Bodoamat 2015 Sebelum Filsafat Stoa

Tidak perlu membaca buku yang tebal-tebal untuk bisa mengetahui siapa kita dan menerima diri sendiri dengan damai. Cukup diam dan berpikir saja. Baca diri kita sendiri. Bagaimana mungkin membaca buku atau pikiran orang lain ketika tujuannya ingin mengetahui diri kita sendiri?


Pendapat ini sangat subjektif dan memang harus begitu ketika kita berbicara tentang diri kita sendiri, karena siapa yang paling mengetahui diri kita kecuali diri kita sendiri? Orang-orang terdekat kita seperti orang tua, saudara, atau teman, pada dasarnya mengenal kita dengan cara yang berbeda-beda, sesuai persepsi dan kecenderungan mereka dalam berpikir terhadap kita. Mereka membentuk tokoh dalam pikirannya yang disebut sebagai kita, padahal bisa jadi itu buka kita. Ini tentu hal yang berbeda atau mungkin bahkan bisa berlawanan dengan apa yang kita ketahui tentang diri kita. Sangat mungkin terjadi.


Apakah kita perlu mengetahui diri kita? Jawabannya adalah perlu. Karena pada akhirnya kitalah yang akan menentukan hidup kita. Bukan kata-kata motivasi atau yang lainnya. Pembacaan terhadap pikiran lain untuk menentukan jalan hidup kita pada bagiannya menjadi hal yang mengerikan. Ketika secara teknis dalam sebuah buku kita mengenal jalan hidup katakanlah A B C, hidup kita secara nyata bisa saja B C A, atau bahkan tidak menggunakan alphabet, misal 1 2 3? Ini sangat mengerikan ketika kita terkungkung pada jalan yang ditentukan buku.


Sama halnya kita terikat dengan jalan-jalan hidup yang ditentukan orang sekitar, atau masyarakat pada umumya. Misal kita mengetahui bahwa orang yang sekolah harus berprestasi mendapatksn nilai A di segala bidang. Mungkin secara teori begitu, dan itu tidak perlu diikuti sepenuhnya. Sesuaikan dengan diri kita sendiri. Mana yang ingin kita tekuni. Jika kita tau diri kita sendiri, kita akan merasa 'tidak apa-apa' dan merasa bahagia menjadi diri sendiri.


Yang bermasalah adalah kita memaksakan pendapat-pendapat orang masuk menjadi kehidupan kita. Padahal ada saatnya kita untuk menutup telinga dan mengatakan bahwa kehidupan ini memang penuh hal-hal yang berbeda. Itu boleh saja terjadi. Jika perkara ada yang memaksa bahwa kehidupan harus sejalan. Ini bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan kita yang penuh kreasi.


Saya sebenarnya merasa lelah membicarakan ini berulang kali. Benar bahwa saya tidak menulis tentang ini secara terbuka dan disampaikan kepada, mungkin saja, banyak orang. Tapi saya menulisnya di dalam perpesanan antara saya dan seseorang yang menganggap hidupnya tidak sesuai dengan yang dia inginkan. Ia selalu bertanya banyak hal terkait bodoamat. 


Bodoamat di sini berbeda dengan bersikap bodoh amat, saya hanya menggunakan istilah bodoamat untuk menggambarkan konsep yang saya terapkan dalam hidup saya beberapa tahun terakhir. Konsep ini singkatnya mengenalkan kita pada siksp membiarkan realitas sebagaimana adanya ketika kita telah melakukan yang hal-hal yang terbaik dari diri kita. Setelahnya, ada waktu-waktu tertentu untuk kita menutup telinga terkait hal yang tidak bisa kita kontrol. Dalam hal ini bukan berarti kita bersikap apatis, melainkan tentang apa yang terjsdi dan tidak bisa dikontrol, kita melihatnya sebagaiman adanya dan penuh penerimaan atasnya.


Kembali lagi pada kasus teman saya. Saya curiga yang dia inginkan adalah benar-benar keinginannya atau ia berkeinginan hanya karena sekitarnya berkeinginan seperti itu, akhirnya dia terpengaruh untuk menjadi "sama" dengan sekitarnya. Padahal, sekali lagi, menjadi berbeda dari kebanyakan adalah kenormalan, jika itulah yang terjadi dan kita tidak bisa mengubahnya. Bagaimana kehidupan memposisikan dirimu di tempat itu, adalah dirimu yang sebenarnya.


Oleh sebab itu bodoamat sangat dianjurkan untuk menyikapi hal-hal tidak penting di sekitar kita. Ini membantu kita menjadi diri sendiri, tidak peduli dengan pendapat orang lain, menjalani hidup kita apa adanya dan bahagia, tidak banyak menuntut karena akhirnya kita tau dengan menuntut dan tidak penuh penerimaan, kita hanya akan membuat diri kita tertekan.


Sikap bodomaat ini telah saya lakukan sejak tahun 2015, ketika sekitar menjadi kurang ajar dan mencoba terlibat lebih dalam atas hal-hal yang tidak seharusnya melibatkan sekitar. Di mana sebenernya kita hanya membutuhkan diri kita sebagai satu-satunya orang yang paling mengerti diri kita.


Kembali lagi ke pembahasan di atas bahwa persepsi seseorang tentang kita, sebenarnya bukanlah kita. Itu adalah pikiran mereka sendiri, bahkan yang lebih buruknya adalah proyeksi mereka tentang mereka yang mereka anggap adalah kita. Padahal bisa saja yang kita inginkan, tidak sama dengan keinginan mereka. Tapi karena mereka menganggap bahwa kita adalah sebagaimana mereka berpikir, mereka merasa berhak mengatur kita dengan pandangan-pandangan usangnya.


Dalam situasi seperti itu hal yang terbaik adalah mengabaikannya. Atau yang sering saya sebut sebagai bodoamat. Kita harus menyadari kehidupan ini terdiri dari beragam pandangan dan tidak bisa kita kontrol. Tidak bisa kita seragamkan untuk menjadi sempurna (sesuai keinginan kita). Dari situlah kita menyadari menjadi "tidak sempurna" (yang pada dasarnya adalah kesempurnaan yang sejati), sebenarnya bukanlah sebuah masalah. Karena hidup memang begitu. Kehidupan penuh dengan ketidaksempurnaan. Oleh sebab itu, kita seharusnya sudah bisa menerima segala ketidaksempurnaan dan menjadi bodoamat dengan semua komentar mengenai ketidaksempurnaan itu.


Ini secara tidak sengaja berkaitan dengan buku Mark Manson, the subtle art of not giving a fvck. Buku ini terbit pertama kali 2016. Tahun itu, saya belum tau buku ini. Awal tahun 2018 teman saya memberitahu buku tersebut. Saya merasa ada kecocokan dengan judul bukunya, karena saya sadar, saya sudah belajar 'bersikap bodoamat' sejak 2015, dan keberadaan buku ini seolah-olah melegitimasi apa yang sudah saya lakukan sejak itu.


Sejak mengetahui buku itu, saya merasa makin serius untuk tetap bodoamat. Supaya saya bisa menerima semua hal mengenai hidup untuk kebaikan saya. Dan saya kira kita semua harus melakukannya untuk kebaikan kita masing-masing.


Di tahun 2018, muncul buku lain yang ternyata isinya senada dengan buku sebelumnya, paling tidak menurut saya. Buku ini judulnya filosofi teras, isinya memperkenalkan filsafat stoa. Karena buku ini, semua orang berlomba-lomba membahas filsafat stoa dan mengaguminya. Memang sangat penting untuk memahaminya dalam menghadapi kehidupan yang tidak bisa dikontrol ini, oleh sebab itu akan lebih baik apabila energi kita difokuskan pada hal-hal yang bisa kita kontrol, contohnya potensi diri kita untuk menjadi lebih baik atau sebagai langkah awal seperti yang sudah saya sebutkan berulang-ulang sebelumnya, yaitu bersikap bodoamat. Dengan penerimaan terhadap diri sendiri melahirkan penerimaan yang lebih luas dan bermanfaat bagi pribadi kita. Itu sangat berguna sebagai atmosfir perubahan kita menjadi lebih apa adanya.


Saat ini, saya tidak peduli pendapat orang lain mengenai ketidaksempurnaan dalam kehidupan dan saya pikir kita semua juga. Ketika kita sudah melakukan yang semestinya dan apa adanya, namun sekitar masih tetap tidak suka. Kita tidak punya masalah dengan itu, kita sudah berdamai dengan kenyataan dan proses kehidupan ini. Karena pada akhirnya kesempurnaan tidak dibutuhkan ketika dengan tidak sempurna, manusia menjadi manusia.


01:37

Comments