Bersikap Skeptis terhadap Perspektif Dominan untuk Menjadi Inklusif dan Adil

Dalam beberapa tulisan yang telah saya tulis, saya sering sekali membahas mengenai perspektif, atau sudut pandang. Pandangan kita terhadap sesuatu. Dengan kata lain, perspektif adalah cara kita melihat dan memahami dunia di sekitar kita. Dua kata yang harus kita garis bawahi, yaitu melihat dan memahami dalam memahami perspektif. Perlu kita akui perspektif kita dalam memandang sesuatu, belum tentu benar. Misal dalam hal melihat objek fisik, seperti bola, yang kita lihat dari satu sudut tertentu adalah lingkaran. Contoh lain kubus, dari satu sudut tertentu mungkin yang kita lihat adalah persegi. 


Kita bisa saja salah kapanpun, ketika kita tidak meninjau ulang apa yang kita lihat atau pahami. Contoh lain dalam memahami sesuatu, saya beri contoh yang sederhana. Seorang siswa A sedang melarang temannya yang bernama B untuk mencontek kertas ujiannya, saat itu, dengan sudut pandang dan pemahaman tertentu, B bisa saja beranggapan bahwa A tidak mendukung temannya mendapatkan nilai bagus. Namun dengan pemahaman yang lebih luas, A sebenarnya ingin B tidak melakukan kecurangan dan ia ingin temannya terlatih untuk berusaha secara mandiri.


Contoh lainnya yang juga berkaitan dengan pendidikan. Ketika seorang guru memberi tugas. Dari sudut pandang siswa bisa saja ini adalah hal yang buruk dan tidak mengenakkan. Namun, dari pemahaman yang lebih luas, tugas dapat membantu siswa berlatih dan dari tugas tersebut guru dan siswa bisa melihat capaian pembelajaran, oleh sebab itu seorang guru memberi tugas kepada peserta didiknya.


Contoh sudut pandang dalam tradisi beragama. Secara spesifik bagaimana seseorang dalam agama tertentu melakukan doa tertentu dan dianggap aneh oleh orang agama lain. Contoh ada tokoh A yang sedang berdoa dengan gerakan-gerakan tertentu. Bisa saja saat itu dilakukan, tokoh B yang melihat, merasa asing dan aneh dengan yang dilakukan si A, dan ini berlaku sebaliknya. Misal tokoh B melakukan doa tertentu dengan nada tertentu yang khas agamanya, orang A bisa saja menganggap nada si B sangat aneh. Jadi jangan heran apabila terjadi pertentangan pendapat di antara dua golongan yang berbeda, yang perlu dilakukan adalah saling menghormati, bukan saling mengemukakan perspektif yang berbeda atau bahkan mengolok-olok dan menertawakan.


Tentang perspektif juga bisa kita pelajari dari beberapa hal di bawah ini, tentang contek-menontek di atas dan beberapa hal di bawah ini, sering saya gunakan dalam beberapa tulisan untuk memberikan gambaran bagaimana perspektif itu ada dan kita pahami. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas lagi terkait perspektif, saya menulis khusus tentang ini. Tentang perspektif saja, mengingat, banyak sekali di sekitar saya paling tidak, yang merasa bahwa perspektifnyalah yang paling benar dan patut dihormati, sedangkan yang lain salah dan bisa ditertawakan atau diolok-olok. Oke kembali lagi ke contoh.


Ketika melihat sebuah gunung dari berbagai sisi, katakanlah sisi utara dan selatan. Khusunya dalam melihat gunung yang tidak dimetris dan penuh perbukitan, umumnya sulit menentukan mana bentuk yang merepresentasikan kebenaran paling banyak. Oleh sebab itu, orang-orang di bagian utara gunung, boleh saja beranggapan bahwa gunung A ini berbedatuk A sebagaimana yang mereka lihat setiap hari. Namun, orang di utara tidak seharusnya menganggap bahwa sisi utaralah yang paling benar. Tentu ini akan menampik fakta bahwa sisi selatan akan menawarkan bentuk yang berbeda terkait gunung tersebut. Bisa saja gunung A tersebut akan terlihat berbentuk B jika dilihat dari selatan. Segala kemungkinan bisa terjadi. Ini juga berlaku pada orang-orang di selatan. Ia tidak bisa mengklaim bahwa sisi selatanlah yang paling menentukan kebenaran tentang bentuk gunung. Bisa saj yang terjsdi adalah sebaliknya. Karena segala kemungkinan bisa terjadi, sikap skeptis dan selalu ingin belajar sangat dibutuhkan dalam situasi ini.


Contoh serupa ketika melihat rumah. Katakanlah tokoh A berkata bahwa rumahnya bagus ketika posisi si A sedang berada di dalam rumah dan tidak pernah keluar. Lalu datang tokoh B dan berkata bahwa rumah tokoh A itu kurang menarik. Dalam kondisi ini, untuk berlaku adil, alih-alih menolak pendapat B sejak awal, seharusnya tokoh A mengkaji pendapat B, apa alasan tokoh B berkata demikian. Bisa saja memang dari luar, bentuk rumah A tidak menarik. Sedangkan menurut si A rumahnya menarik karena ini rumahnya sendiri dan juga ia tidak pernah memperhatikan rumahnya dari luar. Sayang sekali, jika saja tokoh A memperhatikan pendapat B, ia bisa saja mengetahui kebenaran bahwa rumahnya tidak menarik jika dilihat dari luar.


Contoh lain yang sering kita temukan di media sosial. Ketika kita melihat angka 6 dari sudut tertentu, kita bisa menganggap sngka tersebut adalah 9. Hal ini berlaku sebaliknya. 9 bisa saja dianggap 6 jika dilihat dari sudut tertentu atau diputar. Begitulah yang terjadi dengan perspektif. Ini yang selalu saya terapkan dalam memandnag kehidupan untuk berlaku adil paling tidak secara objektif. Kita memposisikan diri kita dalam posisi orang lain.


Dalam dua perspektif yang berbeda, ada kalanya kedua sudut tidak mengandung kebenaran, kadang satu sudut mengandung kebenaran dan sudut lainnya tidak, dan ada pula kedua sudut pandang mengandung kebenaran. Misal seperti contoh angka 6 dan 9 tadi. Jika angka 6 atau 9 dianggap 8 oleh sudut pertama, dan sudut kedua menganggapnya 7, kedua perspektif ini tidak berdasar dan mengada-ada. Oleh sebab itu kedua pandangan ini tidak mengandung kebenaran. 


Kemudian untuk contoh kasus selanjutnya, satu sudut menganggap angka 6 adalah 9 jika diputar 180 derajat atau dilihat dari sisi yang berbeda, lalu sudut pandang kedua berkata bahwa ini adalah angka 7. Dalam hal ini, sudut kedua tidak mengandung kebenaran sama sekali. Sedangkan yang pertama bisa saja benar dan mengandung kebenaran dengan kemungkinan-kemungkinan yang diajukan. Jika saja kubu kedua mengajukan kemungkinan seperti, ini adalah angka 7 jika 6 tadi ditambah 1. Dalam hal ini ia mengandung kebenaran, dengan kemungkinan yang diajukan. Kemudian gambaran yang terakhir, sudut pertama menganggap bahwa angka 6 adalah 9 jika diputar 180 derajat, dan sudut kedua mengatakan bahwa 9 adalah 6 jika diputar dengan derajat yang sama. Kedua sudut pandang ini, mengandung kebenaran.


Contoh-contoh di atas hanya segelintir contoh sederhana tentang perspektif, banyak sekali tentang perspektif yang sangat baik dan perlu kita sadari, ketika kita berbicara tentang hal ini, Ini dapat mencakup pandangan kita tentang masalah yang lebih kompleks, nilai-nilai kita dalam hidup, pengalaman pribadi kita, dan segala sesuatu yang membentuk pemikiran dan pandangan kita tentang kehidupan. Dalam filsafat, banyak perspektif yang ditawarkan seperti materialisme, idealisme, rasionalismez empirisme dan isme-isme yang lain, semua adalah usaha manusia untuk mendekati kebenaran. Pada saat-saat tertentu kita tidak bisa memastikan mana yang paling benar. Namun, kita bisa mengatakan bahwa suatu pandangan mengandung kebenaran. Bisa saja keduanya atau semuanya benar dalam kemungkinan tertentu, bisa juga salah. Yang terpenting bagi manusia adalah, tetap belajar untuk menjadi manusianyang relevan dalam memandang kebenaran. Memahami berbegai perspektif untuk mengetaui jalan tengah yang mendamaikan.


Salah satu contoh yang dekat dengan kehidupan kita, katakanlah ketika tokoh A sering melakukan perjalanan ke tempat A, ia akan menganggap tempat tersebut dekat. Berbeda dengan tokoh B yang katakanlah tidak pernah melakukan perjalanan tersebut, ia akan menganggap tempat A itu jauh. Ini dua perspektif yang berbeda dan terjadi karena pengaruh pengalaman, yang satu berpengalaman, yang satu lagi tidak. Perspektifnya menjadi berbeda. Ini juga berlaku dalam kasus lain serupa. Contoh tokoh C melakukan sebuah perjalanan ke tempst A, dalam perjalanan ia merasa jarak tempat A sangat jauh, namun ketika pulang dari tempat A, ia merasa perjalanan pulang yang ia tempuh tidak sejauh ketika ia pergi. Ini perspektif berbeda antara C yang belum ke tempat A dan C yang sudah ke tempat A. Bahkan perspektif bisa saja dialami satu tokoh, selama ia belajar, ia akan mengetahui perspektif yang lebih baik. 


Dalam cerita di atas konsep jauh dan tidak jauh antara si A dan B menjadi tidak nyambung atau bertentangan, karena kita tau sesuatu dikatakan jauh atau tidak jauh apabila memiliki pembanding. Misal tokoh A memandang tempat A adalah tempat yang dekat karena ia membandingkannya dengan tempat D yang memang lebih jauh. Dalam hal ini tokoh B harus tau mana yang menjadi perbandingan tokoh A dan kemudian menyimpulkan bahwa tempat A adalah dekat. Hal ini berlaku sebaliknya. Jika tokoh B menganggap tempat A adalah jauh, tokoh A harus tau apa yang menjadi pembandingnya dalam pikiran si B. Dengan demikian, kesepahaman akan di dapat. Ini tentu terlepas dari pengaruh pengalaman, seperti cerita di atas yang bekaitan dengan pengalaman. Sebuah gambaran atau respon yang diberikan otak terhadap pengalaman baru.


Ada yang unik terkait ini, di masyarakat, ada mitos yang mengatakan bahwa orang yang baru pertama kali pergi ke suatu tempat, ia akan disapa oleh entitas gaib di sepanjang jalan, sedangkan apabila sudah pulang dari tempat tersebut, orang tersebut tidak disapa lagi, oleh sebab itu orang tersebut akan merasa lebih jauh atau lama ketika jalan pergi, daripada jalan pulang. Pada dasarnya hal ini bisa dijelaskan dengan lebih baik tanpa melibatkan entitas gaib, pendapat saya seperti ini, dalam perjalanan yang dilakukan untuk pertama kali, otak kita memproses semua yang dilihat oleh mata. Oleh sebab itu kita merasa lebih lama karena membutuhkan proses terima informasi di sana, hal ini berbeda dengan jalan pulang yang terasa sebentar, karena proses menerima informasi sudah dilakukan, kita cendeung mengabaikan apapun yang kita lihat di perjalanan pulang, karena sudah merasa tau yang akan dilihat sepanjang jalan tersebut.


Selain yang sudah disebutkan di atas, saya punya satu contoh yang saya jelaskan panjang lebar, dalam tulisan yang berjudul golongan kiri yang disalahpahami, di sana juga dijelaskan tentang perspektif. Kalian bisa baca untuk menambah contoh-contoh tentang perspektif. Selain itu ada pula tentang bagaimana kita melihat dunia berdasarkan modernisme dan post modernisme, ini sama seperti berbagai aliran filsafat yang saya sebutkan sebelumnya. Di mana keduanya berbeda, yang satu menganggap bahwa yang objektif adalah kebenaran dan mengakui kebenaran tunggal, satu lagi menganggap kebenaran tidak selalu begitu, bahkan bisa subjektif dan tidak mengakui kebenaran tunggal. Meskipun berbeda, keduanys merupakan usaha manusia untuk memahami dunia dengan lebih baik. Dalam sudut pandang modernisme, kebenaran dipercaya adanya, berdasarkan pengukuran dan analisis yang sistematis dan menolak yang sebaliknya, sedangkan pandangan post-modernisme, pandangan modenisme terkait yang sistemstis dan yang sebaliknya, sama-sama ditolak oleh post-modernisme hal ini dilakukan untuk terbebas dari kecenderungan tertentu. Meskipun begitu, usaha modernisme adalah usaha-usaha untuk mendekat pada kebenaran, sedangan usaha post-modernisme adalah juga usaha mendekat pada kebenaran, sembari membebaskan dari dari pandangan-pandangan tertentu.


Ada juga contoh tentang keberadaan Tuhan, dalam sains, dengan segala penjelasan saintifiknya, beberapa ilmuwan berpendapat bahwa tidak ada Tuhan, sedangkan jika dilihat dari perspektif agamawan, dengan yakin mereka akan berkata ada Tuhan, dengan berbagai alasan baik secara logis maupun klaim sepihak. Dua perspektif berbeda ini berlandaskan sesuatu yang berbeda pula, yang pertama berlandaskan sesuatu yang 'nyata' atau terlihat dalam melihat Tuhan dan yang satu berlandaskan sesuatu yang 'mungkin nyata' atau tidak terlihat dalam memandang Tuhan. Lalu mana yang lebih dekat pada kebenaran. Tidak ada jawaban yang sepaham antara kedua pihak. Keduanya memiliki kebenarannya masing-masing, meskipun pada bagiannya satu pihak dapat dijelaskan dengan sejelas-jelasnya dan yang lain tidak. 


Terlepas dari itu yang dilakukan dogma adalah seperti angka 6 dan 9 di atas, hal ini bukan tentang perspektif yang berbeda terkait hal objektif, tapi tentang keyakinan, meski tidak ada, akan disebut ada. Misal angka 6 disebut 8, ini tidak ada unsur kebenaran, berbeda jika disebut 9 sebagai kemungkinan, bisa saja disebut demikian jika angka 6 diputar. Atau bisa juga disebut 8 jika 'kemungkinan disebutkan', misal itu angka 8 kalau 6+2.


Itulah berbagai contoh mengenai perspektif, sudut pandang, pandangan atau apapun yang kalian suka. Perspektif sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, sosial, individu, dan lingkungan kita. Seperti contoh perjalanan di atas, pengalaman berpengaruh dalam menbentuk perspektif. Kita mengalami budaya tertentu, hidup dalam masyarakat tertentu, hidup dalam kondisi keluarga tertentu, kita tumbuh dengan hal-hal tertentu, hal tersebut sangat berpengaruh bagi kita dalam membentuk perspektif, dan perspektif memberi kita cara untuk melihat dan memahami dunia dari sudut pandang yang berbeda-beda dan unik.


Lalu bagaimana mendapatkan perspektif yang paling adil? Tidak ada cara yang pasti, kecuali tetap penasaran dan terus belajar tentang berbagai pandangan mengenai apapun, untuk dapat menentukan mana perspektif yang benar dalam konteks tertentu yang beragam dan sangat kompleks. Lalu yang terpenting adalah tidak menjadi fanatik dan menolak sesuatu yang 'aneh dan baru' dalam sebuah perspektif dominan.


00:05

Comments