Mencoba Mengukur Kebaikan Meskipun Ini Tentang Selera

"Berlombalah dalam kebaikan bukan dalam kebenaran"


Sekilas, saya setuju dengan ini. Alasannya adalah karena semata-mata kebaikan melahirkan kebahagiaan. Melihat orang lain tersenyum bahagia adalah hal terbaik dalam menjalani kehidupan. Namun, apabila kita kembali mempertimbangkan kalimat ini. Muncul banyak pertanyaan. 


Apakah kebaikan ini tidak akan menjadi petaka? Apakah kebaikan yang dilakukan terus-menerus tidak akan merusak kebaikan itu sendiri? Contoh, apabila dalam sebuah kelas ujian akhir semester, seorang anak yang pintar memberikan semua jawabannya kepada teman-temannya, dalam artian bahwa dia melakukan kebaikan. Untuk jangka waktu yang pendek mungkin hal itu tetap menjadi kebaikan. Namun, dalam jangka waktu yang panjang, tindakan itu melahirkan candu, ketergantungan dan malas. Berakhir pada tindakan-tindakan lain seperti pencurian karena terbiasa dengan cara singkat, dan jika dibiarkan, akan menjadi pembenaran bagi teman-temannya untuk melakukan hal tidak baik lainnya di masa depan.


Contoh lain, apabila kebaikan dilakukan terus-menerus dalam bentuk memberi hutang karena ingin melihat temannya bahagia, mungkin untuk sementara, hal ini akan membantu orang lain meringankan bebannya, dan itu tidak masalah, selama peminjam hutang selalu berbenah diri atas tindakan dan sikapnya dalam berhutang. Namun, apabila kebaikan yang dilakukan dalam hal ini memberi hutang dilakukan secara berlebihan, tidakkah ini akan melahirkan keburukan? Misal dalam skenario terburuk, melahirkan sikap tidak bertanggungjawab dari peminjam uang.


Banyak contoh lain yang bisa dibahas dalam hal kebaikan yang justru melahirkan keburukan. Yang terpenting bagi kita adalah melihat kebaikan yang lebih besar, itulah yang kita kejar. Namun untuk melakukan kebaikan yang lebih besar, kadang cara-caranya memang tidak selalu terlihat baik. 


Berbicara mengenai kebaikan, hal ini sangat subjektif. Hal yang baik untuk orang A belum tentu baik untuk orang B. Dalam memperlakukan kebaikan, kita harus pintar melihat kebaikan apa yang baik untuk kebaikan. Untuk mendapatkan kebaikan yang jangkauannya jauh lebih besar. Dan untuk mencapai kebaikan yang lebih luas itu, kita perlu kebenaran.


Tidak selamanya mengejar kebaikan itu baik, kita juga perlu melihat dan mempertimbangkan apakah itu benar dilakukan. Tentu benar dalam konteks ini bukan kebenaran subjektif seperti kepercayaan-kepercayaan. 


Kebenaran subjektif yang dilakukan secara sembarangan dengan landasan berpikir "yang penting benar dan lurus" akan melahirkan sebaliknya. Ia akan melahirkan keburukan yang lebih buruk dari melakukan kebaikan terus menerus. Contoh: apabila suatu kelompok bernama A meyakini bahwa kelompok B adalah buruk tanpa melakukan konfirmasi dan diskusi. Maka jika berangkat dari landasar berpikir "yang penting benar dan lurus", maka melakukan keburukan terhadap kelompok B menjadi sebuah tindakan yang dianggap benar (memusnahkan hal yang dianggap buruk).


Banyak sekali contoh yang bisa dicantumkan dalam tulisan ini mengenai melakukan kebenaran subjektif yang melahirkan keburukan terburuk, namun saya harap teman-teman memikirkan dan menemukannya sendiri. Kemudian dalam hal ini, saya tuliskan tindakan paling banyak melahirkan keburukan diurut dari nomor satu, berdasarkan pengalaman.


1. Melakukan kebenaran subjektif.

2. Melakukan kebaikan-kebaikan (perlu parameter)

3. Melakukan kebenaran objektif.


Jadi, melakukan kebenaran subjektif perlu adanya koreksi terhapa kebenaran yang diyakini untuk mendapatkan kebaikan yang lebih luas.


Dan dalam melakukan kebaikan-kebaikan terus menerus, kita perlu adanya parameter yang jelas terhadap kebaikan, mana yang terkategori sebagai baik dan menghasilkan kebaikan yang luas, mana kebaikan yang hanya melahirkan kebaikan sementara dan mana kebaikan yang justru melahirkan keburukan.


Yang terakhir, melakukan benenaran yang objektif. Melakukan kebenaran yang dihasilkan dari pengamatan dan analisis yang mendalam terhadap suatu hal untuk mendapat kebaikan yg lebih besar. Bagian ini adalah tindakan yang menghasilkan keburukan paling sedikit. Contohnya kita kembalikan ke kasus yang pertama di atas, jika siswa yang pintar tidak memberikan jawabannya kepada teman-temannya (bisa disalahartikan menjadi pelit) maka, tindakan ini berpeluang untuk membuka diskusi bersama di lain waktu untuk membahas mengenai soal yang tidak diketahui temannya. Alih-alih hanya mendapat jawaban tanpa penjelasan, temannya akan menjadi lebih tau dengan mendapat diskusi di lain waktu. Hal ini juga melatih temannya untuk menjadi pribadi yang lebih jujur dan bertanggung jawab. Terbiasa dengan sesuatu yang tidak instan dan berproses untuk kebaikannya. 


Contoh lain kita kembali ke kelompok A dan B yang meyakini salah satunya adalah kelompok yang buruk. Jika kedua kelompok melakukan kebenaran objektif. Mereka akan berusaha memahami satu sama lain. Kelompok A akan mengenal dan memahami kelompok B dan begitu pula sebaliknya, untuk dapat menghasilkan kebenaran objektif. Jika kedua saling melakukan kebenaran objektif, bukan tidak mungkin akan melahirkan kebaikan yang lebih besar. Misal kelompok B mengakui bahwa kelompoknya memang tidak baik, tidak heran kelompok A menganggapnya demikian dan begitu juga sebaliknya. Hal ini akan melahirkan perdamaian di antara dua kelompok.


14/01/23

Comments