Kesamaan Teologi Apofatik dan Kesatuan Eksistensi Ibnu Arabi dengan Kepercayaan Lain

Dari beberapa pemikiran ibnu arabi yang saya ketahui, seperti teologi negatif, wahdatul wujud, pandanganya tentang tasawuf atau sufisme, dan pandangan-pandangannya yang sangat toleran dilihat dari kata-kata dalam tulisannya dan berbagai pandangan beliau lain yang tidak semua saya bahas dalam tulisan ini, saya melihat penghargaan terhadap seluruh manusia, mengingat menurut beliau berkata di setiap diri manusia ada unsur Tuhan. 


Saat pertama kali membaca ibnu arabi sekitar tahun 2016, saya merasa bahwa beliau memberikan pandangan baru bagaimana saya memandang alam semesta seisinya dan Tuhan. Meskipun dalam beberapa tulisan beberapa tahun terakhir bisa dilihat bahwa pandangan saya tentang Tuhan cukup beragam, dan cenderung mengeksplor banyak pendapat tentang Tuhan dari berbagai kepercayaan, namun salah satu yang paling awal bermula dari pemikiran ibnu arabi, khususnya pandangan apofatik atau memandang Tuhan dari yang "tuhan bukan", atau yang dikenal dengan teologi negatif atau teologi via negativa.


Sebelum lanjut pada pembahasan mengenai pandangannya atau lebih tepatnya bagaimana saya melihat pandangan ibnu arabi, ada baiknya saya memberi pengenalan terlebih dahulu mengenai ibnu arabi. Ibnu arabi adalah filsuf sekaligus sufi yang memiliki pengaruh besar terhadap khazanah filsafat dan teologi islam. Ia lahir di spanyol sekitar abad 12. Ia dikenal dengan tulisan-tulisannya tentang sifat Tuhan, alam semesta dan jiwa manusia. Itu sedikit yang saya ketahui tentang beliau. Pertama kali saya mengenal beliau, saya menbaca buku berjudul teologi negatif ibnu arabi yang diperkenalkan oleh teman saya. Dari sana saya melihat pandangan berbeda bagaimana kita memandang Tuhan. Karena seblumnya saya memandang Tuhan dengan sifat-sifat personal, ibnu arabi datang dengan pandangannya yang berbeda. Dari sanalah saya melihat pandangan baru bagaimana manusia meyakini keberadaan Tuhan.


Ibnu arabi memandang Tuhan sebagai entitas yang tak terbatas, yang keberadaanya tidak dipengaruhi sekat-sekat pengetahuan kita dan sekat bahasa, ia tak terbatas dan tak terhingga. Dengan pandangan ini, saya menyadari sesuatu bahwa selama ini saya hanya memandang Tuhan berdasarkan definisi-definisi tentang-Nya yang sangat rapuh, ringkih dan terbatas. Sekalipun atribut seperti maha A maha B disandangkan kepada-Nya, itu hanyalah gambaran yang terbatas yang keberadaanya tidak menggambarkan keseluruhan keberadaan-Nya. 


Ibnu arabi mengenalkan teologi negatif di mana Tuhan dipandang melalui yang 'tuhan bukan' seperti Tuhan 'tidak' terbatas, Tuhan 'tidak' terdefinisikan. Kendati kita tau bahwa definisi 'tidak' ini juga membawa Tuhan pada ranah bahasa dan membuatnya dipahami dengan tulisan-tulisan, namun pembacaan keberadaan-Nya secara negatif lebih menggambarkan-Nya yang tak terjangkau. Keitka sesuatu dinegatifkan, kita tidak bisa berasumsi banyak tentangnya kecuali 'keterdiaman'. Berbeda jika Tuhan digambarkan secara positif, seperti maha melihat, kita akan diantarakan pada asumsi bahwa Tuhan melihatnya seperti ini dan seperti itu. Ini justru memberi definisi lebih sempit terkait keberadaan Tuhan.


Kesadaran inilah yang saya dapatkan ketika membaca ibnu arabi. Saya memahaminya seperti itu dengan segala keterbatasan yang ada dalam diri saya. Jika disimpulkan, ibnu arabi mencoba menegasikan segala atribut atau definisi 'manusiawi' atau 'personal' dan terbatas tentang Tuhan, yang membawa-Nya pada keterikatan ruang dan waktu. Dalam hal ini, teologi negatif bisa menjadi sarana refleksi spiritual bagi banyak orang yang ingin memahami sisi yang tak terjangkau dan misterius dari keberadaan Tuhan. 


Selain itu, karena dalam pandangan ini Tuhan tidak dapat didefinisikan dan dipahami dengan kata-kata atau konsep manusia, lalu bagaimana kita memahami Tuhan lebih dalam? Ibnu arabi menawarkan jalan untuk memahami Tuhan dengan jalan spiritual. Inilah yang kemudian berkontribusi pada pemikiran tasawuf (pengalaman pribadi) atau sufisme (tarekat kelompok) dalam islam. Untuk mencapai pengetahuan yang lebih tinggi tentang Tuhan, ibnu arabi menawarkan jalan seperti meditasi, introspeksi, dan pengalaman mistik. Ia menekankan pentingnya pengalaman langsung dan spiritual dalam pemahaman akan Tuhan, daripada sekadar mengandalkan kata-kata atau konsep-konsep manusia yang terbatas. Oleh sebab itu konsep makrifat menjadi penting dalam jalan memahami Tuhan, ini mengacu pada pemahaman spiritual dan pengetahuan intim tentang Tuhan. 


Membaca ini, saya teringat dengan beberapa konsep dalam agama buddha, seperti penolakan terhadap entitas personal yang menggambarkan Tuhan serta konsep karma, yaitu aksi dan hasil dari setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia. Setiap orang bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri dan bekerja untuk memperbaiki kehidupan mereka melalui meditasi dan praktek spiritual lainnya. Meskipun ada beberapa perbedaan signifikan antara pemikiran ibnu arabi dan buddha, saya melihat penekanan yang sama khusunya dalan teologi negatif dan penolakan ajaran buddha terhadap tuhan personal, meskipun pada dasarnya ibnu arabi tidak sepenuhnya menolak identitas personal, selain itu penekatan kehidupan spiritual juga memiliki kesamaan dengan sufisme ibnu arabi, meskipun dalam buddha spiritualitas pada akhirnya untuk kehidupan dan bukan untuk mendekatkan diri kepada entitas tertinggi.


Saya pikir ketika seseorang sudah bergelud dengan akalnya, ada saat-saat tertentu ia mencoba jalan spiritual, kita juga harus tau bahwa perjalanan spiritual setiap individu berbeda-beda, namun sebaliknya berlaku, ketika seseorang mencoba jalan spiritual, seperti tarekat-tarekat dengan guru (sufisme) dengan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan, ada saat tertentu yang ia dapat adalah terjebak pada kehidupan simbolis saja, seperti menampilan keadaan 'sprititualitas tinggi' sambil mengutuk orang-orang yang tidak sama dan merasa bangga dengan pengalaman 'spiriualnya'. Individu seprti ini alih-alih benar mengalami perjalanan spiritual dan mencapai tingkatan makrifat, justru hanya terjebak pada delusi. 


Saya menyarankan untuk mempelajari keduniaan kita dahulu, menggunakan akal kita dengan sebaik mungkin, untuk memastikan kita selesai dengan itu. Karena dalam banyak kasus, orang dengan tingkatan spiritual tertentu, berproses dari apa yang ada di dunia ini dan telah melakukan penerimaan terhadap apa yang disebut baik dan tidak baik. Ia terlepas dan melampaui itu. Sehingga baginya tak ada waktu lagi memberi makan ego dan mengutuk yang orang tidak mencapai tingkatan 'spiritual' tertentu. Sebaliknya orang yang tidak selesai dengan kehidupan dunianya dan akalnya, namun berusaha mendapatkan tingkatan spiritual tinggi umumnya terjebak pada kesombongan.


Ini sejalan dengan pendapat ibnu arabi tentang hikmah atau kebijaksanaan, dalam pandangan ibnu arabi, segala sesuatu dalam alam semesta mencerminkan kehadiran Tuhan, dan kebijaksanaan adalah cara manusia untuk memahami makna di balik manifestasi tersebut. Menurutnya hikmah dapat dicapai melalui dua cara: pertama, dengan pengetahuan teoretis yang diperoleh melalui studi dan refleksi, dan yang kedua, dengan pengalaman spiritual langsung yang diperoleh melalui praktik-praktik sufi seperti meditasi dan zikir. Itulah pandangan ibnu arabi mengenai penggunaan kedua hal tersebut untuk mencapai kebijaksanaan. Jadi saya bisa simpulkan bahwa ibnu arabi juga tidak menolak pengetahuan yang berasal dari studi dan refleksi manusia, untuk mendapatkan hikmah atau kebijaksanaan, kemudian mencapai tingkatan spiritual yang diimpikan manusia.


Sebelumnya kita telah membahas teologi negatif dan bagaimana kita mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu, ibnu arabi juga memiliki pemikiran bahwa setiap objek dan makhluk di dunia ini memiliki asal-usul yang sama, yaitu Tuhan. Inilah yang kemudian disebut sebagai konsep wahdatul wujud, kesatuan wujud atau eksistensi antara Tuhan dan ciptaan, sebuah keyakinan bahwa alam semesta dan segala sesuatu yang ada di dalamnya merupakan manifestasi dari satu keberadaan yang sama. Satu-satunya keberadaan yang absolut dan merupakan asal dari alam semesta dan isinya. Dengan sederhana saya bisa bahasakan bahwa hakikatnya, kita dan semua benda di alam semesta 'tidak ada' karena satu-satunya yang ada adalah Tuhan. Keberadaan kita berasal darinya. Karena kita berasal darinya, pada tingkatan spiritual tententu kita berpotensi memiliki pemahaman tentang-Nya.


Berbicara tentang wahdatul wujud mengingatkan saya pada konsep kesatuan wujud tunggal seperti dalam salah satu keyakinan hindu, yaitu brahman atau atman. Di mana brahman adalah keberadaan yang tak terbatas, sedangkan atman adalah jiwa individual yang ada di dalam diri setiap makhluk hidup. Konsep ini mengajarkan bahwa meskipun kita mungkin merasa terpisah satu sama lain dan dari alam semesta, sebenarnya kita semua terhubung dan merupakan bagian dari kesatuan yang lebih besar yang disebut brahman. Dengan menyadari keberadaan brahman dalam diri kita sendiri dan dalam kehidupan sekitar kita, maka kita dapat mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi dan mencapai tujuan hidup yang lebih mendalam. 


Selain itu, saya juga melihat kesamaan dengan ajaran buddha mengenai ketiadaan diri (anatta) dengan konsep wahdatul wujud. Meskipun pada bagiannya mungkin sangat berbeda, namun penekanan bahwa sebenarnya kita 'bukan entitas absolut' untuk membuat kita mencapai tingkatan spiritualitas tertentu menurut saya pada dasarnya sama, meskipun pada bagiannya memiliki tujuan-tujuan berbeda. Misal dalam wahdatul wujud, konsep ini mengarahkan kita pada tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan, sedangkan dalam buddha konsep anatta membantu untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang menyebabkan penderitaan, seperti takut akan kehilangan identitas diri dan penderitaan lain.


Saya juga teringat dengan pemikiran al-hallaj tentang kesatuan dengan Tuhan. Kedua pemikir tersebut percaya bahwa Tuhan hadir dalam segala sesuatu, termasuk dalam diri manusia. Keduanya juga meyakini bahwa Tuhan adalah satu-satunya realitas yang sejati dan semua entitas lainnya hanyalah refleksi atau manifestasi dari keberadaan ilahi. Meskipun ada juga beberapa perbedaan antar keduanya, pemikiran al-hallaj menekankan pada kehancuran atau penyerapan diri dalam Tuhan. Sedanganya dalam wahdatul wujud lebih menekankan pada kekekalan atau keberadaan abadi bersama Tuhan, yang keberadaannya absolut.


Pemikiran ibnu arabi tentang kesatuan wujud bahwa semua objek di alam semesta berasal dari satu wujud absolut, ini mengarahkan saya pada interpretasi yang toleran dan inklutif mengenai pandangan ibnu arabi, oleh karenanya saya bisa katakan tidak ada batas-batas keyakinan untuk mencapai kesatuan absolut, meskipun banyak interpretasi berbeda tentang pemikiran ibnu arabi. Yang perlu kita lihat, dalam pemikiran ibnu arabi tidak dikatakan bahwa hanya kelompok tertentu yang berasal dari Tuhan, melainkan setiap makhluk berasal dari unsur Tuhan. 


Oleh karenanya semua makhluk memiliki potensi untuk mengenal-Nya, terlepas dari agama atau kepercayaan mereka, persatuan sejati manusia dengan Tuhan melampaui batas-batas atau konsep tertentu. Tuhan menciptakan umat manusia dengan beragam keyakinan dan tradisi agama sebagai cara untuk mengungkapkan dan memahami aspek-aspek yang berbeda dari kebenaran ilahi. Satu perkatan ibnu arabi yang membawa saya pada kesimpulan ini salah satunya dikutip dari karya ibnu arabi yang berjudul fusus al-hikam versi bahasa inggris bagian tentang divine unity atau ahadiyah, yang kurang lebih seperti ini.


"Beware of confining yourself to a particular belief and denying all else, for much good would elude you - indeed, the knowledge of reality would elude you. Be in yourself a matter for all forms of belief, for God is too vast and tremendous to be restricted to one belief rather than another." Pesan yang bisa saya tangkap dari kata-kata ini adalah sebuah sikap untuk tidak terjebak dalam keyakinan tertentu dan menolak yang lain. Karena hal itu akan membuat kita kehilangan banyak hal baik, bahkan pengetahuan tentang realitas itu sendiri. Sebagai gantinya, kita harus terbuka terhadap berbagai bentuk keyakinan dan memperluas pemahaman kita tentang Tuhan yang begitu luas dan besar sehingga tidak dapat dibatasi oleh satu keyakinan saja. Oleh karenanya, dari pemikiran wahdatul wujud ibnu arabi saya tidak hanya mendapatkan anjuran spiritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, saya juga mendapat pesan-pesan toleransi dan inklusivitas terhadap makhluk lain yang juga berasal dari unsur Tuhan tanpa memandang batasan-batasan keyakinan.


Pada intinya dalam tulisan ini saya hanya membahas empat bagian dari berbagai pemikiran kaya ibnu arabi, meskipun tentu saja penjelasannya masih jauh dari kata sempurna dan masukan terhadap pemahaman saya tentang pemikiran ibnu arabi juga sangat dibutuhkan. Dari empat bagian itu saya bisa rangkum di antaranya teologi negatif, kontribusinya pada tasawuf atau sufisme, serta konsep wahdatul wujud dan interpretasi inklusif terhadap ciptaan.



10:57


Comments