Runtuhnya Rasionalitas

Pendapat yang menggebu-gebu disuarakan mengenai runtuhnya rasionalitas setelah abad 20 saya kira perlu dihentikan, dan agen yang menyuarakan itu perlu liat gambaran yang lebih besar mengenai perubahan ini. Terutama di negaranya sendiri, Indonesia.


Ketika pasca kebenaran dikatakan sebagai era runtuhnya rasionalitas, mungkin benar tapi kurang tepat, kita tau pasca kebenaran lebih memperhatikan perasaan daripada kebenaran objektif. Mungkin ini bagus untuk menambah khazanah pemikiran dalam kondisi di mana kita sudah 'mahir' berpikir rasional, yaitu logis dan analitis, ini yang terjadi di barat. Tapi ini tidak berlaku untuk kita yang menyentuh pencerahan saja belum. Lalu apa yang runtuh? Tidak ada yang runtuh karena kita tidak membangun perubahan apapun. Bahkan kita masih terjebak pada cara berpikir yang dogmatis.


Ketika kebanyakan dari kita memilih mitos sebagai pegangan hidup, dan kita mendengar bahwa dunia sedang meruntuhkan rasionalitas, lalu kita sambut dengan riang gembira bertepuk tangan atas itu? Lalu melanjutkan hidup dengan mitos-mitos karena rasionalitas telah diruntuhkan? Ada yang tidak disadari. Bahwa kita sebenarnya telah tertinggal jauh. Mereka sudah beranjak ke langkah yang baru, kita hanya meratapinya dan merasa bangga dengan kekolotan kita. 


Kita pincang, satu kaki yang menyeimbangkannya tidak tumbuh. Kita bertumpu pada satu kaki sejak dulu. Relakah membiarkan kemanusiaan kita terjatuh karena ketidaksadaran kita terhadap perubahan yang terjadi. Sebagian dari kita berusaha menyeimbangkannya, sebagian (besar) yang lain merasa tidak perlu. Kita masih tiba pada perdebatan dan jauh dari kata sepakat, sedangkan perubahan terus terjadi.


Apa yang bisa dilakukan? Mulai dari menyadari kemanusiaan kita, bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks, ia tidak hanya terdiri dari serangkaian emosi (rasa), tapi juga adalah makhluk yang punya rasio (akal). Salah satunya tidak bisa ditepuktangani keruntuhannya. Keduanya harus dirayakan, dipelihara, untuk menjadi manusia yang layak.


Yang terjadi di negara ini sebaliknya, kita dengan penuh kebencian menganggap bahwa apa-apa yang berkaitan dengan rasio adalah produk barat yang tidak baik dan harus dihindari. Padahal dengan begitu, secara tidak sadar kita telah mengingkari kemanusiaan kita sendiri.


Bukan menjadi berkembang menjadi manusia yang terbuka di antara kompleksitas kehidupan, dengan pandangan yang berkembang dari rasionalitas objektif kepada post truth yang subjektif, tapi kita makin terpuruk di era pasca kebenaran ini, yang mana perasaan itu lebih penting daripada bukti empiris, di mana berpikir rasional yang berdasarkan pikiran logis dan fakta empiris dikecilkan. Dengan ini kita semakin tidak mau menunjukkan unsur curiosity atau penasaran untuk mencari bukti empiris atau data empiris. Ini nyambung dengan inkapasitas kita untuk berpikir secara objektif.


Yang ingin saya tekankan dalam tulisan ini, saya tidak berkata bahwa pernyataan dogmatis adalah tidak baik, ia juga merupakan hasil karya pikiran kita yang keberadaannya juga berarti. Tapi ketika kehidupan yang nyata ini dilakui dengan hal-hal rekaan, agaknya menjadi tidak bijak dalam bermanusia. Oleh sebab itu saya sering sekali dalam beberapa tulisan menekankan berpikir rasional. Di mana kita berpikir secara logis dan objektif. Logis artinya sesuai kaidah logika yang sistematis dan kemudian objektif sesuai dengan apa adanya, artinya empiris, sesuai pengamatan terhadap 'materi'nya, bukan sesuai pendapat atau selera kita.


Dengan demikian, jika masyarakat sudah terpenuhi dasar-dasar berpikirnya dan terinformasi dengan baik, lalu bisa membedakan mana yang benar adanya dan mana yang hanya permainan emosi. Agaknya sudah pantas membaca bab baru dalam kehidupan terutama dalam era pasca kebenaran.


28/05/23

Comments