Fenomena Orang Dalam: Welas Asih yang Melahirkan Keuntungan Kelompok

Orang dalam adalah agen yang menjembatani seseorang meraih posisi tertentu dengan cara yang tidak adil. Di negara di mana akal tidak mendapat posisi penting, oknum orang dalam dipelihara. Pada bentuknya yang paling parah, orang dalam membentuk dunia kita menjadi makin rendah dan dangkal. Kualitas tidak dipandang sebagai tujuan. Pada akhirnya pendidikan hanyalah institusi produsen ijazah, di mana orang bergabung hanya untuk mendapatnya, kompetensi menjadi tidak penting. Kompetensi menjadi tidak penting karena yang penting adalah orang dalam. Esensi tidak mendapat perhatikan. Perhatian ditujukan pada materi dan kapital.


Orang dalam menggambarkan betapa korupnya sebuah sistem. Di dalamnya kejujuran tidak mendapat tempat. Kepentingan kelompok tumbuh subur. Contoh yang sering terjadi dari kasus orang dalam ini umumnya orang tua, saudara, kerabat dekat, teman, berada dalam sebuah sistem dan berpengaruh. Kemudian memberi jabatan atau mempekerjakan orang-orang terdekatnya tanpa memperhatikan kompetensi, yang terpenting adalah kenal dan enak diajak bicara atau bekerja sama, untuk kemudian menghasilkan kecurangan atau -jika kata ini terlalu kasar, saya pakai- keuntungan kelompok. Keuntungan tertentu dalam sistem tersebut yang memungkinkan dilakukan jika bersama orang terdekat.


Pada bagiannya orang dalam merusak semangat juang, yang kemudian melahirkan gagasan dari orang-orang yang terdzolimi seperti tidak perlu konsistensi, tidak perlu persistensi atau kegigihan, tidak perlu kerja keras. Yang terpenting adalah relasi. Sistem yang tercipta dari relasi ke relasi tanpa mempertimbangkan kompetensi, akan menghasilkan keuntungan-keuntungan kelompok dan bukan tujuan esensial. Dalam penilaian, sebuah sistem menjadi bias karena hanya menilai dari satu aspek, yaitu kedekatan atau kekerabatan. Sedangkan aspek lain diabaikan. 


Contoh lain dari penilaian bias adalah dalam lomba pidato -supaya kita makin paham kesalahan yang dilakukan orang dalam saya beri contoh lain, karena saya tau sebagian orang menganggap ini bukan kesalahan, saya merasa perlu untuk memberi gambaran tentang ini- dalam penjurian lomba pidato, umumnya yang terjadi adalah juri hanya berfokus pada aspek berbicara, ini memang wajar mengingat pidato adalah lomba berbicara, yang umumnya luput dari perhatian adalah, juri-juri terhipnotis dengan 'penampilan' sehingga kurangnya perhatian pada aspek lain seperti materi, presentasi, intonasi, pelafalan, penggunaan kata dan aspek kecil lain yang sebenarnya juga esensial, pada akhirnya yang terpenting hanyalah berbicara dan berani. 


Padahal dalam kehidupan nyata banyak orang menilai lebih dalam, orang yang hanya banyak berbicara disebut politisi dan gagasan yang kurang baik disebut dungu, bahkan orang yang salah menggunakan kata dapat dipenjara atau ditolak oleh masyarakat, seperti yang banyak terjadi pada politisi, komika, influencer dan lainnya di mana berbicara dengan percaya diri bukan satu-satunya tolak ukur untuk mendapat kebaikan penuh. Dari gambaran ini kiranya tergambarkan apa yang menjadi bias dari sikap sistem orang dalam.


Contoh lain lagi dalam hal penerbitan jurnal atau karya tulis lainnya, ini sering terjadi di dalam dunia pendidikan. Di mana orang dalam berperan penting dalam penerbitan karya tulis orang-orang terdekatnya, terlepas dari karya tulis yang diterbitkan berkualitas atau tidak. Dalam contoh kasus, katakanlah orang A memiliki kepentingan untuk melanjutkan studi. Untuk bisa lanjut, ia harus menerbitkan beberapa artikel jurnal. Tokoh A ini kemudian menggunakan orang dalam untuk mempermudah prosesnya dalam penerbitan. Jika pun tidak ada orang dalam, tokoh A bisa membayar seseorang untk bentindak sebagai orang dalam dan memenuhi kebutuhan tokoh A. Selsin menerbitkan artikel tokoh A, orang dalam juga bisa memasukkan nama tokoh A ke dalam artikel jurnal yang bukan karyanya. Bahkan, kuasa orang dalam bisa membuat tokoh A sebagai penulis utama dalam sebuah jurnal. Dalam ini, kualitas menjsdi tidak penting.


Contoh lain yang sering kita temui di media sosial adalah perekrutan mahasiswa baru, polisi, tentara, dan paskibra yang meloloskan peserta dengan kompetensi tidak sesuai namun memiliki relasi dan kapital yang cukup. Bentuk ketidakadilan semacam ini sama-sama kita sepakati untuk kita lawan bersama. Namun yang mengkhawatirkan, ketika hal ini menimpa kita. Kita merasa perlu membenarkan keberadaan orang dalam. Standar ganda kita dalam hal ini berkontribusi penting pada suburnya ketidakadilan.


Saya juga ingin menggambarkan bagaimana sebuah sistem seharusnya. Beberapa waktu lalu saya kagum dengan sebuah institusi swasta di daerah saya, di mana semua relasi terdekat diajak untuk melamar sebuah posisi jabatan, dan orang di luar relasi juga mendapatkan kesempatan yang sama. Ketika semuanya telah mendaftar. Semua pendaftar melewati serangkaian tes yang disesuaikan dengan posisi yang ada. Dalam tes tersebut semua orang diperlakukan sama, dan yang terpenting adalah pengambilan keputusan difokuskan pada kompetensi di dalam CV pelamar (aspek pengalaman) dan tes yang dilakukan. Tidak ada tes yang dinilai sesuai 'perasaan atau basis relasi', semuanya terukur jelas. Hal-hal terkait orang dalam menjadi benar dilakukan jika kompetensi juga diperhatikan. Pertimbangan pemberian posisi jabatan berdasarkan kompetensi menjadi titik fokus utama selain juga menilai aspek lain yang dibutuhkan, dan bukan hanya berdasarkan kedekatan.


Ada sebagain orang yang tidak percaya orang dalam, mereka berpendapat bahwa orang dalam adalah kelihaian mereka mencari relasi.

Tamparan keras bagi orang seperti ini bisa kita lihat dari kasus yang dipertontonkan di negeri ini beberapa waktu lalu, di mana orang dalam berhasil mengubah aturan untuk memberi peluang kepada orang terdekatnya mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Selain itu, ada juga yang menjadi anggota partai, kemudian dalam hitungan hari menjadi ketua umum. Inilah bukti bahwa keberadaan orang dalam itu bukan hanya mitos, mereka benar-benar ada di sekeliling kita dan mempengaruhi sistem dengan cara-cara yang tidak dapat dibenarkan.


Saya tau bahwa kita adalah makhluk berperasa, di mana kita pada dasarnya tidak tahan melihat orang terdekat kita mengalami kesulitan. Inilah sebenernya yang menjadi bias kita. Kita perlu tau bahwa orang terdekat bukanlah satu-satunya orang yang menderita. Kita perlu melihat gambaran lebih luas terkait kehidupan. Bagaimana jika ada orang yang lebih pantas dan juga menderita namun tidak bisa menempati posisi yang kemudian diisi oleh orang terdekat. Saya tau bahwa keadilan memang tidak akan dicapai secara penuh, karena pada dasarnya hidup ini juga tidak adil. Ada orang yang terlahir dengan privilese tertentu baik kapital yang cukup, relasi yang kuat, tubuh yang lengkap, cara berpikir yang benar atau yang lainnya. Namun dengan fakta yang ada bukan berarti kita perlu berkontribusi pada ketidakadilan juga. Justru dengan sekurang-kurangnya, kita perlu memperjuangkan keadilan itu.


Banyak keburukan yang terjadi jika sistem orang dalam dipertahankan. Saya akan rangkumkan secara umum dari penjabaran sebelumnya. Pertama membentuk dunia makin rendah dan dangkal karena tidak berdasar pada kompetensi atau esensi, dunia pendidikan yang seharusnya memastikan kompetensi berubah menjadi ladang penghasil ijazah. Menghasilkan sistem yang korup dan berorientasi pada nepotisme atau keuntungan materi serta kapital. Melahirkan bias, sikap tidak jujur, kecurangan, tidak perlu konsistensi, tidak perlu persistensi atau kegigihan, tidak perlu kerja keras, yang terpenting adalah relasi. Semuanya bermuara pada ketidakadilan. Ini belum termasuk keburukan turunan yang dihasilkan dari hal-hal tersebut.



07:17

Comments