Apakah dalam Sistem Kapital Orang Miskin Bisa Kaya?

Pernah muncul pertanyaan, apakah orang miskin bisa menjadi kaya apabila mereka berusaha? Untuk menjawab ini, saya menghadapkan diri saya pada realita, bahwa pada kasus-kasus tertentu, yang dominan terjadi di sekeliling saya adalah orang miskin umumnya tidak punya akses pada modal. Kendati memiliki modal, dan dibuka seluas-luasnya mendapat pinjaman modal, modal ini habis memenuhi kebutuhan mendasar hidupnya, alih-alih menjadi modal bisnis, modal pinjaman ini menjadi modal hidup sehari-hari. Dalam hal ini kita membahas orang dengan pendapatan paling minimal atau nol.


Orang kaya yang terlahir kaya atau menengah boleh mengatakan dan mengomentari orang miskin dengan kata-kata "mindset miskin". Pada sisi tertentu ini mungkin benar, namun di sisi lain, ini bisa bermakna kurangnya memperhatikan realitas yang terjadi di antara manusia-manusia paling miskin. Bagi si kaya mungkin yang disebut miskin adalah orang yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya namun tidak melakukan usaha atau bisnis karena takut. Sedangkan nyatanya dan sangat perlu untuk diketahui bahwa ada manusia-manusia hidup di pelosok negeri yang bahkan tidak bisa memenhuhi kebutuhan hidupnya.


Selain itu, orang-orang miskin ini bukan tidak ingin berusaha atau selalu merasa takut seperti tuduhan si kaya, karena taruhannya adalah nyawa. Bagaimana bisa berani kalau yang ditaruhkan adalah nyawa. Katakannya si miskin dalam kesehariannya tidak cukup memenuhi kebutuhannya, kemudian diberi modal seadanya, katakanlah 500 ribu atau 200 ribu seperti bantuan pemerintah. Pada kondisi ini, apakah si miskin akan berbisnis? Tentu kemungkinan besar tidak, yang pertama dilihat adalah bagaimana bertahan hidup dengan uang itu. Alih-alih berbisnis, ia akan mempertimbangkan nyawanya. Belum lagi dalam berbisnis, seseorang akan dihadapkan dengan dua kemungkinan, jualannya laku atau tidak laku. Oleh sebab itu, hal-hal seperti itu sejak awal tidak pernah terlintas dalam benak mereka.


Ketimpangan ekonomi dan kurangnya pemahaman serta rasa empati orang kaya, memperburuk suasana ekonomi yang memang tidak baik, daripada berkomentar mengatasnaman orang yang berpengalaman dalam berusaha dan berjuang, ada baiknya memberi investasi skil pada si miskin. Perlu juga diingat bahwa ketika si miskin berada dalam masa pelatihan misal pelatihan seperti prakerja, bisa saja, pada saat yang sama ia sedang mengorbankan perutnya. Misal ketika ia ingin makan esok, ia harus bekerja hari ini. Namun jika hari ini ia ikut prakerja dan harus membeli kuota, maka ia esok otomastis tidak bisa makan dan harus menunda makan hingga insentif prakerja cair atau mencari pinjaman. Katakanlah itu yang terjadi jika ia tidak bekerja satu hari untuk mengikuti prakerja. Bagaimana jika tidak bekerja selama 5 hari sesuai jadwal prakerja. Mungkin sebagain orang akan berpendapat bahwa tulisan ini mengada-ngada, tapi berdasarkan pengamatan pribadi, ini mungkin saja terjadi.


Ketimpangan ekonomi terus terjadi dengan kondisi-kondisi yang disebutkan sebelumnya, belum lagi berbicara tentang masyarakat miskin yang tidak memiliki akses ke prakerja. Ini makin dilematis. Di sisi lain negara menggaungkan keberhasilan prakerja, di sisi lainnya banyak masyarakatnya yang bahkan tidak memiliki handphone untuk terkoneksi dengan berbagai informasi yang potensial untuk perkembangan dirinya.


Belum lagi berbicara mengenai pencapaian tujuan prakerja atau jenis pelatihan lainnya. Katakanlah seseorang telah melaksanakan pelatihan pra kerja. Namun realitas menawarnya pra saja tanpa kerja. Ini makin membingungkan, pada akhirnya prakerja hanyalah ajang mendapatkan insentif, dan memang telah diakui bahwa program ini semi subsidi. Itu bagus untuk membuat rakyat sedikit bisa bertahan hidup untuk beberapa hari ke depan. Namun yang menjadi ironi tetap saja, bagaimana pada akhirnya tidak semua lapangan pekerjaan bisa menerima alumni prakerja. Saya punya pendapat bahwa orang-orang miskin bukanlah pemalas, ia mau bekerja bahkan tanpa istirahat, namun karena tidak ada yang harus dikerjakan dan skil juga rendah, ia kemudian terlihat seperti pemalas.


Lalu apa yang bisa dilakukan dalam kondisi ini, ketika banyak warga negara berskil rendah dan tidak bermodal. Tentu kita tidak bisa mengharapnya mahasiswa yang telah menggunakan uang negara di belahan bumi nun jauh di sana untuk terjun secara sukarela dan membantu mereka yang tidak memiliki keterampilan. Mahasiswa-mahasiswa itu tentu juga ingin memperkaya diri terlebih dahulu. Tidak ingin mengatakan tidak peduli, mungkin bukan saatnya saja bagi orang-orang ini untuk membantu. Pada akhirnya yang didengungkan adalah menbantu dari luar atau membantu masuk ke pemerintahan dan berjanji memperbaiki sistem. Tentu ini semua yang diimpikan jiwa-jiwa idealis, hingga pada saat tertentu, situasi kondisi tertentu, langit-langit ideliasmenya runtuh.


Itu tentang ketimpangan ekonomi, belum lagi bicara tentang ekonomi menengah yang telah menjadi insan yang berskil dan berwawasan, namun harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa kompetisi tidak pernah berakhir di mata kapitalisme. Persaingan tinggi di mana kebutuhan akan pekerjaan dan jumlah penerima kerja yang sedikit, berpengaruh menambah ketimpangan. Kedati ekonomi menengah berlomba-lomba memulai usaha meski dengan modal pas-pasan, dan semua orang menengah memiliki kebebasan untuk memulai usaha, pada saat itu semua orang menengah berusaha menjual meski tak pernah ada yang membeli, ini banyak saya lihat dari pembisnis baru yang tiba-tiba tutup dalam beberapa hari. 


Katakan pengusaha kaya dan handal akan berkata, banyak strategi bisnis yang perlu diterapkan, pelajari itu!. Orang-orang dengan situasi tertentu tidak memiliki banyak kesempatan belajar, ia harus bekerja, selain itu pada kenyatanannya tak semua meraih sukses dari motivasi atau strategi teoretis dari ahli. Ekonomi rendah sibuk mencari uang untuk makan besok, ekonomi menengah mencari uang untuk tidak bergantung pada satu-satunya pendapatannya tiap bulan. Mungkin ada perbedaan gambaran antara menengah yang saya sebut ini dan menengah bagi pembaca. Gambaran menengah yang saya sebut tergambarkan dari orang-orang yang berpenghasilan 1-2jt perbulan, dan hanya bergantung pada itu.


Itu sedikit beberapa gambaran realitas berdasarkan yang saya perhatikan. Mungkin di berbagai tempat dengan konteks tertentu akan berbeda. Kembali ke pembahasan inti yang pada dasarnya ingin saya sampaikan. Dalam sistem kapitalis, orang miskin umumnya dianggap sebagai konsekuensi dari ketidaksetaraan ekonomi dan persaingan yang tinggi dalam mencari sumber daya dan kekayaan. 


Ketidaksetaraan atau ketimpangan ekonomi ini telah digambarkan sebelumnya namun saya belum menjelaskan dari sisi si kaya, bagaimana orang-orang bermodal dengan mudah membangun bisnis. Secara singkat saya bisa gambarkan ketimpangan begini, ini berdasarkan yang saya pahami, ketika di waktu yang sama ada orang yang makan di restoran tanpa memikirkan berapa jumlah makanan yang dibayar, sedangkan lainnya mengorek sisa makanan di tempat sampah dan bertanya-tanya bagaimana nasibnya esok hari. Disitulah ketimpangan terjadi.


Selain ketimpangan, hal lain yang melahirkan kemiskinan adalah persaingan yang ketat, di mana masyarakat dihadapkan dengan kenyataan bahwa skil tidak cukup untuk mendapatkan pekerjaan. Di sebuah negara yang korup dan miskin, seseorang perlu bermodal untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Baik modal kapital atau relasi. Kuasa relasi ini seperti yang sedang dipertontonkan di hadapan kita menjelang penetapan capres-cawapres 2024. Itu salah satu contoh. Banyak contoh lain yang bisa saya berikan terkait persaingan ketat dan tidak sehat yang tumbuh dalam sistem yang memuja kapital ini. 


Untuk memberi gambaran terparah, saya bisa tulis seperti ini, masyarakat miskin dan tidak berpengatahuan, sengaja dimiskinkan oleh sistem untuk membuat pemegang modal menjadi makin kaya atau dengan kata yang lebih baik, untuk membuat roda perekonomian berjalan. Orang miskin akan tetap dipertahankan menjadi miskin dengan tujuan tetap berkeinginan bekerja dan membantu memperkaya si kaya, jika tidak demikian, misal si miskin dibantu dengan subsidi hingga mandiri, si miskin akan memulai usahanya sendiri dan tidak ada yang akan bekerja dengan si kaya. Dengan demikian si kaya tidak dapat menghasilkan dan menjual produk.


Kita juga harus tau bahwa dalam sistem modal, kegiatan perekonomian yang humanis adalah kegiatan yang salah. Ada pendapst yang mengatakan bahwa makin humanis sebuah sistem ekonomi, artinya makin bermasalah. Seperti yang saya sebut di atas bahwa ketika bantuan pemerintah dibagikan hingga membuat penerima menjadi kaya, perekonomian tidak berjalan dengan baik. Kasarnya, hal ini dilakukan untuk menstabilkan sistem dan mempertahankan kemiskinan. Dengan begitu, kegiatan perekonomian berjalan baik-baik saja. Yang miskin bekerja sebagaimana ia bekerja sehari-hari dan yang kaya pun begitu. Kelas-kelas ini menempati posisinya masing. Lalu solusi apa yang bisa diterapkan dalam sistem kapital ini, jika kemiskinan bagian dari proses ekonomi?


Mungkin ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan, bagaimanapun, nyatanya beberapa orang berpendapat serupa dengan apa yang disebutkan dalam tulisan ini, bahwa sistem ini cenderung menguntungkan orang yang sudah kaya dan kuat, sementara orang miskin terus menerus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.


Kendati kita telah mengetahui pemaparan mengerikan terkait sistem ini sebelumnya, ada juga argumen yang mengatakan bahwa kapitalisme memiliki potensi untuk memajukan seluruh masyarakat dengan memberikan akses pada peluang yang sama bagi semua orang. Hal ini dapat dicapai melalui kebijakan yang tepat dan dukungan bagi warga miskin untuk meningkatkan keterampilan dan pendidikan mereka. Argumen ini tampak tidak meyakinkan apalagi ketika kita melihat realitas yang terjadi. Sebagain juga sudah dipaparkan di atas bahwa pelatihan keterampilan pada prakteknya tidak membatu banyak. Kendati pemerintah menawarkan pendidikan formal gratis, masalah lain datang, seperti yang disebutkan di atas bahwa seseorang tidak cukup hanya dengan skil, jika persaingan cukup ketat dan lapangan pekerjaan tidak memadai. Belum lagi mengingat berbagai 'kecurangan' yang bisa dilakukan pemilik modal. Tujuan-tujuan mulia argumen tandingan terkait sistem ini, agaknya hanya akan menjadi angan-angan.


Sebagai negara hukum kita memiki aturan-aturan yang mengatur kehidupan bernegara kita, termasuk juga urusan ekonomi. Namun ketika pembuat aturan adalah bagian dari kekuasan dan orang bermodal, hanya hati nurani yang bisa menyelamatkan bangsa ini. Dalam situasi kondisi seperti ini, pertanyaan di paragraf paling awal ingin saya ajukan kembali. Apakah orang miskin bisa menjadi kaya?


Sebelum diakhiri, saya perlu memperjelas posisi saya dalam tulisan ini, bahwa di sini saya hanya mencoba memberikan gambaran terkait situasi yang terjadi, terlepas dari teori-teori yang ada tentang perekonomian dalam sistem kapital. Terkait kondisi ekonomi masyarakat bawah dan menengah yang dijelaskan dalam tulisan ini, ditulis berdasarkan pengamatan pribadi, dan pendapat terkait sistem ekonomi kapital dikumpulkan berdasarkan pengamatan terbatas yang saya lakukan. Tulisan ini murni berdasarkan usaha menjawab pertanyaan yang ditulis di paragraf pertama dan terakhir, yang muncul ketika melihat realitas yang amat menyayat hati. Akhir kata saya ingin bertanya lagi, apakah orang miskin dan tidak berpendidikan bisa kaya? Semoga kita menjawabnya dengan tindakan-tindakan yang meringankan beban mereka.


13:57

Comments