Hegemoni Budaya Mayoritas dari Agama hingga Ideologi

Manusia adalah makhluk yang penuh kreasi, segala aspek dalam hidup manusia yang ada dan terjadi, terlahir dari kecenderungan proses berpikirnya untuk selalu mencipta. Proses kreasi manusia berinterasi dengan sesamanya dan dengan lingkungan melahirkan budaya. Di sanalah berbagai hal baru ditemukan. Dalam budaya terkandung nilai-nilai yang melatarbelakanginya. Salah satu contohnya adalah ritual memberi sesajen atau doa dalam di suatu tempat yang disucikan, tradisi ini dilakukan atas nilai-nilai kepercayaan terhadap tempat tersebut, misal tempat tersebut merupakan peninggalan tokoh yang diagungkan, seperti yang kita kenal sebagai petilasan atau makom, dalam bentuk lain jugaseperti tempat mukso atau pertapaan seseorang yang dianggap penting. Inilah bentuk-bentuk budaya yang ada dalam masyarakat. Keberadaan budaya sangat penting, hal ini bisa menjadi identitas suatu kelompok masyarakat. Budaya bisa berbentuk apaoun, mulau dari kumpulan nilai-nilai, tradisi, kepercayaan, bahasa, dan praktik yang dimiliki oleh suatu kelompok manusia. Ini mencakup segala aspek kehidupan seperti seni, makanan, pakaian, musik, tarian, agama, sistem sosial, dan banyak lagi.


Budaya tidak hanya mencerminkan identitas kelompok tapi juga sejarah, dan cara hidup. Budaya tidak hanya mempengaruhi cara kita berpakaian atau makan, tetapi juga membentuk cara kita memandang dunia, berinteraksi dengan orang lain, dan mengambil keputusan. Budaya merupakan warisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, dan dapat berubah seiring waktu karena interaksi dengan budaya lainnya. Keberadaan budaya sangat penting dan baik, selama ia tidak mengganggu dan tidak dibenturkan kepada kelompok lain. Yang perlu kita tau bahwa, tidak ada budaya yang baik atau yang buruk, juga tidak ada budaya yang bagus atau tidak bagus, semua budaya tumbuh dengan konteks masing-masing. Oleh sebab itu, budaya berada dalam kerangka berpikir subjek masing-masing dan diukur dengan cara pandang masing-masing. Contoh simbol kehormatan dan kecantikan wanita suku suri di Etiopia yang menghias bibir dengan piringan dan kecantikan masyarakat perkotaan di Jakarta tidak bisa dibandingkan begitu saja. Penilaiannya berbeda dengan kaca mata dan sudut pandang berbeda. Sebab itu, setiap kelompok tidak berhak menilai sesuatu itu bagus atau baik.


Yang menjadi permasalah adalah apabila dalam sebuah negara terdapat berbagai kebudayaan. Namun tidak terjadi hubungan saling menghargai dan memahami perbedaan antar kelompok yang ada. Belum lagi jika yang terjadi kuantitas suatu kelompok lebih besar dari kelompok lain, akan terjadi ketegangan. Ini yang kemudian memunculkan istilah mayoritas dan minoritas. Dalam beberapa kasus, hegemoni mayoritas menjadi tak terelakkan. Keberadaan pemerintahan dalam suatu negara harus menyediakan kebijakan yang adil, tanpa memihak satu kelompok, baik mayoritas atau minoritas. Namun yang sulit justru apabila kuantitas sebuah kelompok tertentu dengan nilai tertentu, mendesak pemerintah untuk memberlakukan nilai yang mereka anut kepada seluruh masyarakat negara. Negara seringkali berada salam posisi dilema, di satu sisi ia harus berlaku adil, di sisi yang lain ia harus mendamaikan masa yang besar di kelompok mayoritas. Kita sepakat bahwa adil tidak mesti sama, jadi pada dasarnya pemerintah memang harus melakukan penyesuaian mengingat kuatitas kelompok mayoritas sangat besar. Kita di sini sepakat, tapi apabila suara minoritas ditekan di antara mayoritas yang bergemuruh, hingga terjadi perampasan hak bagi minoritas, dalam rangka mengamini keinginin mayoritas. Pada saat itu, pemerintah sedang melakukan ketidakadilan. Inilah yang kemudian menjadi masalah.


Berbicara tentang kebaikan dan keburukan, keindahan dan kejelekan tidak bisa disamaratakan. Setiap kelompok memiliki pandangannya masing-masing. Ini yang sering kali saya suarakan dalam tulisan-tulisan saya. Kita harus tau mana yang berada dalam ranah baik-buruk atau moral/etika dan mana yang berada di ranah bagus-jelek atau estetika. Ketika berbicara moral dan estetika, tidak ada yang berhak menentukan mana yang harus dipilih. Kelompok suku suri tentu tidak bisa memaksa nilai kecantikan atau estetika yang mereka yakini harus diterapkan juga kepada kelompok wanita di perkotaan. Begitu juga sebaliknya.


Ketika nilai moral dan etika yang sangat subjektif dianggap sebagai kebenaran, dan kelompok yang meyakini merasa berhak menentukan kebenaran dan ketidakbenaran, mereka harus tau kebenaran yang mereka yakini tetaplah berasal dari nilai-nilai moral/estetika yang keberadaannya tidak berdasar sesuatu yang jelas dan terukur. Banyak orang berpendapat tidak semua hal harus diukur berdasarkan nilai-nilai objektivitas. Sentimen tentang ini juga mengakar kuat karena dimulai dari bangsa yang sering melakukan penjajahan, yakni bangsa-bangsa barat. Kita harus tau pusat pengetahuan berubah sepanjang zaman, dan kebetulan saat ini yang berhasil mempopulerkan pengetahuan adalah bangsa barat. 


Kita tidak boleh anti terhadapanya, karena inilah instrumen paling 'adil' saat ini. Kita harus tau bahwa nilai-nilai objektivitas bukan sesuatu yang tidak berdasar dan tiba-tiba muncul seperti karangan. Keberadaannya diambil dari menjelaskan realitas yang ada. Dunia kita yang real ini. Inilah yang membedakan moral dan estetika dengan fakta. Oleh sebab itu, penentuan kebenaran akan bijaksana jika didasarkan pada sesuatu yang ada sebagaimana adanya. Artinya keberadaannya berasal dari sesuatu yang ada dan dengan demikian fakta adalah informasi berdasar hal nyata. 


Kenapa kita harus mengikut hal yang nyata? Banyak hal yang bermafaat bisa kita dapatkan, salah satu bukti nyatanya adalah perkembangan teknologi. Dengan berpikir berdasarkan hal nyata, manusia mampu menciptakan alat yang mempermudah kehidupannya. Mengenai kebenaran dan cara berpikir berdasarkan kenyataan, sudah sering saya tulis dalam beberapa tulisan, bukan berarti saya sangat berambisi membuat seseorang berpikir seperti saya, namun saya ingin semua orang merasakan manfaat menggunakan cara berpikir yang berdasar kenyataan. Dengan demikian, keadilan yang kita elu-elukan, tercapai.


Jika kebenaran ditentukan oleh mayoritas yang berdasar nilai-nilai moral/estetika. Ketidakadilan akan terjadi. Ketegangan dan perpecahan tumbuh. Beberapa ciri bahwa minoritas sedang tertekan dan mengalami ketidakadilan banyak hal yang bisa menjsdi contoh, salh satunya misal minoritas mulai diatur kehidupannya oleh mayoritas yang berkepentingan, mulai dari hal-hal kecil hingga ke hal besar. Inilah yang disebut hegemoni kekuasaan mayoritas, sepeti yang disinggung di atas. Mari kita lihat beberapa contoh yang terjadi.


Aturan berpakaiaan yang harus mengikuti mayoritas. Beberapa waktu lalu, saya membaca berita mengenai seorang siswa non-muslim yang dipaksa untuk menggunakan kerudung oleh gurunya. Kita tau bahwa negara kita bukanlah negara agama dan tidak pernah ada aturan semua warga negara harus mengenakan krudung. Namun karena pengaruh mayoritas hidup di sini, hal ini bisa saja terjadi. Padahal jika kita paham bahwa nilai-nilai tersebut bukanlah nilai universal dan hanya berlaku pada kelompok tertentu, pemaksaan semacam ini tidak akan terjadi. Kita harus sadar bahwa kita hidup dalam keberagaman, dan perbedaan pandanagn itu hal yang biasa dan harus kita terima. Setiap kelompok memiliki nilai-nilainya masing-masing yang mereka junjung dan percayai sebagaimana kita mempercayai nilai-nilai yang kita pegang.


Selain berpakaian, aturan makan juga dipengaruhi kekuasan mayoritas, ini juga terjadi beberapa waktu lalu. Ada seorang wanita yang makan babi sambil mengucap nama Tuhan, saya tidak mengatakan ini sepenuhnya benar. Tapi kehendak seseorang untuk makan sesuatu dengan model apapun seharusnya tidak boleh diatur oleh orang lain. Kendati kita tau bahwa wanita tersebut beragama islam sebagaimana mayoritas yang ada di negara ini, dalam hal ini wanita tersebut telah menganut nilai-nilai lain, jadi dia merasa benar untuk makan babi. Perkara dalam agama, wanita tersebut telah melakukan dosa, itu urusan wanita tersebut dengan Tuhannya, dia juga tidak merugikan orang lain dalam hal itu. Oleh sebab itu, menurut saya dia tidak pantas dihukum 2 tahun penjara. Saya melihat ia tidak berusaha merendahkan agama, dia hanya melakukan kebiasaannya menyebut nama Tuhan ketika hendak makan, terlepas dari apa yang dia makan. Dalam hal ini menurut saya, dia hanya sedang menganut nilai-nilai lain namun dia terbawa dengan kebiasaanya sebagai orang yang beridentitas muslim. Menerapan nilai-nilai laind alam hidupnya menurut saya sah saja dilakukan. Kita hidup di negara demokrasi di mana setiap orang berhak mempraktenkkan nilai yang mereka percayai, dengan rasa aman tanpa tekanan atau ancaman. Selama nilai-nilai tersebut tidak membahayakan orang lain.


Selain itu, ada contoh yang sering terjadi di negara kita, ini bukan tentang nilai agama versus nilai agama lain, melainkan mayoritas dan minoritas berdasarkan pikiran atau ide. Di mana sebuah ide tertentu lebih banyak dianut oleh masyarakat negara versus ide yang lebih minor. Contohnya adalah hubungan berdasar consent antar manusia. Layar tv dan hp kita sejak dulu hingga kini marak dipenuhi menggerebekan yang dilakukan satuan keamanan tertentu terhadap sepasang kekasih dewasa yang belum berstatus suami istri. Di sini, menurut saya negara tidak boleh ikut campur urusan ranjang seseorang, ketika kedua orang tersebut sama-sama suka dan telah melakukan persetujuan. Dengan demikian tidak ada yang dirugikan. Negara bisa ikut campur apabila terjadi pemaksaan, dengan kata lain ada pihak yang dirugikan dalam aktivitas tersebut. Negara tidak seharusnya mengikuti desakan msyoritas untuk merampas hak orang lain. Saya tidak mengatakan tindakan ini sepenuhnya benar, tapi kita tau seitap manusia memiliki haknya mssing-masing yang harus dilindungi. Jika kita menganggaonya salah, jangan lakukan itu, tapi ketika orang lain melakukannya kita tidak berhak melarangnya, mereka bisanjadi menganut nilai-nilai yang berbeda dengan kita, sekali lagi, selama nilai-nilainyang diterapksn tidak merugikan orang lain, saya ras ini sah dilakukan.


Itulah beberapa hal yang disiarkan melalui media nasional. Dari sana kita bisa melihat bagaimana cara kita berpikir dan sudah sampai mana sumber daya manusia yang ada di negara ini. Selain itu, ada juga beberapa kejadian yang tidak disiarkan secara nssional namun terjadi di belahan bumi manapun termasuk negara kita. Yaitu hak untuk beraktivitas dan berkegiatan yang diatur berdasarkan gender. Karena mayoritas nilai yang dianut negara ini adalah nilai-nilai agama yang bernafas patriarkis, perempuan menjadi objek sekunder yang diatur. Segala aktivitas dan kegiatannya lebih 'diperhatikan' daripada laki-laki, dengannya, kebebasan tidak didapat oleh perempuan. Banyak kejadian di mana orang tua melarang anak perempuannya untuk melakukan beberapa aktivitas karena ia perempuan. Saya pikir saya tidak perlu memberi contoh, masyarakat dengan sendirinya tau aktivitas apa saja.


Selain aktivitas sda yang berkaitan dengan ekspresi diri, masyarakat mabuk nilai tertentu tidak mempertimbangkan nilai lain sehingga, semuanorang diwajibkan mengikuti nilai-nilai mayor yang ada. Contoh ini memiliki konteks yang sama dengan paragraf sebelumnya, di mana perempuan tidak mendapat kebebasan dalam mengekspresikan dirinya. Ia harus terlihat sopan, kalem, lemah lembuh, dan bersifat keibuan. Ia juga harus berpakaian dengan pakaian yang dianggap pantas oleh kelompok, seperti berpakaian tertutup atau menggambarkan keperempuannannya. Selain itu ia juga harus berdandan dengan makeup dan perhiasan untuk melayani laki-laki. Inilah nilai-nilai pstriarki yang hidup dalam masyarakat kita. Sangat sukit diubah ksrena sudah mengakar kuat, bahkan ada sebagain perempuan yang sudah dininabobokkan dengan perlakuan ini. Mereka tertidur dengan gaya hidup yang diatur mayoritas, tanpa menemukan kebebasan. Kalau boleh saya gambarkan, mereka tertidur nyaman dan nyenyak dengan tangan dan kaki terborgol. Ada sebagian dari mereka yang memberontak, mereka terjaga dari tidur pulasnya, menyadari bahwa perempuan tidak seharusnya hidup seperti itu. Mereka inilah yang kemudian menamai diri mereka feminist, kelompok yang memperjuangkan nilai-nilai kesetaran bagi perempuan dan seluruh kaum tertindas lainnya.


Selian itu, ada contoh yang lebih ekstrim, di mana hegemoni nilai-nilai mayoritas ini telah merangsak masuk mempengaruhi dan mengganggu kelompok dengan nilai lain bahkan dalam hal beribadah. Sebuah kelompok minoritas mengalami tindakan tidak mengenakkan ketika sedang melakukan ibadah. Bahkan sebagian dari mereka tidak mendapatkan izin dengan mudah untuk membangun rumah ibadah mereka. Berita ini beberapa waktu lalu menjadi perbincangan hangat, setiap orang membahasnya, namun kejadian seperti ini terus saja terjadi di negara ini. Tidak ada yang mampu mengubah cara berpikir seseorang ketika orang tersebut tidak mau mengubah dirinya sendiri, padahal dengan sedikit belajar dan melihat segala sesuatu lebih holistik, saya yakin ia akan sadar bahwa tindakannya salah. Ia menggangu orang-orang atau kelompok yang memiliki nilai tertentu. Itulah alasan saya menulis tulisan ini. Saya ingin seseorang mendapatkan 'bahan belajar' yang membuat kita semua berpikir lebih terbuka terhadap berbagai keberagaman nilai yang ada.


Selain ibadah, cara berpikir juga diatur mayoritas. Saya percaya bahwa indonesia memiliki banyak orang pintar dengan cara berpikir yang terbuka, namun kenyataan bahwa orang-orang yang keluar dari kampus juga melakukan diskriminasi, keyakinan saya akan hal itu menjadi sedikit pudar. Meskipun saya tidak tau apakah mungkin banyak orang dengan cara berpikir yang benar di luar sana namun tidak bersuara, saya tidak bisa memastikan. Yang jelas publik maya membocorkan sebagain kenyataannya bahwa banyak sekali orang yang memaksakan nilai-nilai yang diyakininya di internet, bahwa sebagian menganggap bahwa nilai yang diyakininya adalah kebenaran, terutama mayoritss, kendati memang dalam agama tertentu sebuah nilai dalam agama adalah kebenaran, saya juga paham itu, tapi kitanjuga harus sadar bahwa tidak semua orang menganut 'kebenaran' yang kita yakini. Mengatur masyarakat negara yang majemuk dengan nilai yang tidak universal bukan hanya tidak relevan, tapi juga sakit. Faktanya kita tau kita beragam, artinya lebih dari satu, tapi dipaksa dengan nilai tunggal. Dalam situasi ini yang paling tepat menrurut saya adalah pemerintah membuat aturan berdasarkan fakta objektif dan tidak memihak. Mengadopsi nilai-nilai tertentu dari agama tertentu juga menurut saya sah saja apabila nilai tersebut sesuai dengan semua kelompok, dan tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu.


Oleh sebab itu penting untuk memupuk nilai-nilai penghormatan kepada berbagai kelompok dan mempelajari nilai-nilai budaya yang berbeda, karena ini dapat meningkatkan pemahaman, toleransi, dan kerja sama antara kelompok manusia yang berbeda. Dalam era globalisasi saat ini, pertukaran budaya menjadi lebih mudah, dan hal ini dapat menghasilkan pengayaan bagi semua orang yang terlibat. Oleh ksrenanya saya pikir, kesalahpahaman mudah terjadi dan mudah terselesaikan juga dengan adanya media sosial. Saya berharap semua orang yang memiliki kesadaran baik dan mulia, bukan hanya untuk kelompoknya, tapi juga untuk kelompok manusia yang lebih luas, segera suarakan pikiran baik kita supaya, kehidupan bermsyarakat kita tidak didominasi sikap-sikap intoleran.



13:46


Comments