Kesamaan Virtue Ethics antara Islam Kepercayaan lain dan Yunani Kuno

Dewasa ini, dunia kita sangat kaku dan sangat tidak menyenangkan. Banyak orang tumbuh dengan aturan, hukum dan hukuman dalam keberagamaan kelompok. Dengan atmosfir yang tidak sehat seperti ini, akhirnya setiap kubu mengaku paling benar. Padahal pada bagiannya, hukum dan aturan adalah hasil tafsir dari keberagamaan kita, Usaha kita untuk mencapai hidup ideal. Tapi sayangnya, daripada menitikberatkan kehidupan kita pada nilai-nilai kebajikan, kita justru lebih berfokus pada 'hukum dan hukumannya'. Padahal jika kita memperhatikan dengan pikiran yang jernih, keberadaan hukum pada akhirnya bertujuan untuk terbentuknya atau mempertahankan nilai-nilai kebajikan dalam kehidupan kita. 


Setiap kelompok agama memiliki hukum masing-masing, dan itu bisa berbeda antara satu dengan lainnya. Namun ketika berbicara tentang virtue ethics atau nilai-nilai kebajikan dalam menjadi manusia, umumnya kita menyepakati hal yang sama. Kenapa kita tidak menekankan nilai-nilai kebaikan yang kita junjung bersama daripada memfokuskan kehidupan kita pada pembahasan hukum yang berbeda-beda? Dalam tulisan ini, saya tidak berusaha mengatakan bahwa hukum itu tidak penting, pada bagiannya ia juga penting. Tapi tujuan hukum adalah kebaikan bersama, ia adalah untuk kebermanfaatan, namun alih-alih kita fokus pada tujuan yang bermanfaat, kita lebih fokus pada alat untuk mencapainya.


Salah satu contoh apabila kita haus, dan karenanya kita hendak minum, kita punya banyak pilihan, baik minum air putih saja, minum jus, susu atau yang lainnya. Selain itu kita juga punya banyak pilihan, mau menggunakan botol atau gelas, jika memilih gelas, kita masih punya pilihan, seperti gelas berwarna apa, berbahan apa, selain itu kita juga bisa mempertimbangkan bentuknya seperti apa, dan kita mau minum dengan gaya seperti apa dan hal-hal lainnya yang biasanya tidak terlalu penting dan tidak berkaitan dengan tujuan awal kita. Kita tau tujuan awal kita hanya menghilangkan dahaga. Namun untuk mencapai tujuan itu, kita punya banyak macam hal untuk dipertimbangkan. 


Untuk membuat pernyataan ini lebih jelas dan menjawab pertanyaan apa kaitannya minum dan hukum, mungkina da yang belum mengerti, ini adalah sebuah analogi. Di mana saya menggambarkan nilai-nilai kebajikan sebagai pelepas dahaga, dan hukum adalah bagaimana cara kita mencapai rasa terlepas dari dahaga tersebut. Kita melihat dalam analogi tersebut banyak sekali cara untuk menghilangkan dahaga, kita sebenarnya tidak perlu terlalu fokus pada hal teknis semacam itu. Yang kita perlukan adalah tujuan-tujuan kita, bagaimana rasa haus itu hilang.


Setiap kelompok memiliki aturan atau hukum masing-masing namun umumnya memiliki tujuan sama. Yaitu mencapai kebaikan atau kebajikan itu sendiri. Dalam beberapa kesempatan, saya menjabarkan banyak sekali definisi mengenai kebaikan, oleh karenanya ia sangat relatif. Setiap kelompok selain punya hukum berbeda, juga punya nilai kebaikan berbeda. Lalu bagaimana kita mencapai kesepakatan. Keberagaman itu memang selalu ada, ada saat-saat tertentu kita memang harus mencapai tujuan kebaikan kelompok kita, dan ada saat tertentu kita harus menyadari bahwa kita hidup bukan hanya dengan orang-orang di kelompok kita, kita juga harus sadar untuk menerapkan nilai-nilai yang lebih universal, tergantung konteks yang ada, yang kita hadapi.


Umumnya, banyak orang tidak memahami konteks, oleh karenanya sangat memaksakan hukum-hukumnya diterapkan dalam masyarakat yang beragam. Akhirnya terbentuklah radikalisme bahkan sampai pada bentuk terorisme. Ini yang kita khawatirkan. Mungkin saja tujuan kita baik, tapi kita terlalu abai dengan konteks yang ada. Sehingga memaksakan sesuatu yang tidak sesuai dengan konteks. Contoh terkait hal ini kita ambil dari contoh minum seperti di atas. Katakanlah kita adalah kelompok yang menjunjung nilai-nilai cara minum sambil pargoy menggunakan gelas plastik berwarna merah muda. Dalam konteks yang luas, kita memaksakan cara kita minum untuk diterima semua orang, dalam hal ini kita melakukan kesalahan, meskipun mungkin tujuan kita baik. 


Sedangkan di sisi lain, mungkin ada orang-orang yang telah hidup dan sangat menjunjung nilai-nilai minum sambil duduk menggunakan gelas emas. Nilai-nilai ini bisa bertabrakan satu sama lain, jika kita tidak melihat konteks yang luas dan berusaha menjadi bijak. Kita bisa jadi akan menuai pertikaian, pertentangan, ketegangan antar kelompok. Oleh karenanya kita sangat perlu dan wajib untuk memperhatikan tujuan kita dalam konteks tertentu. Tujuan kita pasti sama, yaitu bertujuan menghilangkan rasa dahaga. Dalam konteks lebih luas, ada baiknya kita befokus pada tujuan-tujuan kita dan nilai-nilai yang sama, alih-alih hanya berfokus hal teknis yang tidak begitu krusial. Pada bagiannya, cara kita minum tidak berpengaruh apapun pada tujuan kita, semua orang bisa menggunakan cara mereka sendiri, ini tergantung selera. tapi ketika berbicara tentang kebenaran, ini harus melibatkan pandangan objektif dan tidak memihak untuk menggambarkan realitas dengan lebih adil. Saya akan membahasnya setelah ini.


Masyarakat yang sehat, adalah masyarakat yang mengerti konteks, dan mereka menyadari bahwa hukum hanyalah instrumen kita untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan kita bukanlah hukum itu sendiri. Oleh karenanya sangat penting untuk mempertanyakan tujuan kita ketika hendak memaksakan suatu hukum untuk sebuah konteks. Jika kita tau tujuan bersama kita, dengan demikian, toleransi atau saling memahami posisi, tercapai. Kehidupan kita akan damai.


Dalam bermanusia, kita memiliki tujuan-tujuan mulia bersama. Jadi tidak heran apabila ada narasi "Semua agama mengajarkan kebaikan", ini tentu menggambarkan tujuan bersama kita sebagai manusia. Dalam kemanusiaan, tujuan orang dan cara mendapat tujuan itu bebas, selama orang tersebut tidak melanggar hak orang lain, tidak merugikan orang lain, tidak mencelakakan orang lain, semua bisa dilakukan. Kita melakukan apapun yang kita inginkan, contohnya kita menerapkan nilai-nilai yang kita yakini seperti agama tertentu, ini tidak menjadi masalah, selama nilai tersebut tidak mencederai manusia lain.


Itu dalam kemanusiaan. Dalam ranah yg lebih objektif, kita mungkin tidak bisa minum sambil pargoy, meskipun ada kelompok tertentu yang meyakini itu baik. Nilai-nilai objektivitas bukan berarti menantang kelompok ini, tapi dengan sendirinya menjelaskan kenyataan, bahwa minum sambil pargoy mungkin saja menyebabkan air yang kita minum tidak mengalir dengan lancar, kita kita tersedak, batuk atau yang lainnya. Dalam pandangan yang objektif, sesuatu yang salah ataj tidak sesuai kenyataan itu salah, dan yang sesuai kenyataan itu benar. Kebenaran ini pada bagiannya bisa dinilai baik dan buruk oleh kelompok tertentu, tergantung bagaimana mereka melihatnya. Tapi kebenaran tetaplah kebenaran, ia bukan karangan, melainkan penjelasan terkait realitas.


Seringkali, nilai-nilai keyakinan kita memiliki tujuan yang sama dengan kemanusiaan. Oleh sebab itu ada narasi "Agama tidak boleh jauh dari kemanusiaan". Karena pada bagiannya memang sejalan. Meskipun ada bagian lain dari kemanusiaan yang tidak sejalan dengan agama, contoh kebebasan dan batas "salah" atau yang dikatakan "melanggar" dalam kemanusiaan berbatas pada hak orang lain, katakanlah sesuatu telah mencederai hak orang lain, itulah yang dilarang, sedangkan di luar itu, tidak melanggar. Berbeda dengan agama, yang dikatakan salah dalam agama bisa saja 'boleh' dalam kemanusiaan. Misal hak makan babi, selama itu tidak mengganggu orang lain dilihat dari nilai objektif, makan babi tidak masalah. Tapi dalam agama, khususnya islam, tindakan ini dilarang.


Nilai-nilai kemanusiaan umumnya dilandaskan pada realitas objektif dalam beberapa kasus. Beberapa kasus yang lain ia berdasarkan nilai kebebasan, misal orang bebas mengimani keyakinannya, haknya dilindungi. Sedangkan di ranah objektif, sedangkand alam nilai objektif, sesuatu yang salah, tetaplah salah. Tidak memiliki apapun, baik nilai-nilai atau golongan tertentu.


Dalam konteks bermanusia. Penting sekali untuk menemukan tujuan yang sama, mengingat kita hidup tidak hanya dengan golongan keyakinan kita. Katakanlah di Indonesia saja, banyak perbedaan dan keberagaman di dalamnya. Oleh karenanya orang di dalam indonesia terpayungi oleh nilai yang lebih luas, seperti pancasila, katakanlah. Jika kita memahami tujuan-tujuan bersama kita. Kita tidak akan terperangkap pada aturan-aturan teknis seperti hukum dalam sebuah golongan. 


Katakanlah dalam agama A memiliki hukum a dan agama B memiliki hukum B dan begitu juga yang C dan yang lainnya. Dalam perbedaan ini kita harus tau tujuan bersama dan inti dari hukum masing-masing golongan. Dalam konteks ini kita sudah paham, tujuan. Bersama kita adalah mencapai kebaikan. Setiap kelompk memiliki tujuan kebaikan, oleh karena itu kita harus fokus pada tujuan itu, bukan sibuk mengurus hukum dan mengatakan mana yang paling benar. Jika memang ingin membahas kebenaran, kita harus mengukurnya dengan nilai objektif, bukan nilai-nilai kelompok, supaya tidak terjadi bias yang mengakibatkan ketidakadilan.


Tujuan-tujuan dalam konteks islam yang sejalan dengan tujuan bersama (universal) kita kurang lebih seperti nilai-nilai, ketabahan, rasa syukur, pantang menyerah, sabar, ikhlas, kerendahan hati, kepercayaan kepada Tuhan dan nilai lainnya, dengan nilai-nilai ini kita harus memastikan bahwa semua ini mengarahkan kita pada kebaikan. Nilai-nilai ini ada dalam islam dan menjadi dasar yang baik untuk hidup manusia, dan saya pikir, ini juga ada dalam kepercayaan lain. Oleh karena, inilah yang harus kita junjung, jika kita menjunjungnya dan mempraktekkannya dalam kehidupan kita sehari-hari, kita tidak akan memperdebatkan hukum lagi dan berseteru mana yang paling benar. Jika kita telah menjadi orang yang benar-benar baik, kita akan selalu melakukan kebaikan dalam berbagai konteks dan kita tidak perlu mengkhawatirkan hukuman, kita tidak akan takut telah melanggar atau tidak, yang kita tau hanyalah melakukan kebaikan terus-menerus.


Pada bagiannya nilai-nilai ini juga sejalan dengan nilai-nilai filsafat yunani kuno, terutama dalam hal virtue (kebajikan) dan ethics (etika). Banyak muslim di masa lalu yang menerapakan virtue ethics tokoh-tokoh seperti plato dan aristoteles, bahkan sebagian muslim bisa saja menganggap mereka bagian dari 124.000 nabi yang tidak disebutkan dalam Al-qur'an, mungkin saja. Dalam perbedaan, kita menemukan kesamaan, alih-alih fokus pada perbedaan, ada baiknya kita fokuskan hidup kita pada kesamaan kita. Supaya tercipta dunia yang damai penuh toleransi sebagaimana keinginan dan kerinduan purba manusia-manusia bumi.



08:34

Comments