Saya dan Nietzsche

Saya masih sangat bingung, setelah membaca Nietzsche, saya melihat keresahan yang ia alami tentang kemunafikan kita pada penerimaan terhadap realitas kehidupan. Ini sama seperti ketika saya, entah darimana kesadaran itu berasal, menyadari bahwa saya seharusnya tidak membenci kesalahan. 

Hal ini senada dengan yang diusulkan Nietzsche bahwa manusia cenderung membelah realitas menjadi dua bagian, baik dan buruk, kemudian mereka hanya mengamini yang baik saja, padahal betapapun kita menolak keburukan, ia juga bagian dari realitas kehidupan kita yang pada bagiannya memiliki peran juga dalam memberi nilai pada kebaikan itu sendiri. 

Yang membuat saya bingung adalah, kesadaran semacam ini datangnya dari mana? Saya bingung kenapaa Nietzsche bisa memiliki pandangan seperti itu dan saya juga bingung kenapa yang saya lakukan dalam menyikapi kehidupan sekolah menengah saya, memiliki kesenadaan dengan yang dilakukan Nietzsche, tulisan ini tentu bukan ingin menyamakan dan membandingkan kedua hal tersebut, saya hanya dibuat bingung pagi ini, bagaimana seorang manusia memproduksi keyakinan seperti itu? 

Apakah ini hanya bentuk mekanisme pikiran manusia menghadapi realitas yang berusaha mereka terima, tentang kehidupan yang tidak selalu sesuai dengan alam pikirannya? 

Saya ingin bercerita lebih mengenai yang saya alami, supaya lebih jelas, meskipun dalam beberapa tulisan dan pertemuan dengan anak didik saya, saya juga menceritakan hal yang sama, bahkan sebelum saya membaca Nietzsche, saya merasa keputusan semacam itu, harus juga dilakukan orang-orang, oleh sebab itu saya bercerita dan menulis tentang yang saya alami. 

Cerita ini terjadi ketika saya duduk di bangku sekolah menengah pertama, dari awal masuk atau bahkan dari pertama saya mencintai ilmu, saya selalu punya mimpi ditempatkan dengan orang-orang ambisius dan pandai, saya pikir saya mendapatkannya di bangku sekolah menengah pertama, namun saya pikir hanya setengah dari kelas yang memiliki sifat demikian, saya ingin yang lebih dari itu.

Harapan itu selalu muncul, hingga di awal memasuki sekolah menengah atas, saya masih berharap demikian, namun saya merasa ditampar oleh kenyataan, yang terjadi sebaliknya, bahkan jauh dari harapan saya, di mana mayoritas penduduk kelas saat itu adalah kebalikan dari yang saya harapkan.

Ketika kehidupan memaksa saya berada pada posisi seperti itu, saya mencoba bertanya pada diri saya sendiri, kenapa saya berada di posisi ini? Saya mencoba mengamati sekitar, barangkali ada yang bisa memberi jawaban dari kebingungan saya saat itu. 

Setelah mencoba melihat sekitar, saya menyadari sesuatu. Perilaku teman kelas saya yang terkenal tidak teratur dan tidak disiplin, memiliki sisi yang menurut saya perlu diterima bagaimanapun itu, justru setelah saya menghayati itu semua, alih-alih merasa dirugikan dengan berada dalam kondisi itu, saya merasa terpenuhi. 

Saya merasa kehidupan sedang memenuhi yang kurang dari saya, saya belum pernah belajar bagaimana keburukan kadang-kadang memiliki nilai sebaliknya dari yang ada di permukaanya. Tapi lalu muncul pertanyaan apa yang membuat saya belajar dari kejadian itu?

Meskipun saya melihat bahwa teman saya melakukan banyak ketidakdisiplinan, baik sebagai murid atau sebagai anak dari orang tua mereka, tapi saya merasa, sebagai manusia, kenakalan mereka justru mengakrabkan di antara mereka, saya melihat kenakalan ini merupakan mekanisme mereka mengalami hidup dan berteman, lalu jika mereka suka dengan cara itu, mereka bersolidaritas, dalam hal ini untuk menbentuk pertemanan yang baik, lalu apa salahnya menjadi tidak teratur? Bukankah ia juga bagian dari realitas kehidupan kita. 

Di sini kehidupan menampar saya sekali lagi, dari sanalah saya belajar sesuatu, ada apa dengan ketidakteraturan, ketidakdisiplinan, tidak ambisius, apa yang salah dengan semua itu, ketika dengan begitu mereka membentuk pertemanan yang saya pikir saling peduli dengan cara mereka sendiri. Saya kembali bertanya, apa yang membuat saya belajar dari kejadian itu? Kenapa saya merasa perlu untuk belajar dari kejadian itu? Common sense?

Keadaan ini menunjukan pada saya bahwa inilah kehidupan. Kehidupan adalah bagian dari kebaikan dan keburukan itu. Itulah yang mengubah saya, dari manusia yang munafik menyikapi realitas kehidupan menjadi manusia yang penuh penerimaan akan semua yang terjadi. Apakah ini common sense? Bagaimaba mungkin aku melupakan kehendak untuk percaya pada kebaikan dan memilih common sense? Kecenderungan apa yang membuat saya tidak fanatik pada kepercayaan saya pada kebaikan?

Di saat yang sama saya juga merasa telah berdosa pada ajaran yang saya anut, ajaran yang menuhankan kebaikan. Tapi seiring dengan proses pembelajaran dalam hidup, saya merasa bukanlah sesuatu yang salah ketika kita menerima kehidupan apa adanya. 

Saya merasa mendapatkan cara baru dalam mengalami hidup yang saya sebut penerimaan, atau kemudian saya merangkumnya dengan kata bodoamat, saya menggunakan cara hidup itu setelahnya. Apakah yang saya lakukan adalah murni common sense? Padahal di saat yang sama saya memilki kesempatan untuk menjadi fanatik?

Hingga di bangku kuliah saya dipertemukan dengan seorang yang mengalami ketidaksempurnaan hidup, ia merasa hidupnya tidak sesuai ekspektasinya, bahkan ia membenci hidupnya. Saat itu ia banyak bertanya mengenai 'bodoamat' yang pernah saya ceritakan kepadanya.

Dari sanalah perubahan itu terjadi, dan setelah membaca Nietzsche, saya menjadi penasaran dan sadar akan perubahan itu, dari mana perubahan itu terjadi? Apa yang membuat diri saya mengalami penerimaan itu? Dari Nietzsche saya sepertinya menemukan jawabanya, bahwa saya keluar dari ketergantungan pada kepercayaan saya dalam melihat kehidupan, saya mengambil kendali untuk membuat keputusan terhadap apa yang saya lihat. 

Tapi lalu muncul pertanyaan, kenapa saya melakukan itu? Bahkan ketika saya memiliki kesempatan untuk tidak melakukannya? Atau dengan kata lain untuk tetap mengikuti 'kepercayaan' akan kebaikan itu dan menjadi fanatik? Kenapa saya memilih untuk menerimanya ketika saya punya kesempatan yang sama untuk menolaknya? Padahal saat itu, saya adalah manusia yang berusaha berpegang pada kepercayaan yang saya anut sekuat mungkin.

Bagaimana mekanisme kepercayaan itu terjadi? Ketika kita memiliki kesempatan yang sama untuk mempercayai A dan B, kenapa kita memilih salah satunya? Kata Nietzsche ini dipengaruhi oleh investasi psikologis diri manusia mengenai apa yang ia yakini lebih banyak dalam hidup.

Lalu jika ditarik pada kasus saya ketika sekolah menengah atas itu, bagaimana mungkin saya memilih meninggalkan kepercayaan A dan memilih kepercayaan B? 

Jika jawabannya adalah investasi psikologis atau dengan kata lain mana yang lebih sering terpapar pada saya. Saya merasa agama dan common sense sama-sama memiliki andil yang besar dalam hidup. Namun saya pikir saya lebih sering terpapar agama daripada common sense, lalu pada saat itu, kenapa saya memilih mengikuti common sense? Terus terang saya masih bingung.

Tapi dari Nietzsche saya menemukan kepastian, bahwa kepercayaan selalu dibutuhkan dengan sangat urgent saat kehendak (pemikiran, 'ranah emosi' afeksi, insting, nafsu, hasrat yang menyatu) itu cacat. Saat orang itu tidak utuh, maka ia sangat butuh sesuatu dari luar untuk menyatukan dirinya.

Jadi bisa disimpulkan, agama: sesuatu dari luar. Common sense: sesuatu dari dalam diri kita sendiri. Mungkin pada saat itu, kehendak saya tidak mengalami kecacatan, oleh sebab itu saya mengikuti diri sendiri. Mungkin saja, saya tidak bisa memastikan itu.

Hampir semua kepercayaan bersifat patologis (sakit) kata Nietzsche karena berasal dari manusia yang berkehendak cacat. Isme-isme (kepercayaan) itu menjunjukkan umat manusia yang mempercayainya memang sakit. Isme-nya sendiri tidak dipersoalkan, benar-salahnya tidak dipersoalkan tetapi manusia yang menghendakinya itulah yang menjadi persoalan.

Lalu, kesakitan atau kecacatan manusia ini adalah bawaan manusia sebagaimana adanya atau pengaruh lingkungan di mana ia berada? Kata Nietzsche Kehendak untuk percaya itu dimiliki oleh setiap manusia (namun seringkali disertai dengan sodoran dari luar), tapi manusia yang mampu membatasi dirinya dari kehendak untuk percaya adalah manusia yang kuat.

19/09/23

Comments