Nilai Universal dan Subjektivitas Nilai

Pada dasarnya, kita semua menginginkan kebaikan di setiap apapun yang kita lakukan dengan tujuan-tujuan tertentu. Misal kita bertujuan untuk menjadi anak yang baik. Kita akan melakukan kebaikan-kebaikan untuk mencapai tujuan "menjadi anak yang baik". Namun kita juga perlu tau, bahwa menjadi baik dalam konteks masyarakat tertentu. Itu tidak bisa terserah kita. Ada nilai-nilai dalam masyarakat yang mengingat, dan posisi lebih tinggi dari nilai-nilai moral pribadi. Contohnya misal ketika kita menganggap bahwa menjadi anak yang baik adalah bersalaman dengan orang tua sambil joget, dalam pandangan kita mungkin itu benar, sesuai dengan nilai yang berlaku bagi kita pribadi. Ini akan menjadi hal yang buruk atau kurang baik apabila orang tua memiliki nilai moral yang berbeda, misal orang tua kita memegang nilai bahwa bersalaman yang baik harus dilakukan dengan sujud. Ini bertentangan, kita memiliki nilai moral kita sendiri dan orang tua memiliki nila-nilainya sendiri, yang ia percaya dan amalkan dalam kehidupannya. Dengan demikian, tujuan menjadi anak yang baik tidak tercapai karena kedua pihak memegang nilai yang berbeda.

Contoh lain, ketika kita menganggap bahwa mengatakan "permisi" ketika melewati rumah orang adalah hal baik, pada nilai-nilai masyarakat tertentu bisa berbeda, misal dalam masyarakat tersebut yang disebut "baik" adalah berkata permisi lalu menundukkan badan kita. Belum lagi jika nilai-nilai yang kita pegang bertabrakan dengan nilai-nilai yang diyakini baik oleh orang yang rumahnya kita lewati. Contoh ini sam dengan contoh sebelumnya. Misal orang yang rumahnya kita lewati memegang nilai moral bahwa orang yang baik ketika lewat depan rumahnya, adalah orang yang lewat sambil salto. Itu bisa saja terjadi :v, dalam konteks ini, nilai moral yang posisisnya lebih tinggi dan universal dalam artian berlaku dalam sebuah kelompok masyarakat, menjadi penting. Oleh sebab itu perlunya memeprhatikan nilao moral yang berlaku lebih luas.

Dalam kasus orang tua dan anak tadi, yang orang tuanya memiliki nilai yang berbeda dengan anaknya. Lalu bagaimana untuk mencapai tujuan "anak yang baik"? Seperti yang disebutkan di atas, nilai moral yang lebih tinggi menjadi perlu. Oleh seba itu dalam masyarakat umumnya ada nilai-nilai universal, seperti nilai moral adat istiadat, dan nilai moral agama. Dalam konteks indonesia ini sering terjadi. Misal ada dua kelompok kecil yang mengusung nilai moral tertentu. Katakanlah kelompok A dan B. Kelompok A menyusun nilai-nilai A dan kelompok B mengusung nilai B. Jika ada interaksi antara kelompo A dan B, kedua kelompok berkemungkinan akan berseteru atau bahkan mengalami konflik. Oleh sebab itu nilai-nilai moral yang lebih tinggi misal agama, harus ada. Nilai-nilai inilah yang kemudian menyatukan kedua kelompok. Lalu bagaimana dengan agama lain? Bagaimana mereka berinteraksi antar agama? Kita tau setiap agama memiliki nilai moral masing-masing. Sekali lagi dalam konteks indonesia, kita punya nilai-nilai hang mempersatukan kita, yaitu pancasila. Dalam hal ini, pancasila bersifat universal untuk menyatukan berbagai perbedaan di indonesia. Bagaimana jika ada yang tidak bersedia memegang nilai-nilai pancasila? Seharusnya kita membutuhkan nilai yang lebih universal lagi. Tapi karena kita punya idealisme bahwa pancasila adalah nilai universal terakhir. Kita tidak membangun nilai lagi di atasnya untuk bisa sejalan dengan orang yang tidak mau memilih Pancasila sebagai jalan hidup. Dalam konteks ini, orang yang tidak mau menerima pancasila sebagai jalan hidupnya, pada bagiannya hanya berinteraksi dengan orang-orang dengan nilai tertentu di bawah pancasila. Misal karena orang tersebut beragama A. Jadi ia hanya berinteraksi dengan kelompok A saja.

Inilah yang perlu kita perhatikan dalam berinteraksi. Kita memiliki nilai-nilai yang berbeda antara individu satu dengan yang lain, kita juga memiliki nilai-nilai universal. Jadi ketika kita hidup di sebuah kelompok yang memiliki nilai tertentu, tujuan yang kita buat tidak seharusnya berdasarkan nilai-nilai pribadi kita. Jika tidak, akan terjadi pertentangan. Contoh apabila kita bertujuan untuk menjadi negarawan yang baik saya harus berbuat adil kepada kelompok agama tertentu. Ini tujuan berlandaskan nilai-nilai pribadi, dan ini akan bertentangan dengan nilai yang lebih universal yang mengatakan bahwa keadilan bagi seluruh rakyat. Oleh sebab itu tujuan kita harus disesuaikan. Tapi apabila tujuan kita adalah menuai konflik, kita tidak perlu mengubahnya.

Ini berlaku dalam berbagai konteks, contoh dalam konteks merawat hewan. Ketika kita merawat hewan, kita memiliki tujuan menjadi orang yang baik dalam memperlakukan hewan. Kita ingin mencintai hewan dengan tulus, menempatkannya di kandang yang bersih, memberi makanan, minuman, tempat tidur yang empuk, baju yang bagus, memandikannya. Dalam hak ini, tujuan kita menjadi orang yang baik dalam memperlakuakn hewan dan mencintai hewan dengan tulus menjadi tidak relevan. Bisa saja hewan-hewan menginginkan kebebasan di alam liar. Mereka tidak suka ditempatkan di kandang, tidak suka makanan yang teratur dan tidak bervariasi, tidak suka tempst tidur yang empuk, hewan memilih preferensinya tersendiri ingin tidur di mana, ia juga tidak ingin mengenakan baju, dan tidak ingin mandi secara teratur menggunakan sabun yang mahal. Di alam bebas hewan-hewan tidak menggunakan sabun yang mahal. Dengan demikian, tujuan mencitai hewan dengan tulus menjadi palsu. Karena kita berusaha memaksakan nilai-nilai yang baik menurut kita kepada hewan, padahal bisa saja hewan memiliki keinginannya sendiri. 

Itu pertama, kedua, hal ini juga bisa terjadi dalam konteks merawat anak. Misal seorang anak ingin menjadi tentara. Inilah tujuan yang ingin ia capai, oleh sebab itu ia menbangun nilai-nilainya sendiri untuk mencapai tujuannya. Namun di tengah jalan, ada orang tua yang berusaha mendidiknya untuk menjadi dokter. Misal orang tuanya memaksa anak untuk masuk sekolah kedokteran. Ini bertentang dengan kemauan asli anak. Dalam hal ini tujuan orang tua yang menyebut bahwa ia mencintai anaknya dan yang ia lakukan apapun hanya untuk kebaikan dan kebahagiaan anaknya adalah tidak relevan. Untuk mencapai tujuan itu ia menggunakan nilai-nilai yang ia yakini pribadi. Padahal jika ia memang ingin mencintai anak dengan membuatnya bahagia, ia harus membiarkan anaknya memiliki kebebasan terhadap apa yang diinginkan anak. Ia seharusnya membiarkan anaknya memilih apa yang anaknya inginkan. Bukan memaksa nilai-nilai yang ia pegang secara pribadi. Jika saja tujuannya adalah ia ingin anaknya menjadi dokter tanpa memperhatikan kemauan anak. Ia bisa saja memaksakan hal itu. Hal ini dengan demikian, sejalan dengan tujuannya. 

Dari berbagai konteks yang telah saya berikan di atas. Kita bisa bertanya-tanya "Kenapa moral bisa beda beda?" Manusia memiliki tujuan-tujuan masing-masing dalam hidupnya. Untuk mencapai tujuan itu, ia harus menerapkan nilai-nilai tertentu yang sesuai dengsn tujuannya. Dengan demikian nilai yang ia pegang bersifat subjektif karena berdasarkan pendapatnya menghadapi kehidupannya. Orang dengan tujuan yang sama, bisa saja memiliki nilai-nilai yang berbeda, karena setiap orang memiliki konteksnya masing-masing dalam kehidupannya. Dengan demikian, kehidupan kita penuh dengan nilai-nilai yang beragam. Dalam keberagaman ini perlu adanya kesadaran untuk memahami tujuan-tujuan orang lain, dengan demikian menjadi mssuk akal seseorang melakukan tindakan tertentu jika kita mengetahui tujuannya. Kita bisa berbeda pendapst, kita juga bisa menolak pendapat yang lain. Tapi kita juga perlu ingat bahwa kita hidup dalam konteks kehidupan yang berbeda. Oleh sebab itu, pemaksaan nilai-nilai subjektif kepada orang lain sangat tidak relevan, atau dengan bahasa agama, pemaksaan ini adalah tindakan tercela.

Dalam hal debat, kita juga perlu tau posisi di mana lawan kita berdiri. Jika sejak awal kita tidak tau posisinya, perdebatan tidak akan mendapatkan hasil, perdebatan tidak akan menemukan titik ujung yang jelas, yang terjsdi hanyalah saling hujat, pertikaian dan kesalahpahaman yang bisa berujung pada saling benci. Kita harus sama-sama memahami di mana posisi kita atau alwan kita berdiri. Contoh dalam memandang "negara" lawan kita mengatakan bahwa negara harus dibubarkan, katakanlah lawan kita cenderung pada definisi negara otoriter, memperlakukan penduduknya semena-mena, semau pemimpin. Oleh sebab itu, kesimpulannya bahwa negara harus bubar, manjadi masuk akal. Ia kemudian menolaknya. Namun dalam pandangan kita, kita mendefinisikan negara sebagai institusi yang mengatur kehidupan kita dengan tujuan baik. Oleh sebab itu kita mendukung adanya negara. Dalam kedua definisi atau posisi yang berbeda ini, jika terjadi perdebatan, tidak akan menemukan jalur yang sejalan. Oleh sebab itu perdebatan tidak seharusnya dilakukan. Untuk tetap memulai perdebatan. Kita harus memahami posisinya, dan mencoba berlapang dada untuk menerima fakta-fakta yang diajukan lawan bicara, kenapa negara harus bubar atau kenapa negara harus tetap bertahan. Jika dakta objektif mendukung lebih baik negara tetap berdiri, lawan bicara kita harus berlapang dada bahwa memang seharusnya negara itu berdiri. Di sini kita menemukan jalan yang sejalur. Dalam hal ini, keberadaan fakta objektif sangat berpengaruh. Kita tidak bisa memaksakan apapun yang kita yakini kepada lawan bicara kita jika tanpa fakta objektif. Inilah yang menjadi tujuan tulisan ini. Yaitu memahami posisi orang lain dengan nilai-nilai tertentu dan tidak memaksakan nilai-nilai pribadi kita, agar tidak terjsdi konflik dan sebagai gantinya tercipta perdamaian di antara umat manusia.


08:45

Comments