Kebenaran di Zaman Pasca Kebenaran

Buat yang tidak kuat membaca keluh-kesah yang banyak ini, disarankan untuk membaca bagian akhir. Meskipun contoh-contoh dan konteks akan didapat apabila tahan membaca semuanya.

Untuk mengetahui sebuah subjek pengetahuan, dalam artian dari tidak tau menjadi tau, tidak bisa dilakukan hanya dalam satu atau dua pertemuan, mekipun membahas subjek tersebut secara serius. Sebelum lanjut, saya ingin menekankan bahwa tulisan ini adalah murni pendapat pribadi, apabila ada penelitian terkait tulisan ini, tolong percayai penelitiannya saja.

Katakanlah si A mengadakan pertemuan dengan si B untuk mempelajari cara membuat paragraf. Pada pertemuan pertama, si A mungkin saja merasa paham membuat paragraf. Ia mengetahui struktur membuat paragraf. 

Ketika diminta membuat paragraf. Hampir bisa dipastikan ia tidak akan membuat paragraf yang baik. Kalaupun kemudian dia membuat paragraf yang bagus, bisa dipastikan ia telah mengetahui cara membuat paragraf, sebelum melakukan pertemuan dengan si B.

Kenapa saya mengatakan demikian dengan pasti? Saya terbuka dengan kemungkinan lain, namun dengan kasus ini, garis sebab akibatnya bisa dilihat dengan jelas, oleh sebab itu saya berkesimpulan demikian.

Dari mana saya mengukur bahwa membuat paragraf adalah materi yang sulit dengand emikian tidak bisa dilakukan hanya 1 atau 2 pertemuan apa indikatornya? Pertama pengalaman, sebagai murid dan sebagai guru. 

Yang kedua, kita bisa liat dari komponen paragraf itu sendiri, cukup kompleks. Mulai dari perbendaharaan kosakata, struktur kata fonem morfem, frasa, klausa, kalimat dan struktur paragraf, topik, major minor, dan kesimpulan, kemudian menyusun struktur2 tersebut dengan baik belum lagi tanda baca dan kapitalisasi, dan lain-lain. Yang disebutkan sebelumnya masih belum semua.

Dari segelintir pembahasan mengenai membuat paragraf yang baik itulah, saya menyimpulkan bahwa ini adalah materi yang kompleks, dan saya mengatakan bahwa tidak bisa dilakukan hanya dalam 1 atau 2 pertemuan.

Tapi bukan itu intinya, yang ingin saya sampaikan dari tulisan ini adalah, bagaimana proses manusia dari tidak tau menjadi tau. Tentu saya tidak akan membahasnya melalui neurosains, bukan ranah saya. Tapi saya ingin melihatnya sebagai pengajar, yang melihat anak didiknya belajar lalu kemudian mengetahui pelajaran yang disampaikan.

Contoh terkait belajar paragraf ini hanya contoh sederhana dari bagaimana kita tidak tau kemudian menjadi tau. Bahkan paragraf ini hanyalah subbab dari bagaimana menulis yang baik, bisa berupa menulis esai, makalah, laporan penelitian atau sesimpel novel. 

Sesuatu yang sangat kompleks membutuhkan banyak pengorbanan waktu untuk bisa dipahami dengan benar. Bagaimana dengan pertanyaan mengenai bagaimana memahami kehidupan, memahami alam semesta, memahami Tuhan?

Jangankan memahami pencipta, memahami kehidupan saja, tidak semua orang berhasil, banyak orang menghabiskan seumur hidupnya, baik 30, 60 tahun atau yang lainnya, berakhir pada 'menghabisi' dirinya sendiri. Itulah tanda bahwa dirinya tidak mengerti kehidupan, tidak berhasil meyakinkan dirinya bahwa dirinya mengerti kehidupan. 

Lalu kenapa jika tidak mengerti? Belajar untuk mengerti. Tapi jika sudah 'mengerti', jangan pernah mengurung diri dengan satu pemahaman, bukalah kemungkinan seluas mungkin. Kenapa saya berani memerintah seperti ini? Karena -mari kembali ke contoh paragraf di atas, bahwa bisa saja kita tidak memahami semuanya.

Bukanlah sebuah masalah apabila kita mengatakan kita mengerti sesuatu, tapi tertutupnya kemungkinan akan pemahamaan lain di luar yang kita pahami, adalah sebuah bencana besar. Sebagaimana dalam contoh paragraf, apabila si A mempertahankan posisinya bahwa dia menganggap dirinya mengerti tentang paragraf, namun nyatanya tidak, perubahan ke arah yang lebih baik tidak akan terjadi.

Bagaimanapun, dalam beberapa kasus, kita boleh saja mengatakan kita mengerti, yang tentu sekali lagi dibarengi dengan sikap terbuka akan segala kemungkinan, seperti yang sudah disebutkan di atas. Katakanlah tentang kehidupan, melanjutkan pertanyaan apakah kita mengerti kehidupan? 

Jika kita mengatakan bahwa kita mengerti kehidupan, katakanlah kehidupan kurang lebih, berdasarkan kacamata saya, adalah berisi permainan, yang kadang senang, kadang sedih. Jika kita tau bahwa isinya senang dan sedih, bukankah tindakan 'menghabisi diri' seperti yang disebutkan di atas adalah ketidaktauan bahwa 'kemungkinan' ada senyum di esok hari. Itu sedikit tentang kehidupan dan perlunya mengatakan mengerti dalam beberapa kasus. 

Kita kembali ke hal-hal sederhana dan sebaliknya. Jika dalam hal kecil saja seperti memahami paragraf di atas saja kita sukar memahaminya dengan cepat, bagaimana dengan hal-hal yang lebih kompleks? Dari pertanyaan ini, kita bisa ambil, bahwa di sisi lain, kita sangat perlu merendahkan diri untuk sekedar mengatakan "saya tidak tau dan saya butuh belajar lagi."

Pandemi terkait "saya tau semuanya" terjadi di dunia dewasa ini. Terutama di perguruan tinggi. Ketika dawai-dawai pengetahuan dipaparkan, dan atas nama pengetahuan sebuah masalah diajukan untuk diselesaikan. Hasilnya disembah bagai kalam dewa yang baru saja turun dari langit. Beragam opini tentangnya harus dipenggal, karena kebenaran sudah datang.

Paragraf sebelum ini menggambarkan bagaimana kekakuan dan ketertutupan atas kemungkinan lain itu terjadi. Inilah bencana besar yang saya sebutkan di atas. Ketika suara minoritas disingkirkan karena tidak sesuai tren. 

Ketika itu terjadi, pada saat itu juga, pengatuan mencabik tubuh besar dirinya sendiri. Merobek ketidaksesuaian-ketidaksesuaidan dan kecacatan. Menerima bentuk barunya yang elegan dan rapi. Padahal tubuhnya merintih kesakitan, bagian dari dirinya disingkirkan.

Gambaran besar atau tubuh besar pengetahuan akan menjadi dirinya sendiri apabila ia membiarkan dirinya utuh. Karena kita menjelaskan dunia, bukan memberi penjelasan pada dunia. 

Kita menggambarkan bagaimana bentuk pengetahuan yang sebenarnya. Bukan memolesnya menjadi cantik dan menarik, membuang yang tidak perlu. Dan menampilkannya dalam etalase kesempurnaan dan mengatakan, inilah bentuk tubuh pengetahuan yang sebnarnya.

Ketika sebuah ilmu yang luas dan kompleks dipelajari, proses memahami dan transfer ilmu agaknya menjadi lebih sulit dilakukan kecuali dengan bertahap. Alih-alih memotong ketidaksempurnaan pengetahuan, akan lebih baik membiarkannya atau menyediakan waktu lebih panjang untuk memahaminya. 

Jadi, manusia yang ingin mengetahui, perlu meluangkan waktunya sepenuh hati, untuk berproses memahami kompleksitas kehidupan. Oleh sebab itu, semakin kita belajar, semakin kita merasa tidak tau apa-apa. Pada saat itulah, saatnya untuk terbuka atas berbagai kemungkinan.

Karena sebuah pengetahuan itu kompleks, dibutuhkan langkah-langkah yang tepat dalam memahaminya, secara berurutan dan sistematis. Seperti yang sudah disinggung dalam memahami paragraf di atas. Begitu juga memahami hidup. Komponen terkecil apa saja yang harus dipahami, sebelum mengaku memahami sesuatu.

Pada dasarnya, apabila kita berkeinginan untuk mengetahui sesuatu, 'cahaya kemungkinan' yang kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan terhadap apa yang ingin kita ketahui, akan turun seperti hujan. Dari pertanyaan-pertanyaan itulah kita akan diarahkan pada sebuah jawaban. Jawaban inilah yang kemudian bisa kita yakini sembari selalu ingat bahwa ada kemungkinan jawaban lain untuk satu pertanyaan yang kita punya.

Katakanlah kita ingin mengetahui kenapa manusia bisa bertanya? Kita mencari jawaban yang menjelaskan fenomena itu. Kenapa kita bertanya? Untuk sementara mungkin kita akan bilang karena kita punya otak, informasi yang tidak lengkap dalam otak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan.

Dari sana, kita butuh penjelasan lebih detail. Kita terus mencari informasi tentang itu. Dimulai dari bagaimana mungkin manusia bisa bertanya, terlahir pertanyaan lain, misal manusia itu apa? Otak manusia itu apa? Apakah manusia punya pencipta yang mengarahkannya untuk bertanya?

Kita akan terus bertanya bahkan ketika kita tau segalanya. Ini pendapat saya. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjengkelkan banyak orang, sehingga kerinduan purba manusia atas kebenaran berusaha menjawabnya melalui berbagai cara. Dari tidak tau menjadi tau. 

Manusia di masa lalu menjawabnya dengan mitos. Saat ini kita menjawabnya dengan ilmu. Ilmu berkembang hingga pada titik terkuat dan tak terkalahkan, ia menjadi sombong dan egois, seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa ia rela mencabik dirinya sendiri untuk terlihat sempurna.

Dari kondisi semacam itu, lahir institusi pendidikan dan penelitian untuk mempertahankan pengetahuan. Bahkan dalam beberapa kasus, pengetahuan menjadi terlalu kuat dan sukar dibantah. Ini yang rentan penyalahgunaan. Bahwa pintu kemungkinan-kemungkinan sudah seharusnya tetao dibuka lebar meski pengetahuan telah menjadi raksasa kebenaran.

Bahwa pendapat para ahli ilmu pengetahuan harus dianggap bentuk terendah dari bukti-bukti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kita. Inilah tugas kita untuk menjadi sadar terhadap sebuah penelitian. Menjadi sadar pula bahwa penelitian adalah satu bagian dengan konteks tertentu tentang kehidupan. 

Bahwa penelitian haruslah meta analisis untuk tetap memastikan bahwa pintu kemungkinan tidak kita tutup. Memastikan bahwa penelitian harus melibatkan penelitian lain yang terkait, kombinasi. Untuk kembali memastikan bahwa tidak ada bias dalam usaha kita memahami kehidupan. 

Saya perlu menekankan bahwa kita menjelaskan kehidupan, bukan menyediakan penjelasan untuk kehidupan. 
Penelitian lama belum tentu lebih buruk daripada penelitian baru, dan sebaliknya, yang baru belum tentu lemah dan penuh kepentingan. Itulah cara kita 'mengetahui' sesuatu.

Untuk yang tidak tahan membaca keluh kesah di atas, saya berikan kesimpulan bahwa tulisan ini mengajak kita semua untuk tetap terbuka atas kemungkinan di antara kepastian-kepastian yang dijanjikan ilmu pengetahuan. Sehingga proses kita dari tau menjadi tidak tau akan terus berlangsung.

Seperti yang juga sudah disebutkan di atas, bahwa pada saat tertentu boleh saja kita meyakinkan diri bahwa kita mengetahui sesuatu, untuk menghibur diri kita yang sangat rindu akan kebenaran ini, namun pada titik tertentu, meragukan yang kita tau dan terbuka untuk segala kemungkinan, menjadi sangat perlu untuk dilakukan.

Bolehkan kita mengatakan bahwa "yang saya lakukan adalah benar, saya memahami sesuatu dengan segala konteks yang ada. Inilah kebenaran itu." Jika kita ada dalam posisi ini, saya sangat menyarankan untuk memikirkan ulang bagaimana cara kita "menjadi tau". 

Apakah kita menjadi tau dengan "tiba-tiba tau", atau melakukan berbagai pengecekan, tapi jika melalui pengecekan, apakah pengecekannya sudah benar-benar saya lakukan dengan baik? Atau jika saya sudah melakukan pengecekan dengan baik, apakah saya menarik kesimpulan dengan benar? Teruslah mempertanyakan cara kita menjadi tau, untuk memastikan kita tidak menutup kemungkinan lain.

Terakhir, supaya tidak terlalu panjang, saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah cara "mengetahui sesuatu" dengan cara tidak mengetahuinya. Jika kita punya asumsi terhadap sesuatu (kita tau). Lupakan hal tersebut. Mulailah dengan mempelajari bagian-bagian terkecil yang mendukung terbentuknya ide tentang sesuatu yang ingin kita ketahui. Seperti yang sudah kita beri contoh di atas. 

Jika ingin mengetahui menulis paragraf, mulailah mengetahui dari komponen terkecil seperti kata-kata atau bahkan huruf. Luangkan waktu kita untuk bertahap mempelajarinya. Mengulangi mempelajarinya dan mempelajarinya. Terkesan membosakankan. Tapi inilah harga yang harus kita bayar untuk menyelamatkan manusia dari sebuah zaman yang disebut "pasca kebenaran". Tetaplah terbuka atas segala kemungkinan.

16:16

Comments