Contoh Kasus Institusi Menyimpang yang Membanggakan Diri

Saya baru 'ngeh' bahwa hanya negara ini saja yg menganut demokrasi liberal, dan karenanya institusi di dalamnya tidak harus menganut ideologi yang sama. Bisa saja menganut ideologi berbeda sebagai konsekuensi demokrasi dan liberalisme itu sendiri. Makanya, meritokrasi is never one of the choices dalam penyeleksian talenta. Since a leader has its own "family". Relative-based, closedness-based, and loyality-based, as well as petronation-based are always its favorit. Sepertinya saya harus berpikir ulang dalam beberapa situasi bahwa bisa saja, sebuah institusi di negara demokrasi, bisa tidak demokratis. Terutama institusi swasta. Sebelumnya, saya beranggapan bahwa karena negara ini negara demokrasi, oleh sebab itu institusi di bawahnya entah milik negara atau swasta atau apapun itu, paling tidak menerapkan nilai-nilai demokratis. Ternyata dugaan saya salah. Sepertinya saya kurang mengerti dengan negara sendiri. Bahwa nyatanya ada daerah-daerah istimewa yang tidak demokratis, seperti Jogja misalnya, dan menurut saya itu tidak masalah. Bukan berarti saya beranggapan bahwa itu salah. Bagi saya, itu daerah otonom yang dilakukan 'pengistimewaan' untuk menghormati kesultanan. Itu saja. 


Namun berbeda ketika kita membahas institusi swasta. Sebuah institusi bisa saja mengistimewakan diri, yang mana itu juga dijamin keberadaan dan hak-haknyanya oleh negara, mengingat negara ini adalah negara demokratis, hak dan kebebasan individu sangat dihormati dan dijaga. Meskipun saya tau bahwa setiap institusi boleh saja menganut loyalitas dan patronase sebagai dasar penyeleksian talenta, meskipun penyeleksian talenta berdasarkan dua hal tersebut pada akhirnya tidak demokratis, karena setiap orang tidak punya hak yang sama, yang punya hak hanya yang loyal. Sekali lagi itu tidak masalah, jika memang itulah yang diinginkan. Dalam banyak hal, keinginan-keinginan di tengah jalan sering tidak sesuai dengan tujuan, oleh sebab itu saya perlu tau sebuah tujuan sebuah institusi untuk memastikan keinginannya sejalan dengan tujuan atau tidak.


Jika tujuannya adalah mendapatkan sistem terbaik dan kualitas yang dihasilkan dari sistem tersebut baik pula, maka penerapan loyalitas dan petronase dalam penyeleksian kader pemegang sistem agaknya kurang tepat. Apalagi jika penyeleksian berdasarkan kekerabatan :v. Sebelum lanjut, saya akan memberi konteks, biar tidak terjadi kesalahpahaman. Supaya yang saya maksudkan dalam tulisan ini tersampaikan. Katakanlah ada sebuah institusi swasta yang berada di negara demokrasi, tapi tidak menjalankan nilai-nilai demokratis, itu pertama. Kedua, institusi ini memiliki tujuan-tujuan seperti memberikan pelayanan yang berkualitas dan menjunjung tinggi nilai keadilan. Untuk poin pertama saya di atas telah mewajarkannya, mengingat kebebasan dijamin di negara demokratis selama tidak melanggar peraturan yang berlaku. Sedangkan poin kedua, sebuah institusi terikat dengan tujuannya. Dengan demikian tindakan-tindakannya harus mengarah pada tujuan. Katakanlah tindakan institusi ini mulai melenceng dari tujuannya yang ditetapkan sendiri. Saya mengatasnamakan demokrasi dan kebebasan berpendapat, ingin memberi 'tau' atau semacam kritik terhadap institusi tersebut, bahwa tindakan mereka telah keluar dari tujuan-tujuan yang mereka tetapkan sendiri.


Pertama institusi ini bertujuan mendapatkan sistem terbaik dan kualitas yang dihasilkan dari sistem tersebut baik pula. Saya sering kali memperhatikan bagaimana institusi ini melakukan penyeleksian terhadap calon pemegang sistem, yang terjadi justru bertentangan dengan tujuan yang diinginkan, penyeleksian dilakukan paling sering berdasarkan loyalitas, dan beberapa kali berdasarkan kekerabatan. Jika tujuannya adalah kualitas, saya berpendapat bahwa meritokrasi seharusnya menjadi pilihan dalam penyeleksian calon pemegang sistem. Kenapa? Kualitas dihasilkan dari talenta yang baik dan berkualitas pula. Ia tidak dihasilkan dari loyalitas atau kekerabatan, bukan berarti tidak sama sekali, namun seringnya penyeleksian tersebut tidak memperhatikan kualitas talen, yang diukur adalah seberapa jauh talen ini setia dan menjilat. Itu yang pertama, untuk kekerabatan, ini lebih parah, bisa jadi dalam perekrutannya sama sekali tidak memperhatikan aspek lain, kecuali kekerabatan itu sendiri. 


Oleh sebab itu membangun sistem yang dihasilkan dari loyalitas dan kekerabatan, tanpa memperhatikan meritokrasi akan memiliki dampak buruk pada kinerja institusi. Pertama, orang-orang yang dipilih untuk posisi tertentu tidak akan dipilih berdasarkan kemampuan atau keahlian mereka, tetapi berdasarkan hubungan mereka dengan orang yang memberi posisi tersebut. Akibatnya, institusi tersebut mungkin akan memiliki orang-orang di posisi kunci yang kurang ahli atau tidak terlatih, yang dapat menyebabkan penurunan efisiensi dan kualitas keseluruhan pekerjaan. Selain itu, sistem seperti ini bisa merusak motivasi individu yang sebenarnya lebih berbakat dan ahli daripada orang yang diberi posisi tersebut hanya karena hubungan keluarga atau persahabatan. Ini juga bisa menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakadilan, yang dapat merusak lingkungan kerja secara keseluruhan. Oleh karenanya, jika sebuah organisasi ingin berkembang dan berhasil dalam jangka panjang, maka penting untuk membangun sistem yang didasarkan pada meritokrasi, bukan hanya pada loyalitas dan hubungan kekerabatan.


Di paragraf sebelum ini sudah disebutkan ketidakadilan, jika tujuan instusi adalah kualitas dan keadilan, diukur dari satu aspek saja yaitu penyeleksian pemegang sistem, institusi ini sudah menjauh dari kedua tujuannya. Belum lagi ketika kita membahas aspek lain. Misal pemberlakuan aturan terhadap penggunaan fasilitas institusi yang timpang sebelah, eksploitasi pelanggan yang didanai pemerintah, pembubuhan nama orang penting ke dalam sebuah karya yang bukan karyanya. Inilah sederet hal-hal yang terjadi di antara institusi yang mengaku adil. Tanpa dijelaskan, agaknya orang paham kenapa tulisan ini ditulis. Tanpa dipaparkan, orang juga tau kenapa ini tidak adil. Tapi untuk memperjelas itu, karena agaknya sebagian pengikut dan penjilat sistem tidak setuju dan tidak dapat mencerna ketidakadilan yang terjadi, maka perlu dijelaskan dengan lebih pelan dan jelas.


Sebelum lanjut, paragraf ini dibuat untuk mengkritik tindakan institusi yang tidak sesuai dengan tujuan kedua. Tujuan pertama tentang kualitas dan tujuan kedua ini tentang keadilan. Mari kita lanjut. Pertama, tindakan institusi menjadi tidak adil karena, fasilitas yang ada di dalam sistem, diatur hanya diperuntukkan untuk orang-orang tertentu, yang memiliki kedudukan sama. Jika sebuah institusi memiliki hirarki kekuasaan, katakanlah pemimpin, wakil, orang kepercayaan, dan barisan terakhir karyawan. Lalu ada setiap golongan dari hirarki memiliki kewajiban dan haknya masing-masing, dan mengakibatkan fasilitas yang diterima berbeda. Dalam situasi ini, mungkin dengan konteks tertentu, aturan untuk fasilitas masih adil, katakanlah ada sebuah tempat duduk, ini diperuntukkan untuk kelompok orang kepercayaan. 


Namun apabila keberadaan fasilitas memang sudah seharusnya diperuntukkan untuk semua orang namun golongan karyawan tidak mendapatkannya. Ini tentu harus ditanyakan kenapa? Padahal institusi dibangun bukan hanya oleh orang-orang kepercayaan ke atas. Karyawan juga bekerja dan justru karyawanlah yang menjadi pondasi. Mungkin sebagin orang menganggap ini wajar dengan asumsi bahwa karyawan hanya pekerja, bisa saja aturan etika yang tidak tercatat diterapkan bahwa fasilitas hanya diperuntukan kepada orang kepercayaan ke atas. Oke, tapi ada contoh yang lebih membagongkan, sebuah fasilitas diperuntukkan kepada semua orang yang terlibat dalam institusi, namun pada saat tertentu, 'sebagian karyawan' tidak mendapatkannya, contoh ini lebih jelas, di antara karyawan seolah dipisah haknya untuk menggunakan fasilitas meskipun dalam golongan hirarki yang sama, yaitu golongan karyawan.


Contoh lain, fasilitas diperuntukkan kepada orang-orang dalam hirarki dan pelanggan yang membutuhkan institusi tersebut. Namun pada gilirannya, orang yang tidak terlibat dalam institusi seperti kerabat dan anak-anak pemimpin atau orang kepercayaan, juga mendapat fasilitas yang seharusnya hanya untuk orang yang terlibat dalam institusi. Contoh ini sering terjadi bukan hanya di dalam institusi yang saya jelaskan ini, melainkan juga terjadi di yang lainnya, seperti penggunaan berlebihan kendaraan dinas untuk kepentingan keluarga yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang berkaitan dengan institusi. Ini contoh ketidakadilan yang pertama.


Yang kedua, eksploitasi pelanggan, katakanlah pemimpin, wakil, orang kepercayaan dan karyawan dalam sistem ini bekerja untuk menghasilkan jasa. Jasa inilah yang kemudian dijual. Banyak pelanggan berdatangan. Pelanggan di sini berasal dari latar belakang ekonomi yang berbeda-beda. Karena jasa ini sangat penting bagi masyarakat, dan pemerintah tau bahwa ada sebagian rakyatnya yang tidak mampu untuk membeli jaa tersebut, pemerintah berinisiatif memberi bantuan kepada pelanggan yang tidak mampu membeli jasa. Bantuan atau subsidi yang diberikan pemerintah disalurkan kepada institusi, negara memberikan tugas pembagian subsidi kepada institusi. Institusi tersebut memberikan subsidi dengan adil, diberikan kepada mereka (pelanggan) yang membutuhkan. Namun, dalam prakteknya, selain hanya menyalurkan subsidi dengan adil, institusi mengambil sebagian dana dan mempekerjakan pelanggan untuk bisa mendapatkan dana dari pemerintah. Kita tau dana ini berasal dari pemerintah dan tentu disalurkan tanpa syarat. Namun dimanfaatkan oleh institusi untuk meraup keuntunga. Jika saja dana yang ada berasal dari internal institusi, perlakuan institusi kepada pelanggan mungkin bisa diterima. Namun yang terjadi justru tidak.


Selanjutnya contoh terakhir dalam penggambaran bahwa institusi ini sudah tidak sesuai dengan tujuan-tujuannya adalah sebagai berikut. Pembubuhan nama orang penting ke dalam sebuah karya yang bukan karyanya. Kita gambarkan seperti ini, orang penting dalam konteks institusi adalah pemimpin dan wakil, katakanlah demikian. Lalu, pelanggan menggunakan jasa institusi ini, selama pelanggan menggunakan jasa, pelanggan membuat sebuah karya. Kemudian hak cipta atas karya tersebut diminta untuk dibuat atas nama pemimpin dan orang penting lainnya. Karena pelanggan menggunakan jasa instusi, ia tidak bisa menolak, mengingat institusi memiliki kuasa. Oleh karenanya pelanggan mau tidak mau melakukan hal tersebut. Ini terlepas pelanggan mau atau tidak, tindakan ini tidak adil. Sebuah karya tidak seharusnya digunakan untuk kepentingan orang penting dalam institusi atau siapapun yang tidak terlibat dalam pembuatan karya. Siapa yang membuat, adalah satu-satu orang yang berhak atas hak ciptanya. Jika saja pelanggan membubuhkan nama institusi, mungkin masih bisa diterima mengingat pelanggan menggunakan jasa institusi dalam membuat karya, namun apabila yang diminta untuk dibubuhkan nama adalah pribadi pemimpin dan orang penting lainnya, ketidakadilan terjadi.


Ketidaksesuainya tindakan-tindakan institusi dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai adalah nama lain yang saya beriksn dari kenyataan yang mengerikan. Dalam hal ini, banyak sekali pelanggaran yang dilakukan oleh institusi, baik secara moral mungkin saja juga hukum. Mengingat, adanya intervensi negatif atas penerimaan hak individu. Saya tidak akan membahas hukum, yang jelas, secara moral institusi ini telah menyimpang. Oleh sebab itu tulisan ini ada untuk memberikan perspektif berbeda tentang institusi yang mengaku menjamin kualitas dan keadilan.



06:57

Comments