Kehidupan Manusia Ditinjau dari Aspek Epithumia Thumos dan Nous

Sebagai makhluk yang selalu ingin eksis, manusia memiliki dorongan-dorongan untuk melakukan hal-hal yang pada intinya adalah bentuk tindakan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia secara naluriah takut dan membenci kepunahan dirinya. Oleh sebab itu, sebagai konsekuensi alamiah itu, manusia 'memaksa' dirinya untuk bereproduksi. Itu salah satu bentuk turunan dari tindakan mempertahankan diri. Di samping bentuk-bentuk lain yang tak kalah mati-matian diperjuangkan oleh manusia.


Manusia sebagai hewan, memiliki hasrat seperti melakukan reproduksi dan makan. Pada dasarnya inilah yang menjadi tujuan 8 miliar manusia di muka bumi. Karena tujuan ini, banyak kebaikan terbentuk. Seperti menjalin hubungan pernikahan, di mana satu kelompok manusia, mengenal kelompok manusia yang lain, untuk mempersatukan dua orang individu. 


Pada intinya ini hanyalah sebuah aktivitas saling mengenal untuk melakukan reproduksi, tidak ada unsur suci atau sakral bersifat kedewaan di sana. Intinya hanya untuk memenuhi kebutuhan seksual manusia dan memenuhi hasratnya yang selalu ingin berkelompok. Tapi karena manusia selalu ingin terlihat unggul dan berbeda dari hewan lain, mereka merayakannya dan mensakralkannya. 


Dalam masyarakat ini dibentuk menjadi sesuatu yang seolah-olah ditinggikan sebagai sebuah proses kehidupan, oleh sebabnya agama datang dengan nilai-nilai serupa untuk mengakomodasi kecenderungan itu, agama kemudian memasukkan nilai-nilai seperti usia ideal untuk melakukan hubungan itu, dan menyebut 'dosa' aktivitas-aktivitas 'khas' hubungan yang belum terikat dengan perjanjian yang sah.


Pada akhirnya kewajiban manusia menjadi bertambah, selain menjalin hubungan untuk mempertahankan kelangsungan keluarganya dengan berketurunan, merayakan terbentuknya hubungan baru, manusia juga berkewajiban mamatuhi nilai-nilai baru agama. Kendati manusia dan masyarakat berhasrat demikian, manusia seharusnya tidak lupa, bahwa tujuan dari hal-hal itu semua adalah sama dengan hewan lain, sekedar memenuhi hasratnya untuk bereproduksi dan mempertahankan keberlangsungannya.


Pada prakteknya tidak selalu berjalan mulus, hubungan ini bisa berakhir menjadi keburukan karena tidak terkontrol, mengingat kewajiban-kewajiban manusia menjadi bertambah. Ini yang menjadi aneh, bahwa manusia menciptakan sistem dan standard, lalu bingung dengan sistem dan standard yang mereka ciptakan sendiri. Tapi itulah yang kemudian disebut dengan kehidupan. Berbagai kemungkinan terburuk yang terjadi dalam sebuah hubungan ketika hal itu dilakukan tidak terkontrol melainkan hanya memenuhi hasratnya secara sembarangan, baik hasrat manusia sebagai individu atau hasrat masyarakat yang memaksa individu di dalamnya, di antaranya, kendala finansial, kemudian melahirkan kekerasan atau KDRT hingga ke pembunuhan, penelantaran anak dan sebagainya.


Selain hasrat itu, manusia juga punya hasrat makan untuk mempertahankan hidupnya. Tidak ada kebaikan istimewa dari aktivitas ini selain mempertahankan dirinya sebagai organisme hidup. Manusia menciptakan berbagai jenis makanan untuk berkreasi, memenuhi hasrat makannya yang membutuhkan variasi. Mulai dari makanan sederhana hingga makanan yang melibatkan unsur emas di dalamnya. Pada dasarnya semua untuk memenuhi hasrat makan manusia. Karena manusia adalah hewan omnivora, manusia memakan tumbuhan dan daging, manusia membabat hutan untuk menbuka lahan pertanian untuk menanm sayur, mengembangbiakkan ayam, sapi, babi dan lainnya untuk kebutuhan makannya.


Karena kedua hasrat itu, hal-hal terburuk bisa terjadi. Karena yang berhasrat adalah seluruh manusia, kompetisi menjadi tak terelakkan, dan untuk melakukan hasrat-hasratnya manusia harus memiliki modal, pada akhirnya manusia berlomba-lomba mendapatkan uang, yang tidak lain dan tidak bukan, adalah untuk hasrat reproduksinya serta akibat yang dihasilkan dari itu dan hasrat makannya. Tindakan buruk seperti korupsi, saling fitnah dan sederet keburukan lain 'terpaksa' dilakukan untuk memenuhi hasratnya. Itulah dua hasrat manusia yang sangat berpengaruh dalam kehiduapn manusia sepanjang zaman, kebaikan dan keburukan lahir dari sana. Inilah yang oleh Plato disebut epithumia, hasrat akan reproduksi dan makanan.


Menurut plato hasrat ini menjadi baik apabila dikontrol dengan nous atau rasio manusia, aspek tertinggi dalam hidup manusia yang menjadikannya manusia. Hasrat epithumia sebenarnya bisa dikendalikan untuk meminimalisir keburukan yang lahir darinya. Misal dalam hal reproduksi, manusia harus mengedepankan rasionya untuk mempertimbangkan dampak yang akan terjadi jika individu terlibat dalam sebuah hubungan. Dengan demikian ia bisa menentukan apakah perlu melakukannya atau tidak, untuk memastikan individu tersebut bisa bertanggung jawab sepenuhnya dalam keputusan yang diambilnya. Kemudian dalam hal makan, ia juga harus mempertimbangkannya dengan rasio, apakah semua makanan harus ia makan atau hanya memakan yang dibutuhkan. Inilah hal-hal sederhana dari nature manusia yang disebut nous atau rasio terlibat, namun dampaknya menjadi sangat penting untuk terlahirnya kebaikan-kebaikan yang dapat dipertanggungjawabkan.


Ketika mempertimbangkan itu, manusia juga tidak boleh melupakan dirinya sebagai bagian dari masyarakat, misal dalam hal reproduksi, apakah manusia masih perlu melakukan itu ketika di sekitarnya, di dalam masyarakat, ada anak-anak yatim terlantar dan kelaparan, yang membutuhkan uluran tangan manusia lain, atau pada situasi tertentu, memungkinkan dan dibutuhkan adanya pengadopsian anak. Ini yang tidak pernah menjadi pilihan manusia, dilupakan, padahal manusia memiliki pertimbangan-pertimbangan akalnya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dalam masyarakatnya. Dalam hal makan, ketika manusia memiliki makanan lebih, ia harus sadar bahwa ia hidup dalam sebuah kelompok masyarakat dan ia memiliki pilihan untuk membagikan makananya kepada individu yang membutuhkan dalam masyarakatnya, alih-alih menyimpannya dan untuk dirinya sendiri. Petimbangan yang sudah ditulis ini, hanya segelintir dari berbagai kemungkinan adil dan baik yang bisa dilakukan oleh makhluk yang berakal. 


Tulisan ini berusaha membuka pintu ketertutupan terhadap pilihan-pilihan lain. Karena pada kenyataannya, keterkungkungan terhadap pendapat mayoritas, membuat pilihan manusia menjadi sempit. Tujuan-tujuan reproduksi tidak bisa disamakan dengan makan, karena pada bagiannya reproduksi tidak pernah menjadi tujuan akhir, manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan aktivitas reproduksi yang bahkan tidak bersifat memproduksi, berbeda dengan makan, bagaimanapun kenyang adalah tujuan, sekalipun banyak kreasi dalam menuju kenyang misal dengan makanan-makanan dengan plating yang menarik, tapi intinya kecenderungan manusia masih pada apa yang disebut kenyang. Itulah segelintir pembahasan terkait epithumia dan apa yang terjadi di masyarakat.


Lebih jauh, plato juga membagi jiwa manusia pada bagian yang disebut thumos, bagian ini berperan dalam hal yang lebih tinggi dari epithumia. Berbeda dengan epithumia yang juga dimiliki oleh hewan lain, hasrat thumos ini tidak. Sebagai informasi tambahan pada saat tulisan ini ditulis, tidak banyak bukti yang membuktikan bahwa hewan lain juga memiliki thumos. Meskipun begitu ada beberapa contoh perilaku hewan yang menunjukkan 'perasaan' namun tidak secara langsung seperti manusia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hewan dapat mengalami emosi. Meskipun kita tidak bisa dengan pasti mengatakan apakah hewan benar-benar "merasa" sedih seperti manusia, bukti menunjukkan bahwa mereka dapat mengalami emosi negatif dalam pengalaman hidup mereka. Hasrat tumos manusia lebih luas seperti emosi, afeksi dan harga diri.


Inilah yang kemudian berperan penting dalam terbentuknya nilai-nilai 'kebaikan' dalam masyarakat, yang pada bagiannya akan membentuk budaya. Nilai-nilai ini umumnya terkait dengan perasaan manusia, yang termanifestasi dalam nilai moral, agama atau kehidupan spiritual. Nilai-nilai ini hidup dalam sebuah kelompok tertentu, misal kelompok A dan B, belum tentu memiliki nilai-nilai yang sama ketika memandang sesuatu. Hasrat thumos inilah yang menghasilkan kreasi dari hasrat-hasrat epithumia. Misal terbentuknya pesta pernikahan yang megah, atau makanan yang melibatkan unsur emas tadi. Ini pengaruh dari hasrat thumos. Hal-hal ini jika tidak dikendalikan oleh rasio juga sama buruknya dengan hasrat epithumia. 


Misal dalam hal harga diri, sebagain orang mungkin sebut saja kelompok A akan sangat bangga menjadi pemimpin, katakanlah presiden. Namun, sebagian, sebut kelompok B, tidak memerlukan itu. Jika kelompok A memaksakan kehendak bahwa kelompok B harus memiliki keinginan yang sama dan menganggap jika tidak memiliki keinginan itu menjadi manusia yang rendah, ini yang akan menjadi masalah. Contoh lain, dalam rasa beragama, katakanlah dalam agama C dikatakan bahwa melakuksn ritual tertentu adalah kewajiban, sedangkan Agama D tidak menganggap demikian. Lalu agama C memaksakan pandangannya pada agama D. Ini juga menjadi masalah. Oleh sebab itu aspek rasio sangat dibutukan dalam melakukan hasrat-hasrat thumos ini. Sokrates dan plato tidak menolak epithumia dan thumos dalam filsafatnya, kendati demikian, kedua filsuf tersebut berpendapat bahwa dua hasrat tersebut harus dikendalikan.


Lebih lanjut, plato mengatakan bahwa epithumia dan thumos tidak berpengaruh dalam pencarian kebahagiaan. Kebahagiaan sejati dengan demikian bisa didapat apabila aspek nous atau rasio dikedepankan. Jika disimpulkan ada tiga prinsip dalam filsafat plato tentang jiwa, yang pertama adalah nous (intellect) yaitu aspek rasional dan logistikon manusia. Kemudian prinsip thumos (spirit) yang meliputi emosi seperti, senang, sedih marah, kemudian afeksi atau kasih sayang dan harga diri. Prinsip yang terakhir yaitu epithumia (desire), yang berkisar pada hasrat reproduksi dan kebutuhan akan makan.


Oleh sebab itu, kebutuhan manusia akan epithumia dan thumos, tidak bersifat mutlak dan harus. Melainkan bergantung pada konteks atau keadaan yang ada, yang kemudian dipertimbangkan menggunakan aspek nous atau rasio untuk mendapatnya sesuatu yang objektif dan efektif. Oleh sebab itu penggunaan rasio selalu ditekankan untuk mendapatkan pilihan yang sesuai. Contoh dalam situasi tertentu boleh jadi A B dan C saja yang disebut alfabet, tapi untuk melihat gambaran lebih luas dan utuh tentang alfabet, semua hurufnya harus disebut hingga Z. Kira-kira itu untuk memberikan gambaran bahwa pertimbangan rasio itu dibutuhkan. Boleh jadi hasrat reproduksi dan makan menjadi penting dalam kehidupan tapi tidak seharusnya melupakan bahwa aspek lain seperti thumos dan nous, juga ada untuk membuat ini semua disebut 'kehidupan manusia'.



08:56


Comments