Memahami Pilihan Hidup yang Dinilai Kontroversial

Jika semua orang setuju bahwa hidup adalah pilihan, di mana semua pilihan kita lah yang menentukan. Kenapa pada saat seseorang berlabuh pada pilihan tertentu yang tidak sesuai dengan kemauan komunal, orang tersebut akan mendapat tekanan? Beberapa orang mungkin memiliki pilihan seperti tidak ingin melanjutkan pendidikannya, tidak ingin berbaur dengan banyak orang, tidak ingin berpasangan, atau tidak ingin memiliki keturunan. Kenapa ketika di sisi lain kita setuju bahwa hidup adalah pilihan masing-masing orang sedangkan di sisi lainnya kita merasa memiliki hak untuk ikut campur untuk menentukan pilihan seseorang?


Seseorang memiliki standar ganda, di mana di saat yang sama ia setuju dengan adanya pilihan-pilihan tapi di sisi lain ia tidak setuju dengan adanya pilihan tertentu. Apa memungkinkan bahwa seseorang mendefinisikan kehidupan adalah pilihan, pilihan yang dimaksud hanya sesuai dengan keinginan pribadinya dan tidak melihat realitas secara keseluruhan? Jika demikian yang terjadi, orang tersebut sejatinya sedang melakukan ketidakadilan dalam memandang kehidupan. Di mana ketika sebuah pilihan sesuai dengan keinginannya ia akan mendukungnya dan jika tidak, ia akan menolaknya, termasuk memaksa seseorang untuk tidak memilih pilihan yang ia tolak.


Setiap orang boleh memiliki pilihan masing-masing karena setiap orang hidup dan tumbuh dengan parameter dan nilai-nilai tertentu yang berbeda-beda. Pada bagian ini mungkin kita sepakat, tapi dalam prakteknya setiap hari yang terjadi justru sebaliknya. Seseorang seolah dilarang untuk memiliki nilai tertentu dalam hidupnya dan digiring untuk selalu mengikuti nilai-nilai mayoritas. Hal ini membawa saya pada kesadaran bahwa mungkin saja, orang-orang seperti ini menganggap nilai yang mereka pegang lebih baik dan benar untuk diterapkan dalam kehidupan.


Untuk menanggapi hal ini, mari kita kembali ke realitas objektif. Di mana asumsi dan klaim tidak terlibat. Ketika seseorang individu atau kelompok dominan dalam masyarakat meyakini nilai-nilai tertentu adalah yang paling baik dan benar, kelompok yang lebih minor bisa saja dan boleh meyakini yang lain, di awal kita sepakat bahwa kehidupan adalah pilihan, itu pertama. Selain itu, mengingat bahwa nilai yang diyakini paling banyak, tidak secara otomatis berarti bahwa nilai-nilai tersebut baik dan benar, dengan demikian kembali ke kesepakatan pertama bahwa hidup adalah pilihan. Dan pada posisi ini, tidak ada nilai yang mengguli nilai yang lain, semua adalah pilihan dan bersifat subjektif. Oleh sebab itu, tidak pernah ada orang yang berhak mengatur kehidupan orang lain dalam mengambil sebuah langkah hidupnya.


Bagaimana jika nilai-nilai kelompok tertentu adalah yang lebih baik dan benar? Tidak ada yang bisa memastikan dan mengukur itu dengan akurat, mengingat nilai-nilai tersebut bersumber dari moral dan etika, dan ketika berbicara tentang kedua hal tersebut, setiap orang memiliki kecenderungannya masing-masing, jadi sangat sulit untuk menentukan nilai tertentu sebagai yang benar atau tidak. Seseorang bisa saja mendebatnya dan memaparkan data bahwa inilah atau itulah yang terbaik, tapi untuk dinyatakan sebagai yang benar, itu tidak pernah tercapai, setiap orang hidup dengan konteks tertentu. Jadi baik bagi orang tertentu belum tentu baik bagi yang lain.


Jadi nilai-nilai tertentu tidak bisa dipaksakan kepada orang lain, sekalipun kita menganggapnya turun dari langit. Kecuali nilai-nilai tersebut kita sepakati bersama sejak awal. Jadi orang yang melanggarnya bisa saja mendapat hukuman atau paksaan dari orang lain untuk kembali ke jalan yang benar dan baik sesuai nilai yang disetujui bersama. Jika seseorang tidak menyetujui nilai-nilai tersebut sejak awal, menjadi tidak relevan jika orang lain terus-menerus memaksakan nilai tersebut untuk diterima. Perlunya kesadaran terhadap nilai-nilai yang hidup di sekitar kita untuk menbuat kita lebih bijak dan adil dalam bersikap. Karena bisa saja kita menjadi egois atas nama nilai.


Selain seseorang menganggap bahwa nilai yang ia pegang adalah yang paling baik dan benar oleh karenanya semua orang harus memilihnya, saya duga seseorang juga sedang melakukan proyeksi, di mana seseorang memproyeksikan diri dan yang ia alami, kepada orang lain. Dengan kata lain, Ini merupakan ketakutan pribadi seseorang yang diproyeksikan kepada orang lain. Contoh ketika seseorang (katakanlah tokoh A) memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya, orang lain (katakanlah tokoh B) justru mengatakan zaman sekarang pendidikan itu penting, semua institusi butuh ijazah paling tinggi, SMA doang mana cukup. 


Dalam hal ini tokoh B sedang merasa takut ketika ia tidak berpendidikan tinggi ia tidak akan mendapat pekerjaan yang layak, ketakutan ini ia coba gambarkan kedalam kehidupan A, dengan demikian ia merasa perlu berkata demikian kepada si A. Padahal bisa saja si A tidak melanjutkan pendidikannya meskipun ia sudah tau terkait kemungkinan yang dikatakan si B, tapi dia tidak merasa takut karena ia memiliki rencana lain untuk masa depannya, atau ia memiliki perusahaan keluarga yang harus ia handle, jadi ketakutan si B tidak relevan dalam kehidupan si A.


Contoh di atas adalah contoh pertama dalam keberagaman pilihan hidup. Saya akan membahas satu per satu contoh yang sudah saya sebutkan di paragraf pertama. Contoh yang kedua yaitu, seseorang tidak berkenan berbaur dengan banyak orang atau tidak suka bersosialisasi, dan lebih banyak menghabiskan waktu dalam hidupnya sendirian. Kasus ini sangat wajar dan kita tidak perlu merasa harus memaksa orang lain untuk berbaur dengan banyak orang kalau kita paham bahwa keinginan dan kehabagiaan orang tidak hanya ditentukan dengan pikiran satu individu. 


Dalam kehidupan, keberagaman berpikir itu ada, yang berpengaruh juga pada bagaimana seseorang bersikap, sikap seseorang sebagian merupakan bawaan lahir dan juga ada yang berasal dari lingkungan. Mengenai bawaan lahir kita bisa berbicara tentang spektrum introvert dan ekstrovert dalam hal ini. Ketika berbicara tentang kasus di atas, di mana seseorang tidak ingin banyak berbaur, tentu kita mengarah pada introvert. Orang yang ekstrovert tentu tidak seharusnya memaksa nilai-nilai yang dianutnya, dalam kasus introvert, nilai-nilai ekstrovert menjadi tidak relevan, introvert lebih memfokuskan hidupnya pada kedamaian, kesendirian, kesunyian dan mereka merasa bahagia dengan hal itu. Dengan demikian, pemaksaan nilai lagi-lagi menjadi sesuatu yang tidak seharusnya ada dalam konteks ini. Setiap pilihan harus dihargai.


Contoh selanjutnya yaitu seseorang memilih untuk tidak berpasangan. Dalam konteks masyarakat indonesia, hal ini tidak umum dilakukan, sekali lagi sesuatu yang tidak umum bukan berarti tidak ada atau tidak boleh dipilih. Kembali lagi pada kesepakatan awal, bahwa hidup adalah pilihan. Orang dengan pilihan ini harus dihargai dan dihormati pilihannya, meskipun tidak umum. Dalam konteks di luar indonesia, pilihan ini menjadi hal yang wajar, bahkan dalam beberapa diskusi media maya, banyak orang-orang yang memilih hal ini dengan berbagai pertimbangan rasional, sekaligus juga pertimbangan rasa bahagia dan nyaman. 


Dalam kerangka logis masyarakat indonesia, tentu hal ini tidak dapat diterima, namun dalam konteks realitas yang lebih luas, hal ini bisa saja terjadi. Ada orang-orang yang memilih untuk hidup sendiri, bekerja untuk dirinya sendiri, ini merupakan hak mereka untuk melakukan itu. Dia tidak bisa memaksakan nilai-nilai yang ia terapkan kepada orang lain dan di sisi lain, orang-orang yang memilih untuk berpasangan juga seharusnya tidak memaksakan nilai-nilainya kepada orang yang memilih tidak berpasangan. Dalam konteks indonesia, jika boleh jujur, umumnya ini yang sering melakukan pemaksaan kepada pihak lain. 


Katakanlah tokoh A merasa kesepian hidup sendirian, ketika sendirian ia merasa tertekan dan sedih, merasa perlu menyalurkan nafsunya kepada orang lain, dan ia kebetulan secara finansial juga mampu melakukan itu oleh sebab itu berpasangan menjadi pilihan dia sebagai konsekuensi logis. Berbeda kasus dengan tokoh B, katakanlah tokoh B orang yang mandiri, ia bisa mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, ia bisa hidup sendiri, merasa tenang dengan kondisi itu dan tidak merasa sedih atau tertekan. Dalam konteks tertentu seseorang memiliki aktivitas yang membuat mereka senang seperti merawat tanaman atau memelihara hewan kesayangan. Selain itu tokoh B bisa saja mengalami trauma dengan pasangannya sebelumnya, ada juga kemungkinan bahwa ia simpelnya adalah seorang introvert sejati yang tidak memerlukan keberadaan orang lain di sekitarnya, selain itu kondisi finansial juga bisa berpengaruh dalam pengambilan keputusannya. Banyak kemungkinan bisa terjadi sebagai sebab logis bahwa seseorang memilih untuk tidak berpasangan. 


Setiap kubu tidak berhak memaksakan cara hidupnya masing-masing, mengingat setiap individu memiliki kehidupan berbeda. Tokoh A mungkin merasa nilai yang ia anut sangat baik dan benar, mengingat ia juga didukung narasi agamawan tertentu, misal seseorang harus berpasangan supaya menjadi bagian dari umat tertentu. Ini tidak berlaku bagi tokoh B, jika tokoh B menganut nilai lain, selain itu apabila tokoh B mengambil narasi agamawan berbeda tentang kasus yang sama, kedua pendapat tidak relevan jika dipaksakan. 


Misal tokoh B membawa narasi tentang hukum-hukum berpasangan yang beragam dalam konteks tertentu, seperti haram, mubah dan wajib. Hal ini akan bertentangan satu sama lain dan tidak akan menemukan titik temu yang mencerahkan. Bahkan dalam sebuah agama saja ada dua nilai yang berbeda dalam konteks tertentu. Tapi dalam masyarakat yang kurang berkembang, hukum yang digunakan hanya satu meskipun konteksnya bisa beragam. Terlepas dari nilai agama, keputusan untuk menerapkan sebuah nilai tertentu dalam hidup menjadi hak individu. Pada kenyataannya nilai-nilai kehidupan sangat beragam, dan tidak ada seorangpun yang berhak mengatur dan menentukan kebahagiaan orang lain, mengingat konteks yang terjadi berbeda-beda.


Keputusan memilih jalan hidup tertentu, terutama tiga contoh di atas, menjadi hak masing-masing. Semuanya wajib dilindungi. Tak terkecuali contoh terakhir ini. Contoh ini banyak diperbincangkan dalam ruang diskusi dunia banyak. Pendapatnya beragam, mulai dari yang sangat tidak setuju, yang netral dan yang sangat mendukung keputusan ini. Terminologi yang sering digunakan yaitu childfree, di mana pasangan memutuskan untuk tidak melahirkan keturunan. Atau hidup berdua dengan pasangan tanpa anak. Pilihan ini menjadi sangat kontroversial, karena sebagian menganggap bahwa anak itu penting dan itulah tujuan berpasangan. Bahkan beberapa ada yang membawa narasi agama juga, untuk membuat pendapatnya makin kuat. Padahal, nyatanya, kita harus sadar bahwa tidak semua orang hidup dengan nilai-nilai yang kita anut.


Dalam konteks indonesia, lagi-lagi ini tidak umum dan tidak wajar, oleh sebab itu banyak sekali individu yang memaksa individu lain -yang memutuskan untuk tidak berketurunan- untuk memiliki keturunan. Perbincangan mengenai mana yang baik dan mana yang tidak baik di bawa ke permukaan. Yang tidak disadari adalah, ketika nilai-nilai dan tujuan individu satu dengan yang lainnya sudah berbeda, namun salah satu pihak memaksakan kehendaknya, pertentangan akan terus terjadi. Tidak ada titik kesepahaman, kecuali keduanya berada di posisi yang saling ingin memahami meskipun berbeda nilai-nilai dan tujuan. Pada bagian ini yang ingin saya tekankan, bahwa setiap orang memiliki konteks hidupnya masing-masing yang bisa jadi berbeda satu sama lain, oleh sebab itu melakukan pemaksaan atau mengasumsikan, memproyeksikan kejadisn yang kita alami kepada orang lain, tidak bisa dibenarkan. Jalan yang terbaik adalah saling memahami antar keduanya meski kesepakatan satu jalan hidup tidak pernah terjadi. 


Jika ada tokoh A menganggap bahwa memiliki keturunan adalah tujuannya sejak pertama kali ia dibelikan boneka oleh orang tuanya, yang artinya memiliki anak adalah keinginannya sejak lama, menjadi relevan bahwa tujuan ia berpasangan adalah untuk mempunyai keturunan, karena keinginan atau tujuannya mengarah ke sana. Berbeda halnya dengan tokoh B, ketika tokoh B tidak pernah memiliki tujuan itu, yang ada dalam cara berpikirnya adalah berpasangan dan menikmati hari-hari berdua tanpa keberadaan keturunanan, tokoh B juga tidak bisa disalahkan. Karena sejak awal tujuannya dan bagaimana ia memandang hidup sudah berbeda. Pada konteks ini mungkin tokoh B menganggap keberadaan anak menjadi beban tersendiri dan menggangu kebersamaannya dengan pasangannya, ini bisa saja terjadi. Di sisi lain, tokoh A menganggap bahwa keberadaan anak akan membawa rezeki dan kebahagiaan. Ini sama sekali tidak masuk ke dalam konteks si B, ketika si B menganggap tanpa keturunan rezekinya lancar dan justru dengan keberadaan anak, ini akan menambah tangga jawab finansialnya, dalam artian ia harus menambah peluang untuk mendapt rezeki lebih banyak.


Banyak pasangan yang tidak melakukan pertimbangan sebagaimana tokoh B, dan akibatnya, kondisi finansial memburuk, cekcok sering terjadi setiap hari, anak ditelantarkan, melakukan KDRT, perceraian, hingga pembunuhan. Dalam hal ini saya tidak berusaha mengatakan bahwa sisi lain bagus dan sisi lainnya tidak bagus. Saya hanya ingin menyampaikan fakta yang ada. Di sisi lain, tokoh B bisa jadi memilih jalan hidup seperti itu, karena memiliki rasa iba terhadap anak-anak yang ditelantarkan, atau anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang orang tuanya. Oleh sebab itu kadang ia mengorbankan keinginannya untuk punya anak dan memilih mengabdikan dirinya untuk misalnya mengadopsi anak atau menyumbangkan sebagian hartanya untuk panti asuh. Selain tujuan sosial seperti itu, keputusan si B bisa juga berdasar pada kenyamanan pribadi seperti yang telah disebutkan sebelumnya.


Keputusan si B bisa dinilai membahayakan populasi, narasi seperti manusia akan mengalami kepunahan, contoh seperti jepang dan korea utara akan dibawa dalam pembahasan. Nyatanya dalam konteks indonesia, meskipun secara angka akhir-akhir ini mengalami penurunan, justru penurunanya dianggap bagus, mengingat ini sejalan dengan konteks negara kita yang memiliki populasi penduduk terbanyak ke 4 dunia, dan juga sejalan dengan kebijakan pemerintah sejak zaman orde baru hingga sekarang, yang dibawa dengan narasi dua anak cukup dan kemudian akhir-akhir ini diganti dengan narasi dua anak sehat. Mengingat banyak anak yang mengalami stunting dan tidak mendapatkan gizi yang dibutuhkan dalam pertumbuhannya. Oleh sebab itu, ketika kita hidup dalam konteks ini, childfree menajadi pilihan hidup yang tidak mengkhawatirkan, ketika 1% orang memilih untuk tidak memiliki keturunan, masih ada mayoritas yang setiap pasangan bisa melahirkan 2 hingga 5 anak.


Kendati kedunya berbeda pandangan, mulai dari contoh pertama hingga ke empat terakhir ini, yang ingin saya tekankan dalam tulisan ini kembali lagi, keduanya tidak pernah menemukan titik temu, bahkan satu pihak cenderung memaksakan keinginannya kepada pihak lain dengan berbagai alasan. Kondisi ini tidak elok dalam kehidupan sosial kita, juga tidak elok ada di antara makhluk pandai pembelajar seperti manusia. Alih-alih saling berargumen dan mengaku paling benar, ada baiknya daling memahami dan tidak memaksakan nilai-nilai tertentu. Pada akhirnya nilai-nilai bersifat subjektif. Meskipun pada bagiannya nilai agama dibawa untuk memenuhi ego kelompok tertentu, tapi realitas membacakan sabdanya, bahwa setiap manusia memiliki kehidupannya masing-masing dengan konteks yang beragam. Pada akhirnya setiap orang tidak punya hak mengatur pilihan orang lain. Tidak ada yang berhak mengatur kebahagiaan orang lain karena setiap orang memiliki kebahagiaannya masing-masing.


Lalu jika setiap orang bebas memilih sesuatu dalam hidupnya. Apa batasan seseorang tidak seharunya memilih sesuatu, dalam pandangan ini? Jawabnnya adalah hak orang lain. Batasan dari setiap pilihan hidup antara individu satu dengan yang lainnya adalah hak masing-masing individu. Jika setiap individu memiliki haknya untuk melakukan sesuatu, individu lain dibatasi untuk mengintervensi hingga batas tertentu yang mulai 'mengangggu'. Contoh si A berhak menerapkan gaya hidup 1 dalam hidupnya, selama gaya hidup 1 itu tidak menggangu orang lain, gaya hidup si A bisa diterima. Inilah yang menjadi batasan. Apabila gaya hidup si A mulai mengganggu orang lain, pada saat itu si A menjadi tidak berhak menerapkan hal tersebut dalam hidupnya, oleh sebab itu intervensi bisa dilakukan. Tentu dengan syarat bahwa keadaan 'mengganggu' ini sesuai dengan nilai-nilai objektif. 


Misal pada waktu-waktu istirahat tokoh B membaca doa menggunakan pengeras suara, dalam pandangan yang objektif, suara bising mengganggu orang istirahat, kendati tokoh B menganggap bahwa yang dilakukannya adalah tindakan mulia, pada konteks ini tokoh B tetap 'mengganggu', oleh sebab itu akan lebih baik apabila tokoh B tidak memaksakan kehendaknya, mengingat tidak semua berkeyakinan dengan nilai-nilai yang dianut si B. Inilah bentuk objektif dari keadaan. Dengan demikian ini bukan berarti Tokoh B dilarang untuk melakukan doa-doa tersebut. Ia bisa saja berdoa tanpa menggunakan pengeras suara, atau menggunakannya di luar waktu istirahat.


Jika dalam konteks subjektif kita saling memahami dan dalam konteks faktual objektif kita mengaku salah dan meminta maaf, jika memang kita terbukti bersalah. Kehidupan yang damai akan tercapai bagi setiap golongan sakalipun hidup dengan nilai tertentu. Keangkuhan yang diberi panggung akan diwajarkan dan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, hal yang tidak adil secara objektif, tidak bisa dibiarkan. Sekalipun seseorang melibatkan Tuhan dalam tindakannya, pada dasarnya Tuhan yang dibawanya adalah egonya sendiri.



13:22

Comments