merendahkannya, tapi untuk menunjukkan lemahnya definisi orang-orang yang mengaku paling tau tentangnya. Ia tidak pernah memuji pembuat definisi-definisi paling tau itu, sebaliknya, ia menantangnya.

Bagian 3

Jika kita melihat sejarah, entitas gaib ini berubah-ubah menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakatnya. Dimulai dari bentuknya yang paling sederhana seperti kekuatan gaib dan ruh, yg berangsur ditinggalkan dan tidak disembah lagi. Kemudian beralih ke yg lebih tinggi seperti dewa-dewi. Selanjutnya terbentuk dewa tertinggi, tanpa menghilangkan dewa lain. Yang terakhir monoteisme, yaitu menghilangkan semua dewa kecuali satu, yang kemudian disebut satu-satunya. Lalu, jika suatu saat kondisi masyarakat sudah semakin maju, bukan tidak mungkin yang satu ini sudah semakin usang dan ditinggalkan, karena tidak ada pembaruan dan keberadaannya tidak relevan lagi. Maka agamawan berduyun-duyun melakukan pembaruan bagi keberlangsungannya.

Pola ini bisa kita lihat apabila kita menggunakan akal kita, mengamati sejarah tentang entitas gaib ini dengan seksama. Kita akan tiba pada pertanyaan, sebenarnya entitas ini benar ada atau kita membuatnya? Mengingat keberadaannya disesuai dengan kebutuhan kita. Orang-orang seperti kubu tiga akan berkata, seperti yang sudah dijelaskan di awal, entitas ini secara objektif tidak ada dan tidak penting. Namun secara psikologis ada dan penting. Tidak ada secara empiris tapi ada secara spiritual, sebagai nilai-nilai yang diyakini.

Jika agama diperdebatakan, keberadaannya berusaha dirasionalkan, tidak akan ada titik temu yang pasti untuk mencapai kesepakatan. Sebagaimana yang telah dilakukan thomas aquinas pada abad pertengahan. Ia memperkenalkan lima jalan untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Pada bagian ini aquinas mungkin berhasil, mengingat jabarannya masih relevan hingga kini, namun pembuktiannya tidak lain adalah sama persis seperti "dugaan terbaik" yang dikemukakan para saintis yang sebelumnya telah dijelaskan. Pada bagian yang lain, aquinas tidak berhasil melakukan penyelarasan.

Terlepas dari usaha manusia untuk membuktikan entitas tinggi tersebut. Ada pertanyaan yang butuh jawaban pasti terkait agama dan kemanusiaan kita. Kenapa manusia harus beragama? Ketika di belahan bumi lain kita melihat kelompok tanpa Tuhan hidup damai, dan di bagian yang lain, kelompok bertuhan penuh kebencian dan teror. Kiranya apa yang akan menjadi jawaban dari pertanyaan tersebut?

Kita tau agama adalah seperangkat aturan untuk mendisiplinkan manusia (untuk mencapai kehidupan yang baik di dunia dan kehidupan setelahnya). Lalu jika tanpa agama kehidupan manusia telah terdisiplinkan, apakah agama menjadi tidak penting? Jawaban yang jelas adalah manusia tanpa agama, dengan sendirinya akan menciptakan aturan-aturan untuk hidupnya, berdasarkan akal budi. Sama seperti yang sebagaimana kita kenal sebagai hukum positif. Karena bagaimana mungkin sesuatu dianggap disiplin jika tidak ada aturan. Aturan adalah tolak ukur seseorang disebut disiplin. Kata 'disiplin' muncul karena adanya aturan. Jadi harus ada aturan untuk mengukur manusia menjadi disiplin atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan tadi, yang jelas aturan agama bisa digantikan oleh aturan lain.

Di sisi lain, jika agamawan membalas dengan bertanya-tanya kenapa manusia harus merasionalkan agama dengan akal? Dengan membaca tulisan ini, sepertinya pertanyaan itu terjawab dengan sendirinya. Selain itu, meskipun manusia didominasi oleh perasaan, kita tau betul bahwa manusia juga makhluk berakal yang logis. Manusia memang terlahir dan tumbuh demikian. Jika penolakan untuk berpikir dilakukan, pada dasarnya tindakan ini menyalahi kemanusiaan kita. Terlepas dari kerugian-kerugian yang didapat jika berhenti melakukan upaya berpikir, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya.

Kehidupan adalah pilihan-pilihan, dan pilihan terbaik adalah yang berlandaskan nilai-nilai baik bersama, tidak merugikan orang lain. Bagaimana kalau kita menilai agama secara objektif? Kita akan tiba pada kesimpulan bahwa agama dibutuhkan, meskipun di sisi lain ajaran agama memiliki ketidaksesuaian dengan akal budi. Pada situasi ini agamawan menghibur diri dengan mengatakan bahwa kita tidak tau makna tersirat di balik ajaran agama tertentu, dan mungkin kita memang tidak tau. Tapi bagaimanpun. Kita masih bisa memilih, karena kehidupan memang tentang itu. Meskipun pada dasarnya sulit meninggalkan ajaran yang sudah tertanam dan mengakar kuat sejak lama. Tapi pikiran atau apa yang disebut sebagai "cara berpikir yang benar" melalui metodenya yang sistematis berusaha menguak kenyataan bahwa ini seperti berita yang diterima begitu saja dan tanpa sedikitpun dipikir ulang.

Sebagai manusia polos yang penuh tanya, anak-anak tumbuh dengan pertanyaan-pertanyaan tentang alam semesta. Kemudian kreativitas itu dibatasi oleh orang tua mereka. Kebanyakan dari mereka diperintahkan untuk patuh. Mereka tumbuh dengan pola asuh seperti itu hingga mereka dewasa. Kita bisa melihat pola ini sama dengan laju "berita tak terkonfirmasi" di internet. Lajunya sama, diulang-ulang, kemudian dianggap benar. Jika tak pernah ada yang berusaha mengkonfirmasi dengan akal budi, berita tersebut menjadi 'kebenaran' bagi sebagian orang. Ketika kita berpikir dan berkomentar tentangnya, orang-orang tersebut akan menganggap kita telah melakukan dosa, karena pada bagiannya berita ini akan berada pada posisinya yang tak terbantahkan.

Bagian 4

Mari melihat sesuatu dengan lebih adil. Jika kita melihat bentuk rumah A dari dalam, kita tidak akan pernah tau bentuk rumah A secara keseluruhan. Jika kita mencoba melihat bentuk rumah B dari dalam rumah A, kita tentu saja gak akan pernah lihat rumah B dengan jelas. Satu-satunya yang bisa kita lakukan untuk berlaku adil adalah melihat rumah dari luar. Entah saat melihat rumah A dan melihat rumah B, melihat dengan akacamata yang lebih luas. Dengan demikian, kita bisa melihat bentuknya dengan jelas. Hal ini juga berlaku saat berusaha melihat agama.

Orang Buddha terlihat menyembah patung Buddha. Orang Kristen terlihat menyembah patung Yesus/Salib. Orang Islam terlihat menyembah Ka'bah. Semuanya 'terlihat' demikian, akan ditafsirkan salah oleh yang belum mengerti. Terlepas dari itu, semuanya hanyalah arah untuk menghadapkan diri kepada Tuhan mereka masing-masing. Oleh sebab itu, sangat perlu berlaku adil cara-cara seperti yang telah disebutkan. Di sisi lain, sesama umat beragama, seringkali kita tidak menghormati Tuhan agama lain yang disimbolkan seperti manusia. Padahal tanpa sadar kita menggambarkan Tuhan kita sendiri dengan gambaran manusia juga, bisa melihat, bisa mendengar, bisa berkata-kata dan lain-lain yang kemudian digambarkan punya kemampuan luar biasa. Bedanya hanya kita menggambarkannya dalam pikiran dan tulisan. Sedangkan mereka membuat patung.

Ketika kita mengutuk Aliran A, berusahalah untuk memahami A. Ketika kita menolak aliran B, berusahalah menjadi bagian darinya. Dengan begitu, kita akan mendapatkan "rasa" bagaimana berada di posisi orang-orang yang ditolak. Pemahaman kita akan bertambah. Beginilah berlaku adil menggunakan akal kita. Melihat sesuatu dengan lebih objektif. Ketika akal pikir ditanggalkan. Ia akan melihat alam melalui bingkai pikir buatannya sendiri. Bukan berdasarkan sebenar-benarnya. Dengan ini kita juga tau bagaimana menghargai posisi manusia lain, menghargai hak-haknya untuk mengekspresikan dirinya dalam keyakinannya. Kelompok tertolak menggambarkan dengan jelas betapa kita sangat tidak adil, contoh lainnya, orang Islam di negara non-muslim dipaksa melepas hijab. Sedangkan di negara mayoritas islam, orang Islam memaksa non-muslim mengenakan hijab. Jika kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melihat tidak hanya dengan katamata kita, kita akan melihat kengerian-kengerian itu.

Oleh sebab itu, penggunaan akal menjadi sangat perlu. Banyak yang meyudutkan kubu tiga karena selalu mengedepankan akal dalam menalar Tuhan. Kubu lainnya tidak mengerti bahwa menalar memang butuh akal. Menalar berbeda dengan menghayati 'keberadaan' Tuhan, dalam penghayatan kita tidak perlu nalar. Cukup "merasakan". Terlepas dari bagaimana proses bernalar, kita tidak bisa diam melihat kengerian-kengerian yang terjadi apabila kita tidak pernah menggunakan nalar.

Jawaban dari pertanyaan kenapa kubu tiga sering menekankan penggunaan akal dalam beragama, jawabannya sangat jelas, tidak lain dan tidak bukan adalah karena kubu tiga tidak rela membiarkan ketidakadilan hidup ada di muka bumi. Keberadaan akal mendukung penerapan agama dengan lebih manusiawi, tertakar lebih baik dan tidak delusional.

Ketika kubu tiga mengajak menalar Tuhan, ia menawarkan kebaikan bersama. Tapi bagi yang tidak berkenan, pemaksaan tidak pernah ada dalam benak kubu tiga, karena ia tau yang diperjuangkan adalah keadilan, oleh seba itu ia tidak akan memperjuangkannya dengan cara memaksa. Tentu kubu tiga berharap agamawan menghayati keberadaan Tuhan mereka masing-masing tanpa sibuk mengurus orang-orang seperti kubu tiga. Namun nyatanya saat ini, kubu lain terutama kubu pertama, terlalu sibuk menjadi Tuhan dan mengurusi orang lain daripada menghayati keberadaan Tuhan masing-masing. Ketidakadilan tidak bisa dibiarkan. Tidak ada jalan lain selain memandang sesuatu dengan baik dan benar, menggunakan akal yang telah dikarunia pencipta kita semua.

Selain itu, saya akan mengambil tulisan ibn arabi tentang kehendak tuhan menciptakan perbedaan dan tugas keterbukaan yang sebaiknya kita lakukan. Dalam kitab fusus al hikam ibn arabi menggambarkan hal ini dengan sangat baik. Beliau berkata, jika kita mengerti makna peribahasa berikut "warna air adalah warna wadahnya" maka kita mengakui keabsahan semua kepercayaan bahwa tuhan memang menciptakan itu.
Tentang keterbukaan kita beliau berkata, berhati-hatilah dalam membatasi diri pada sebuab kepercayaan dan menolaknyang lain. Sesungguhnya banyak kebaikan akan menghindarimu, pengetahuan akan kebenaran akan meninggalkanmu. Jadilah diri sendiri, karena Tuhan terlalu luas untuk dibatasi pada satu kepercayaan.

Pada kenyataannya, kita terlalu tertutup. Akal hanya digunakan ketika agama tidak memiliki jawaban, yang pada dasarnya, hal ini merupakan tafsir. Ini yang menyebabkan kita mengalami kemunduran, sebagaimana yang terabadikan dalam sejarah. Kemunduran di dunia Islam diakibatkan melemahnya penalaran secara rasional terhadap agama. Perkembangan pemikiran rasional semakin menurun, bahkan tergantikan oleh pemikiran tradisional. Pemikiran tradisional pada abad ini ditandai pada sikap peniruan (taqlid) terhadap hasil ijtihad ulama zaman klasik. Sikap peniruan ini terkadang dikultuskan (disucikan), sehingga sesuatu yang berlainan dengan pendapat ulama klasik merupakan tindakan penyimpangan.

Padahal sebelumnya, ketika eropa berada dalam zaman kegelapan, orang-orang islam sangat terbuka. Bahkan, sebelum eropa mengenal konsep atheisme, banyak pemikir islam yg atheis, itu terjadi ketika era keterbukaan akan ilmu pengetahuan dan juga termasuk jaman keemasan islam, di mana perbedaan pendapat dihargai. Saat itu, lahir banyak ilmuwan yang keberadaannya dibanggakan hingga sekarang.

Jika kita tarik lebih jauh ke masa lalu, sebelum keterbukaan itu, kafir-mengkafirkan biasa terjadi, terekam jelas dalam sejarah bahkan tokoh sekelas utsman dan ali dibunuh. Perilaku mengkafirkan yang saat itu pernah terjadi, sekarang dan nanti akan terus muncul jika pemikiran kita dalam memandang agama sangat kaku dan terjadi pembatasan pada ilmu pengetahuan. Manusia tidak semestinya hidup dalam kesuburan ego pribadi atau golongan. Kita tidak mau dari sekian banyak penyembah Tuhan, yang menjadi tujuan utamanya adalah kebaikan nasibnya sendiri. Oleh sebab itu, akal menjadi penting untuk mencapai keadilan bersama. 

Ketika kita berbicara tentang keadilan tentu orang yang paling pantas ditanya adalah orang-orang tertindas, kelompok minoritas yang dikucilkan. Agar kita tau pahitnya ketiadaan keadilan. Dengan demikian kita akan mendapatkan jawaban yang objektif tentang realitas. Jika kita bertanya apakah hidup ini adil? Apakah Tuhan adil? Mereka akan memberi jawaban yang bahkan tidak pernah kita duga. Bagaimanapun, pada kondisi ini agamawan akan berkata "Bersabarlah, semua ada hikmahnya". Lalu cerita tentang surga digaungkan sebagai hiburan. Pada saat itu juga, pada dasarnya kita sedang membungkam mereka. Tentu dengan pikiran yang objektif, kita tidak akan membiarkannya begitu saja.

Pada akhirnya, tujuan tulisan ini baik dari pengetikan kata pertama hingga paling akhir, semata-mata berusaha meyakinkan kita semua, bahwa berpikir rasional melahirkan keadilan, dan mungkin sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki pikiran, agaknya bukanlah sepatutnya untuk meninggalkan kemewahan yang kita punya. Sebelum diakhiri mari berterima kasih kepada tokoh-tokoh yang terlibat dalam tulisan ini, termasuk tokoh utama yaitu kubu satu, kubu dua dan kubu tiga. Hal yang juga sangat penting untuk disampaikan, bahwa tulisan ini tidak mengklaim kebenaran dan terbuka atas koreksi, selama alam nyata kita masih berubah, objektivitas harus diusahakan mengikuti perubahannya.

21:14

Comments