Secara Natural Manusia Tidak Memiliki Kebencian Terhadap Perbedaan

Secara natural dalam kemanusiaan, kita tidak punya masalah dengan perbedaan identitas gender tertentu. Yang saya amati justru alih-alih masyarakat melakukan persekusi dan diskriminasi, banyak orang menanggapinya santai disertai gelak tawa terutama jika kita mengaca pada sejarah indonesia klasik, kita tidak punya masalah dengan itu. Bahkan dalam konteks sekarang, dalam sebuah laporan VOA Indonesia, seorang narasumber diminta untuk berpendapat terhadap hal-hal semacam itu. Berdasarkan pendapatnya, tidak ada yang bersifat negatif, bahkan cenderung suportif. Namun ketika hal ini dibenturkan dengan nilai-nilai moral tertentu, pada bagiannya tindakan ini dianggap tidak sesuai. 


Kenapa saya berkata bahwa secara natural kita tidak memiliki masalah yang serius dengan hal ini, saya mengamati berbagai hal yang terjadi di sekeliling saya. Di jogja, kita juga tau bahkan ada kelompok masyarakat tertentu yang memperbolehkan komunitas ini berkembang, seperti dibangunnya pesantren khusus komunitas ini, mempekerjakannya dalam dunia kosmetik dan kecantiksn hingga dunia hiburan publik. Dalam ranah ini, berdasarkan yang saya amati, saya melihat pola bahwa kita sebenarnya merasa tidak ada masalah dengan kelompok ini.


Dalam banyak kasus anak-anak berada dalam posisi netral dalam melihat fenomena ini, mereka tertawa dan merasa melihat sesuatu yang berbeda seperti melihat perbedaan yang lain, namun karena mereka tumbuh di sebuah masyarakat yang penuh dengan nilai tertentu dan bertentangan dengan ini, anak-anak menjadi tumbuh penuh kebencian dan ketika berhadapan dengan sesuatu yang berbeda, mereka cenderung menghujat dan pada bentuk yang lebih parah, perlakuan fisik tidak mengenakkan, dilakukan.


Oleh sebab itu, pertentangan dan ketidakadilan selalu dialami oleh kelompok minoritas ini. Fakta bahwa Tuhan telah menciptakan perbedaan ini menjadi tidak penting dalam masyarakat yang bodoh. Masyarakat lebih banyak mengandaikan komunitas ini sebagai setan yang juga diciptakan Tuhan, namun harus dimusnahkan. Padahal, nyatanya, jika ingin berlaku lebih adil, tentu setan dan manusia harus dibedakan. Setan adalah nilai-nilai buruk yang keburukannya mutlak, sedangkan manusia adalah 'media' yang berisi keburukan dan kebaikan. Manusia tidak bisa dinilai sebagai nilai buruk yang mandiri dan mutlak.


Ketika berbicara tentang nilai baik dan buruk, arahnya adalah moral dan etika. Sedangkan seperti yang sudah banyak saya jelaskan dalam beberapa tulisan, aspek moral dan etika sangat subjektif. Setiap kelompok memiliki kebenarannya masing-masing. Niali-nilai moral berlapis, ada yang bersifat sangat sempit dan berlaku pada kelompok kecil, ada yang bersifat lebih luas dan berlaku pada kelompok lebih besar, kendati berlaku lebih besar, nilai-nilai ini masih bersifat subjektif kelompok tertentu, ini tidak menggambarkan kebenaran universal. Oleh sebab Itu, menjadi adil secara universal, tidak pernah didapat jika seseorang atau kelompok tertentu hanya mendasarkan keputusannya pada nilai moral subjektif.


Neurosains mengungkap bahwa otak kita memang dirancang untuk mendeteksi perbedaan. Oleh sebab itu kita peka terhadap perbedaan, dengan demikian kita dengan mudah membedakan teman kita yang bernama kuni dan kuna meski mereka memiliki jumlah mata yang sama, hidung dan lubang hidung yang sama, jumlah telinga dan tangan yang sama, kaki dan jari-jari dengan jumlah yang sama. Jika dibahasakan secara religius, Tuhan telah menciptakan alat pikir bagi kita untuk menemukan perbedaan yang memang ada di antara kita dan tinggal kita menentukan sikap kita terhadap perbedaan itu. Karena kita hidup di dunia yang tidak hanya mengagungkan dirimu, kepentinganmu kelompokmu, kebenaran universal tanpa bias nilai subjektif menjadi sangat penting untuk menjadi basis berpikir kita dalam menentukan sikap kita terhadap perbedaan.


Apa yang akan terjadi jika kita memaksakan nilai subjektif terhadap kenyataan universal yang beragam? Singkatnya diskriminasi dan ketidakadilan terjadi. Bagaimana mungkin keadilan tercapai, jika nilai-nilai yang kita yakini hanya mengimani alfabet, katakanlah A B C sampai Z, sedangkan kenyataan atau kebenaran universal menyediakan kemungkinan lain misal angka 1 2 3 hingga 9. Apa yang terjadi? Kita akan melakukan diskriminasi pada angka-angka dan memaksakan keyakinan bahwa yang ada dan yang mulia hanyalah alfabet. Angka-angka harus dimusnahkan, paling tidak diganti, diubah, menjadi alfabet. Sungguh miris apabila itu yang terjadi di dunia kita.


Kita perlu melihat gambaran lebih luas di mana kelompok ini juga sering kali diterima tanpa syarat. Tidak ada diskriminasi dan ketidakadilan. Bahkan, dalam kelompok tertentu, alih-alih hanya dibiarkan tumbuh sebagaimana adanya, seperti fenomena biasa pada umumnya, perbedaan identitas gender menjadi sesuatu yang dihargai.


Di Indonesia, keberadaan perbedaan identitas gender telah ada sejak lama dan dikenal dengan istilah "wadam" di Jawa. Wadam biasanya hidup dan bekerja bersama dalam kelompok tertentu, seperti dalam dunia seni, hiburan, dan prostitusi, hal ini mungkin kian jarang terdengar di telinga kita, mengingat masyarakat kita menganut nilai-nilai tertetu yang mendominasi. 


Selain itu, penerimaan juga terjadi di beberapa suku di indonesis. Beberapa memiliki kebudayaan dan pandangan yang berbeda terkait perbedaan identitas gender. Pertama dalam suku bugis, di masyarakat bugis, terdapat konsep "bissu" yang mengacu pada individu yang dianggap memiliki energi spiritual yang kuat dan memiliki peran dalam upacara keagamaan. Bissu bisa saja merupakan orang transgender yang dihormati dan dianggap suci. Dalam suku minangkabau, terdapat konsep "calabai" dan "calalai". Calabai merujuk kepada individu yang dilahirkan dengan kelamin wanita tetapi mengenakan pakaian dan memainkan peran laki-laki dalam masyarakat. Sebaliknya, calalai merujuk kepada individu yang dilahirkan dengan kelamin laki-laki tetapi mengenakan pakaian dan memainkan peran perempuan. 


Selain itu di suku batak, perbedaan Identitas gender ini dapat dikaitkan dengan tradisi maengket atau "penari laki-laki". Maengket adalah sebutan untuk penari pria yang mengenakan pakaian perempuan dalam tarian tradisional. Mereka dihormati dan dianggap sebagai penjaga keberuntungan dalam acara-acara adat. Kemudian di suku dayak, ada tradisi ritual "basir" yang melibatkan penari yang mengenakan kostum perempuan dan menari dengan gerakan khas. Basir sangat dihormati dalam komunitas dayak dan dianggap memiliki kekuatan magis serta mampu membawa keberuntungan. 


Ini hanyalah sebagain yang terjsdi di indonesia. Kita belum membahas penerimaan yang ada di luar indonesia, seperti yang terjadi di india, thailand atau bahkan dalam tradisi arab islam yang bisa dibaca di buku berjudul Before Homosexuality in the Arab-Islamic World, 1500 –1800 yang ditulis oleh Khaled el-Rouayheb. Meskipun buku ini membahas tentang orientasi seksual, paling tidak ini memberikan gambaran bagaimana masyarakat di masa lalu memandang perbedaan dalam hal gender dan seksualitas. Ini seharusnya menjadi pijakan kita untuk menjadi lebih bijak dan adil dalam menyikapi perbedaan dalam segala aspek, termasuk dalam hal identitas gender.



08:58

Comments