Kenapa Kita tidak Menjadi seperti Ibrahim yang Ateis?

Kenapa banyak sekali orang di luar sana yang pintar dan kritis, sudah menghatamkan berbagai jenis pemikiran dan telah mengetahui fakta teruji, masih mempertahankan cara hidup berdasarkan informasi tidak teruji dan tidak pernah berubah? Lalu apa yang salah jika secara intelektual mereka cukup untuk melakukan olah informasi dengan berpikir? Apakah karena justru terlalu sering mengumpulkan informasi tanpa diolah? Di sini kita akan mencoba menggali jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.


Pertanyaan ini selalu muncul dalam pikiran setiap kali melihat orang berpendidikan tinggi atau orang pintar yang sangat kokoh pada posisinya mempertahankan pandangan dogmatis. Dari fenomena tersebut, muncul pertanyaan seperti di atas. Itulah alasannya, beberapa waktu lalu saya mencoba menjawabnya dengan membaca beberapa jurnal dan mempertimbangkan pendapat pemikir. 


Secara sederhana saya bisa menyimpulkan bahwa orang-orang seperti ini 'dipermainkan' secara emosional oleh pendapat-pendapat yang mereka yakini. Pada dasarnya, keyakinan kuat tersebut tidak bermain di ranah pikiran, melainkan ranah emosi, itulah sebabnya sangat sulit bagi seseorang untuk 'meninggalkan' yang diyakininya, meskipun secara intelektual, orang tersebut bisa dikategorikan sebagai orang pintar. Salah satu contoh yang paling mengena adalah kejadian bom bunuh diri, secara rasional tanpa pengaruh emosional, seseorang tidak mungkin mempercayai bahwa kelak akan mendapatnya surga apabila meninggal dengan cara itu. Namun karena permainan rasa atau emosi berpengaruh dalam prosesnya berpikir, ia tidak lagi bisa mempertimbangkan pikirannya secara rasional. Mungkin dikatakan logis, iya, meskipun premis-premisnya "tidak rasional".


Tindakannya cukup logis. Narasinya seperti ini (orang yang berjihad dan meninggal akan masuk surga) "Jika ingin masuk surga, maka berjihad hingga meninggal". Karena orang ini ingin masuk surga, maka ia memutuskan mengambil tindakan berjihad sampai meninggal. Sekali lagi pengaruh emosional bermain di sini. Jika kita berpikir secara rasional yang mana juga termasuk di dalamnya menganslisis dan mempertimbangkan fakta kemudian mencoba meminimalkan perasaan, kita akan mengambil kesimpulan yang akan jauh berbeda dengan sebelum ini. Itu satu contoh terkait pengaruh permainan emosioan terhadap pilihan kita.


Kita kembali ke pertanyaan kenapa orang tidak berubah. Sebelum membaca perbagai hasil penelitian dan pemikiran orang lain terkait ini, saya menduga beberapa sebab orang-orang ini tidak bergerak. Dugaanku yang pertama, orang-orang ini secara psikologis merasa takut atas ketidakpastian kehidupan, baik di dunia saat ini dan setelah kehidupan ini. Selain itu, mereka takut dengan ancaman "hukuman siksaan" yang membahayakan dirinya, ini cukup mausiawi, ketika seseorang merasa terancam, secara otomatis ia akan memilih hal-hal yang menjauhkan dirinya dari ancaman tersebut. 


Kedua, orang-orang ini "dinyamankan" dengan keadaan karena dengan begitu saja, kebutuhan mereka sudah terasa terpenuhi dan berhenti untuk lebih mengetahui lagi. Oleh sebab itu, pencarian panjang menjadi hal yang menakutkan dan jalan yang tidak mengenakkan, maka berdiam pada posisi tertentu dan merasa cukup, adalah pilihan terbaik.


Sebelum lebih lanjut membahas alasan kenapa orang ini tidak berubah, saya ingin bahasan ini membawa kita pada pertanyaan sebaliknya, apa yang membuat orang berubah? Berdasarkan yang saya baca, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi seseorang berubah. Model atau pola perubahan ini dibangun berdasarkan pengalaman nyata mengenai perubahan itu sendiri. Meskipun pada kenyataannya kita tau tidak semua yang mengalami perubahan akan mengalami hal yang sama, mengingat setiap individu pasti memiliki pengalaman masing-masing yang unik. Paling tidak, ini menberikan gambaran kepada kita bagaimana seseorang berubah. 


Yang pertama adalah pertanyaan kritis terhadap keyakinannya, pada bagian ini, seseorang memiliki keraguan terhadap yang selama ini ia percaya dan dilanjut dengan mempertanyakannya, alih-alih hanya ragu dan diam. Orang-orang ini mencoba mempertanyakannya dan merusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, alih-alih hanya memperhatikan jawaban satu pihak yaitu dari keyakinannya sendiri, orang ini terus belajar, mempertimbangkan keyakinannya dari berbagai sudut pandang. Pembelajaran dan penggalian informasi terus dilakukan untuk mendapatkan jawaban yang objektif dan tidak tendensius. 


Selain itu, ada faktor kedua yang juga terkait, yaitu perkembangan diri, ini bisa dilihat dari bagaimana seseorang mencoba mengeksplor keyakinanya dan sudut pandang lain, hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa kepercayaan diri, perkembangan diri yang dilakukan seseorang untuk bisa mandiri dan terlepas dari pengaruh emosional kepercayaannya dan mengeksplor tidak hanya keyakinannya dan terkungkung denganya tapi juga mencoba lebih bijak dan adil kepada informasi lain. Orang seperti ini mencoba mendekati ide-ide baru untuk membuka wawasannya. 


Umumnya tidak hanya memperluas cara berpikir, tapi juga memperluas lingkar sosialnya misal yang awalnya hanya mengenal orang-orang di lingkaran A, kemudian ia mencoba mengenal orang-orang di lingkar Z, yang berposisi sangat jauh dari A jika dilihat dari urutan alfabet. Itu gambaran bagaimana seseorang ini memperluas lingkar sosialnya, dan kepercayaan diri memperkuat dirinya untuk tidak merasa takut dan merasa berdosa misalnya untuk mengenal hal-hal baru dalam hidupnya.


Faktor ketiga yaitu pengalaman negatif atau ketidakpuasan dengan kepercayaannya. Hal-hal ini umumnya didapat ketika seseorang melihat realitas dan berusaha membandingkan dengan yang ada dalam keyakinannya. Misal ketika banyak orang mengajak pada kebaikan dan menjelaskan pentingnya kebaikan tersebut, kepercayaan ini disebarluaskan namun nyatanya yang terjadi adalah korupsi di mana-mana, tindak kekerasan dan ketidakadilan terjadi. Realitas inilah yang mempengaruhi pemikiran individu. Hal ini tidak rerlepas dari aksesibilitas informasi melalui internet, ketika orang-orang dengan mudah mendapatkan informasi terkait hal-hal yang terjadi di sekitarnya dengan lingkup yang lebih luas.


Ketiga faktor ini bukanlah fase yang dialami bergantian, melainkan terjadi bersamaan dan saling berpengaruh. Dengan ketiga landasan ini, seseorang dapat berubah. Mungkin orang-orang yang pintar dan kritis telah meragukan dan mempertanyakan keyakinanya, tapi bisa sangat mungkin hanya sebatas itu, tidak dilanjut dengan eksplorasi dari berbagai sisi, karena secara emosional terikat dengan kepercayaannya, baik merasa takut atau seperti dugaan saya di atas, mereka merasa nyaman dan cukup dengan posisinya saat itu. Begitu juga jika yang terjadi hanya fase merasa tidak cukup dengan keyakinannya namun tidak dibarengi dengsn meragukan dan mempertanyakannya. Dengsn demikian, perubahan tidak akan terjadi.


Berikutnya kita akan kembali ke pertanyaan awal, kenapa orang dengan intelektualitas yang dianggap tinggi, justru cenderung tidak berubah dan mempertahankan keyakinannya. Saya pernah menulis tentang ini, tapi bahasannya lebih kepada cara berpikir orang exact yang hitam putih. Di sini saya tidak akan membahas itu lagi, tulisan ini lebih kepada alasan-alasan atau faktor yang membuat orang-orang ini tidak berubah. Pada dasarnya inti dari dua pertanyaan ini sama, antara pertanyaan "kenapa berubah?" dan "kenapa tidak berubah?" Keduanya mengarahkan kita pada hal-hal yang sama dan berkaitan. Ini saya lakukan bukan untuk membuat membingungkan pembaca, tapi dilakukan dengan tujuan merangkul posisi dan pengulangan. 


Maksud merangkul posisi adalah, jika seseorang tiba pada pertanyaan "kenapa berubah" ini posisi pertama, dan posisi kedua seseorang tiba pada pertanyaan "kenapa tidak berubah" Kedua posisi ini sama-sama mendapat jawaban dalam tulisan ini. Alasan kedua adalah pengulangan. Karena pada dasarnya jawabannya sama namun dilihat dari perspektif yang berbeda, maka pengulangan terjadi di sana, meskipun dengan kata-kata yang berbeda. Misal kenapa berubah? Karena merasa "berani, percaya diri", seperti yang dijelaskan sebelum ini. Kenapa tidak berubah? Karena merasa "takut" siksaan atau dosa, seperti yang juga sudah saya singgung di atas, atau sebaliknya. Mungkin itu saja untuk memperjelas posisi tulisan ini. Berikutnya seperti yang sudah saya sebut, kita kembali ke pertanyaan kenapa tidak berubah?


Seperti juga sebelumnya dijelaskan, bahwa beberapa faktor sangat berpengaruh dan saling berkaitan. Satu faktor saja saya rasa tidak cukup, mengingat perubahan adalah lorong panjang dan gelap. Ini sangat menakutkan untuk orang-orang yang tidak berbekal cukup. Terlebih, pembatalan-pembatalan terhadap setiap niat perubahan membuatnya menjadi semakin sulit untuk didapat, karena 'ketidakjelasan' langkah yang akan diambil selanjutnya menanti di depan sana.


Faktor pertama yang menyebabkan seseorang tidak berubah adalah faktor perasaan nyaman, ini seperti yang menjadi dugaan saya di atas, saya akan mencoba menjelaskannya sedikit lebih jelas di bagian ini. Mereka merasa nyaman dengan apa yang saat ini mereka yakini, terlepas dari yang diyakini adalah kebenaran atau bukan. Contoh dengan meyakini sesuatu seseorang bisa mendapatkan ketenangan. Misal tentnag masa depan, masa depan adalah sesuatu yang gelap dan belum jelas, orang-orang bertanya dan bahkan ketakutan, dengan keyakinan bahwa di masa depan ada A, B dan C, itu akan membuatnya jauh lebih tenang daripada tidak mengetahui apapun. 


Oleh sebab itu seseorang mungkin merasa nyaman dengan pemikiran yang sudah dimilikinya dan merasa bahwa itu adalah cara yang benar untuk memandang dunia. Sehingga, mereka tidak merasa perlu atau terdorong untuk mengubahnya. Belum lagi jika dengan percaya itu, ia akan tetap bersama dengan orang-orang yang sama, satu keyakinan dan ia merasa aman dengan kelompok itu. Ini juga terkait dengan sifatnya yang tidak ingin 'sendiri' dan selalu ingin berkemlompok. Apalagi jika dalam kelompok tersebut, tersedia hal-hal dasar yang dibutuhkannya untuk bertahan hidup, pada akhirnya nalurinya untuk berkelompok makin kuat.


Kedua, ada kemungkinan bahwa orang tersebut telah mengalami konfirmasi bias, yaitu mereka mencari informasi yang mengkonfirmasi keyakinan mereka dan mengabaikan informasi yang bertentangan. Ini berkaitan dengan fsktor yang di sebutkan di atas, bahwa orang-orang ini tidak berusaha mencari informasi lebih luas di luar lingkarannya, tidak berani mengambiil tindakan mempelajari ide lain dan segala macamnya. Yang dilakukan, alih-alih mencoba mengetahui hal baru atau bahkan yang bertentangan dengan keyakinannya saat ini, orang sepertinya justru mencari 'pembenaran-pembenaran' atau konfirmasi serupa, dengan yang diyakininya. Menurut seorang yang paham neurosains, hal ini sejalan dengan cara kerja otak manusia, di mana seseorang selalu mencari informasi yang serupa, alih-alih yang bertentangan.

Ini dapat membuat orang-orang ini semakin kuat dalam keyakinan asli mereka dan sulit untuk berubah. Kendati seseorang tersebut mempelajari hal-hal lain, namun kondisi yang menjadi faktor di atas tidak ada, mereka tidak akan memiliki 'keberanian' untuk menghayati yang lain, meskipun pada kenyataannya, misal hal lain tersebut jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan daripada keyakinannya.


Terakhir, perubahan adalah proses yang sulit dan memerlukan usaha besar. Orang mungkin memiliki keinginan untuk berubah, tetapi tidak tahu dari mana harus memulainya atau takut kehilangan identitas diri mereka jika mereka mengubah pemikiran mereka. Ini sudah disinggung beberapa kali di atas, tapi perlu ditekankan bahwa tidak bisa dikatakan jarang, ketidaktauan menjadi bagian dari faktor penghambat orang berubah, dan menjadi tidak berubah sama sekali. Kendati demikian, penting juga bagi kita untuk mempertimbangkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk memilih pemikirannya sendiri, meski kadang "ketidaktahuannya" membuat kita mungkin tidak selalu setuju.


Ketika orang-orang ini tidak berusaha mempromosikan ketidaktahuannya dan meromantisasi keadaannya, agaknya tidak akan menjadi masalah besar. Namun apabila yang terjadi sebaliknya, pada bagiannya akan tercipta kelompok ignoran dan intoleran. Ini yang menyebabnya ketidakalilan muncul. Ini bertentangan dengan semangat tulisan saya sejak awal bahwa, pemikiran yang terbuka akan menbawa keadilan. Inilah yang menjadi tantangan saya. Bagaimana saya bisa membangun dialog yang sehat dan saling menghormati, tanpa menghakimi atau memaksakan pandangan saya pada orang lain. Pada akhirnya tulisan ini hanya ingin membawa pilihan-pilihan yang umumnya tidak dikenal dan tidak pernah dipilih.


Itulah beberapa faktor yang menyebabkan orang berubah maupun tidak berubah. Tulisan ini terbuka atas koreksi, tujuannya supaya tidak bertentangan dengan maksud atau spirit tulisan ini, agar selalu ada perubahan yang terjadi. Oleh sebab itu, koreksi atas kesalahan-kekeliruan, sangat diterima. Pada akhir tulisan pada dasarnya saya ingin menulis bagaimana cara berubah. Terdengar cukup teknis dan membosankan. Saya juga tau tidak semua orang akan mengalami perubahan yang sama dan dengan jalan yang sama. Tapi paling tidak saya menyampaikan apa yang telah saya alami. 


Saya tidak akan menyampaikannya terlalu detail, saya hanya akan memberi gambaran umum saja. Pertama saya berada dalam kondisi konservatif terhadap apa yang saya percaya artinya hanya menerima yang sejalan, tidak ada perubahan. Kedua mulai mendekonstruksi apa yang saya percaya, dengan kata lain meragukan. Ketiga mempelajari keyakinan saya, bukan hanya dari yang sejalan, tapi mencoba melihat sisi lain. Keempat mempertanyakan apa yang sudah dipelajari. Kemudian yang terakhir, rekonstruksi dengan pemahaman lebih baru. Ini bukan satu jalan dari ujung A ke ujung B dan selesai, melainkan sebuah jalan tak berujung yang selalu diperbaharui. Dengan artian ketika sampai pada pemahaman baru, keterbukaan atas koreksi selalu ada, dengan harapan, pintu-pintu kebenaran terbuka.


00:07

Comments