Sumbangsih Superioritas Moral Tertentu terhadap Ketidakadilan

Di antara lamunan, saya bertanya-tanya. Pada akhirnya siapa yang berhak mengatur hidup kita. Saya tidak berhak mengatur hidup orang lain dan orang lain juga tidak punya hak mengatur hidup saya. Jikapun saya punya parameter terbaik untuk menentukan kebenaran dan kebermanfaatan, apakah itu lantas memberikan saya legitimasi untuk ikut campur urusan hidup orang lain? Saya pikir tidak. 


Setiap orang memiliki kemampuannya masing-masing untuk mengatur hidupnya sendiri, dengan kadar pemahaman tertentu. Lalu kapan 'ikut campur' urusan orang lain bisa dilakukan? Apakah harus? Pada saat-saat tertentu. Ketika pilihan orang lain atas hidupnya mempengaruhi atau mengganggu kehidupan kita atau orang banyak, saat itulah intervensi terhadap pilihan orang lain bisa dilakukan. 


Salah satu contoh kasus, katakanlah seseorang mencuri motor kita. Orang tersebut mengambil jalan mencuri untuk mendapatkan uang. Saat itulah kita bisa mencegahnya mencuri, karena orang tersebut telah mengganggu kepemilikan orang lain. Kita tidak bisa membiarkannya dan berkata "sudahlah, itu pilihan hidup dia untuk melakukan tindakan mencuri, kita tau dia mengalami hidup yang berat, tidak memiliki pekerjaan dan selalu dianggap beban keluarga dan negara, sehingga dia memutuskan mencuri untuk memenuhi kehidupannya dan istri-anaknya." Itu salah, kita seharusnya mempertahankan hak milik kita dengan mencegahnya mencuri motor kita. Dalam konteks itu kita harus berlaku demikian. Tapi kita juga harus tau intervensi tidak bisa kita lakukan dalam setiap konteks hidup.


Kadang, seseorang berlaku berlebihan, ia ingin ikut campur dalam setiap urusan kehidupan seseorang. Ia melakukan itu atas keinginan pribadi dan seringkali didukung oleh nilai-nilai moral yang dipegang. Katakanlah dalam sistem moral/religi tertentu minum air kelapa hukumnya haram. Lalu seseorang mencegah orang yang meminumnya dan berkata tindakanmu melanggar aturan moral/religi. 


Yang tidak ia ketahui adalah, orang yang meminum air kelapa bisa jadi menganut nilai-nilai yang berbeda. Pada kasus-kasus tertentu, kadang seseorang telah mengetahui bahwa orang lain menganut nilai lain, namun karena ia menganggap bahwa nilai yang mereka pegang superior (tentu dalam keyakinannya sendiri), ia seolah-olah merasa berhak untuk mengintervensi orang lain. Keangkuhan ini pada bagiannya mengganggu. 


Pada saat-saat tertentu seseorang juga memiliki cara berpikir seperti ini, jika seseorang dalam kelompok melakukan kesalahan atau dosa besar. Kelompok tersebut dalam bahaya. Ia bisa saja terkena azab kapanpun, seperti gempa bumi, gunung meletus atau tsunami. Saya masih belum paham bagaimana cara berpikir ini bisa hidup di antara fakta bahwa bumi kita punya hukum alam. Cara berpikir ini menurut pandangan saya tentu saja tidak berdasar. Bagaimana mungkin nilai-nilai moral mempengaruhi cara alam bekerja. Bagaimana mungkin orang minum air kelapa (seperti contoh di atas, katakanlah ini dosa) bisa mempengaruhi cara kerja alam. Menanggapi hal ini, itulsh sebabnya dalam banyak kesempatan, saya selalu menekan cara berpikir logis, rasional dan ilmiah.


Selain itu, orang-orang kesulitan membedakan mana sesuatu yang salah di mata nilai universal kemanusiaan dan mana yang salah di mata nilai-nilai moral/religi, pada bagiannya, kesulitan membedakan keduanya menghasilkan ketidakadilan. Saya tidak tau kenapa sebagian orang mengalami kesulitan membedakan kedua hal ini. 


Dalam sebuah perbincangan, seorang rekan berkata kepada saya "Saya tidak setuju seseorang berpakaian bebas (terbuka) di tempat umum" ketia ia mengemukakan pendapatnya. Saya bisa melihat pengaruh besar nilai moral tertentu terhadap cara berpikirnya di dalam alam pikirannya. Lalu saya menjawab seperti ini, "Itu hak orang lain mengekspresikan dirinya, selain itu siapa yang dirugikan dalam tindakannya berpakaian terbuka?"


Ia kemudian menjawab "ada" namun tak memberi contoh siapa saja. Kemudian saya timpali, "tidak ada, yang ada itu justru keuntungan untuk mata keranjang". Di sini saya berusaha memberikan penekanan pada nilai-nilai universal kemanusiaan dalam percakapan itu. Meski saya tau orang di depan saya ini terpengaruh nilai moral tertentu. Saya ingin menekankan, bahwa ketika tidak ada yang dirugikan dalam sebuah tindakan, tindakan itu bisa diterima.


Di samping itu, seperti yang sudah disebutkan di atas, kita tidak punya hak sama sekali untuk menentukan hidup orang lain. Orang lain memperlakukan hidupnya A B C itu terserah dia, selama ia tau konsekuensinya untuk dirinya dan tidak merugikan orang lain. Saya pikir ini bisa diterima. Begitu halnya dengan rekan saya di atas. Ia berhak menganut nilai moral tertentu. Selama ia menghayatinya untuk dirinya dan nilai-nilai itu tidak dipaksakan untuk orang, tentu itu sah saja diyakini. 


Kita tidak bisa memilihkan mana tujuan yang harus dipilih oleh orang lain. Kita tidak bisa berperilaku seperti pemilik rumah ketika kita hanya seorang tamu. Saya juga ketat dalam menerapkan ini dalam kehidupan saya, pada akhirnya saya juga tidak bisa memaksakan nilai-nilai yang saya pegang untuk orang lain. Selama orang lain tidak mengganggu, selama itu juga saya tidak seharusnya memaparkan nilai moral yang saya pegang, karena ini bersifat pribadi dan untuk kehidupan saya. Kecuali jika seseorang bertanya tentang itu dalam konteks pertukaran pikiran.


Keterbukaan atas keberadaan nilai berbeda dengan kita menjadi penting. Kita tau bahwa manusia bukanlah makhluk yang seragam. Setiap manusia tumbuh dengan lingkungan yang berbeda dan pengalaman yang berbeda. Tidak bisa dimungkiri bahwa keberadaan pikiran di tubuh yang berbeda, mengahsilkan pemikiran yang berbeda. Oleh sebab itu, bahkan dalam satu kelompok religi tertentu, terdapat banyak mahzabnatau aliran. Tidak perlu ke contoh yang lebih besar, contoh kecil seperti satu keluarga atau satu pasangan, perbedaan pandangan selalu terjadi. Alih-alih menjadi pembawa berita kebenaran dengan memaksakan nilai tertentu, kita butuh pelajaran untuk menghargai pemahaman orang lain, yang pada bagiannya melahirkan keberagaman cara berpikir.


Kendati demikian, ketika kita berbicara tentang alam dan hukumnya, kita perlu menyesuaikan diri, yaitu mengikuti hukum alam. Kita tidak bisa menggunakan nilai-nilai moral/religi yang kita anut selamanya, apalagi dalam konteks berbeda. Meskipun kita mengklaim bahwa nilai moral kita adalah yang paling benar dan lengkap. Katakanlah dalam memahami dunia dan menyikapi penemuan sains. Kita tidak bisa mengikuti nilai-nilai religi saja. Ini bukan pemaksaan, 'kenyataan' memang berkata demikian. Salah satu contoh ketika seekor lalat hinggap di minuman kita, kita tidak seharusnya menceburkan seluruh tubuh lalat ke dalam minuman tersebut. Tindakan yang perlu dilakukan adalah membuang air tersebut. Bisa saja lalat tersebut baru saja hinggap di tempat kotor, ia berpotensi membawa penyakit.


Itulah sebabnya kita sangat perlu mempertimbangkan nilai apa yang seharusnya kita terapkan dalam konteks tertentu. Nilai moral berlaku sangat subjektif dan dengan demikian ruang lingkupnya menjadi sempit. Nilai kemanusiaan juga berlaku hanya untuk manusia ketika dampaknya untuk manusia. Kita tidak bisa menerapkan nilai kebebasan berpendapat kepada seekor kelinci. Ia tidak bisa berbicara. Namun pada bagiannya ada juga output dari kemanusiaan untuk sekitar, dengan mempertimbangkan bahwa kebebasan berpendapat bukan untuk hewan, kita mempertimbangkan perlakuan lain yang sesuai untuk hewan. Pada bagiannya nilai objektif yang dihasilkan sains sangat diperlukan. Alih-alih menerapkan nilai kebebasan berpendapat kepada kelinci, kita seharusnya menerapkan kebebasan bergerak kepada hewan yang dikurung.


Konteks-konteks yang ada di sekitar kita pada dasarnya memberi jawaban terkait pertanyaan kita nilai apa yang harus digunakan dalam hal tertentu. Jika kita terbuka atas hal lain, kita akan menemukan jalannya. Jika sejak awal nilai lain telah ditolak. Kebenaran yang diklaim tidak penah kita dapatkan. Berempati kepada orang lain bukan berarti kita menerapkan nilai-nilai terbaik yang kita yakini kepada orang lain, berempati adalah tindakan memahami orang lain dan mendiskusikan jalan yang terbaik bersama-sama. Inilah yang sering disalahpahami banyak orang.


Dalma konteks subjektivitas (yang kita perlu bedakan dengan konteks objektif), ketika satu orang berbedapat bahwa dengan nilai-nilai tertentu yang ia pegang dan yakini, ia merasa bahagia. Orang lain tidak berhak mengambil kebahagiannya dengan memaksakan nilai lain yang dianggap baik dan benar. Orang lain bisa saja memiliki tujuan yang berbeda dalam hidupnya, dengan demikian nilai yang ia yakini berbeda. Dalam konteks subjektif ini, seseorang tidak bisa datang dengan kebenaran yang ia yakini yang pada dasarnya juga bersifat subjektif, lalu memaksakannya. Yang perlu kita lakukan hanyalah penerimaan. Jika pun kita merasa perlu 'memberi tau' sesuatu, sesuatu itu haruslah diukur dengan nilai-nilai objektif, dengan demikian ia bisa berlaku adil, perlu ditekankan bahwa ia tidak bisa datang dengan nilai-nilai subjektif yang ia peganag. Ini hanya melahirkan pertentangan dan ketidakadilan.


Inilah yang juga saya lakukan ketika berhadapan dengan berbagai nilai moral tertentu. Saya tidak melibatksn nilai moral yang saya yakini, melainkan mencoba memahami orang di hadapan saya beserta nilai yang ia pegang, kemudian 'menawarkan' kemungkinan pilihan objektif yang tepat untuk dirinya. Dan juga mengakui keterbatasan pemahaman kita terkait realitas objektif. Pada bagiannya kita juga tidak bisa mengatakan bahwa realitas objektif saat ini, telah merangkum masa depan juga. Kita tidak bisa berkata demikian. Kita sama-sama tau bahwa selama kita hidup, di sanalah perubahan terjadi.



07:59

Comments