Cara Menjadi Manusia

Kalau pernah membaca tulisan saya sejak lama, tentu bukan tulisan saya pas zaman main facebook ya :v, pasti gak akan terkejut dengan topik-topik semacam ini. Ya sekarang, saya akan berusaha mencoba menjelaskan bagaimana dogma mempengaruhi hidup kita dan sikap apa yang seharusnya kita ambil paling tidak dilihat dari kacamata kemanusiaan.

Pertama, dogma itu apa? Untuk menjawab itu, saya harus tarik dulu pada zaman di mana mitos atau cerita tak berdasar, diyakini sebagai kebenaran. Mulanya, karena pengetahuan kita tidak secanggih sekarang, teknologi juga tidak semaju sekarang untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan, jadi manusia menjawab segala sesuatu dengan mitos. 

Misal mitos yang melekat di masa kecil anak-anak Indonesia paling tidak di sekelilingku adalah, kenapa ada gemuruh guntur dan petir? Jawaban kita, malaikat sedang bertarung melawan entititas jahat. Ketika bertumbuh besar dan mengenyam pendidikan, kita mendapat penjelasan berbeda mengenai guntur dan petir.

Sama seperti kondisi itu, orang-orang zaman dulu juga belum tau jawaban yang sebenarnya terhadap berbagai fenomena di bumi. Di sanalah mitos-mitos tercipta. Seiring berjalannya zaman kita belajar. Kita banyak belajar. 

Namun ada sebagian manusia yang berkembang sebaliknya, alih-alih mempelajari yang baru dan meninabobokkan yang lama, justru memelihara yang seharusnya tidak dipelihara hingga saat ini. Mitos-mitos ini menjadi kuat dan menempati posisi tidak boleh dibantah. Dipercaya sepenuh hati, diyakini sebagai kebenaran. Nah inilah yang saya sebut dogma itu. Keberadaan tidak teruji, tidak dicek.

Saya berpendapat selagi dogma tidak merugikan manusia lain selain yang mempercayai, menurut saya sah saja ia tetap ada. Tapi jika keberadaannya mengancam orang lain, orang-orang yang mempercayai agaknya perlu segera melupakannya, dan tentu saja selalu ingat bahwa yang dipercayainya mengancam kemanusiaannya sendiri.

Kalau masih bertanya-tanya memang apa dampak buruk dogma, mitos, dan pernyataan tak berdasar bagi kehidupan bermanusia? Jawabannya Israel. Meskipun banyak yang bilang ini bukan konflik agama, tapi sekeras apapun menolak, salah satu motif genosida itu adalah 'kembali ke tanah yang dijanjikan Tuhan.' saya tidak berkata bahwa dogma ini salah. Tapi bagaimana dogma ini digunakan untuk melumpuhkan kemanusiaan, adalah tindakan yang tidak benar.

Saya sangat kagum dengan orang-orang yang entah bagaimana bisa keluar dari pola pikir zamannya, berdiri sebagai pribadi yang mandiri dan adil melihat kenyataan kehidupan. Salah satu contohnya Kant, seorang filsuf eropa yang gak perlu aku jelaskan lagi, bisa cek di google. Meskipun sepanjang hidupnya ia menjadi pendukung rasisme ilmiah, namun pada akhir hidupnya pandangan Kant tentang ras berubah, pada akhirnya ia menolak hierarki rasial dan kolonialisme eropa.

Saat itu mungkin ia sadar, bahwa pandangannya, keyakinannya tentang ras bertentangan dengan akal budinya, sebagai makhluk yang berakal. Jika keyakinan Kant terus dipertahankan, ia mungkin menjadi manusia yang tidak adil sepanjang hidupnya. Ia hanya memandang kehidupan dari sisinya sebagai ras yang diuntungkan.

Dan jika ia mempertahankan itu, kemungkinan terburuk adalah banyak yang akan terinspirasi darinya dan merasa telah melakukan kebenaran atas nama ras, merasa mendapat legitimasi untuk memenggal kemanusiaan. Meskipun yang terjadi sebenarnya adalah ia melukai kemanusiaannya sendiri, ia merasa bangga.

Lalu pertanyaannya, bagaimana kita keluar dari dogma yang mengakar sangat kuat di masyarakat sebagaimana yang dilakukan Kant? Jawabanya adalah kembali kepada diri kita sendiri. Menyadari diri kita sebagai manusia yang berpikir, mempertimbangkan segala sesuatu dengan pikiran yang tidak terpengaruh tendensi apapun. Merelakan diri kita berjabat tangan perpisahan dengan dogma yang keberadannya agaknya tidak perlu didukung lagi.

Sekali lagi, dogma yang tidak mengancam kemanusiaan atau bahkan justru mendukung kemanusiaan, sangat perlu dipertahankan. Sejauh apapun kita melankah bersama dogma jika kita memposisikan diri kita tetap sebagai manusia, kita akan bisa mengukurz mana dogma yang seharusnya tetap ada dan tidak.

Pertimbangan-pertimbangan logis dibutuhkan. Mengenai pemikiran logis, banyak yang berpendapat ini produk barat, tentu saja tidak, saya bisa menjawab dengan pasti. Jika kita memahami diri kita, pikiran kita, kita akan sadar bahwa cara kita berpikir, adalah nilai-nilai logika. Meskipun pada bagian tertentu kadang kita terpengaruh emosi yang ada dalam diri kita, sebagai manusia yang berperasa.

Namun bagaimanapun, logis itu diperlukan. Bahkan argumen metafisika harus logis untuk bisa dipertahankan. Banyak contoh yang bisa kita ambil dari filsuf masa lalu, orang-orang yang mengutamakan kemanusiannya, meluangkan waktunya untuk menemukan jalan terbaik dalam menyikapi dogma yang diyakininya.

Namun, berbicara logis tidak semuanya adalah fakta. Jika seorang jihadis berpikir bahwa jika ia mati akan mendapatkan surga, kemudian dia memilih mati. Tindakannya memilih itu adalah tindakan logis. Ia mati karena menginginkan surga. Tapi argumen atau pikirannya tidak sesuai fakta dan merusak kemanusiaannya.

Fakta, kita alihkan pembahasan ini ke informasi yang disebut sebagai fakta. Informasi disebut fakta apabila informasi tersebut benar-benar ada dan terjadi dalam kehidupan nyata kita ini. Saya selalu menggunakan frasa 'kehidupan nyata' dalam setiap tulisan saya tentang ini untuk membedakan mana yang hanya ada dalam pikiran kita dan mana yang benar-benar ada dan terjadi.

Tentu kita meyakini yang ada dalam pikiran kita saja tidak masalah, itu yang tadi sudah kita sebut dogma. Tapi, dalam menghadari kehidupan nyata kita ini, segala sesuatu tidak bisa sejalan dengan yang ada dalam pikiran kita saja. Untuk membuatnya sejalan, kita harus mengusahakan kehidupan nyata kita ini. Dalam tradisi filsafat ini disebut materi, yang kemudian melahirkan materialisme.

Materi inilah fakta, fakta ini yang kemudian diberitakan dan menjadi sains. Informasi-informasi yang sudah dilakukan pengecekan dan benar adanya, pengecekan dilakukan oleh makhluk nyata yang hidup di dunia nyata. Seorang manusia yang menjelaskan dunia ini apa adanya, bukan menyediakan penjelasan dari dalam pikiran kita untuk dunia ini.

Dari sini kita dapat dua hal, kita menjelaskan dunia (fakta) dan kita menyediakan penjelasan untuk dunia (dogma). Atau dengan kata lain, pertama yaitu informasi yang dicek dan memang sesuai apa adanya dan informasi yang tidak dicek, keberadaannya berusaha diadakan.

Sekarang kita tau kedua hal ini, saya harap pembaca memahaminya. Setelah kita tau ini dan bagaimana ini berpengaruh dalam kehidupan kita. Agaknya akan lebih bijak apabila kita mengambil sikap, bukan membiarkannya hidup dalam dunia pikiran kita saja. Apa sikap yang baik yang harus kita lakukan?

Yang pertama dan utama tentu saja, sekali lagi ini bukan merendahkan pihak manapun, saya hanya berusaha menjelaskan hal-hal dari kacamata kemanusiaan. Saya tidak ingin terlalu teknis karena setiap orang memiliki caranya masing-masing. Tapi paling tidak ini yang saya lakukan. Pertama yang saya lakukan adalah meragukan, lalu mempelajari ulang yang saya ragukan.

Misal saya tau bahwa es krim itu enak. Kemudian saya meragukannya, apakah es krim memang enak? Pada saat tententu mungkin saya akan makan es krim berlebihan, karena enak. 

Tapi karena saya meragukannya dan mencoba mengetahui lebih banyak terkait es krim tersebut, saya mengetahui fakta bahwa ternyata es krim yang dimakan berlebihan tidak baik untuk tubuh kita. Dari sana saya mengetahui fakta di balik dogma es krim enak yang melalaikan.

Kira-kira itu yang bisa kita lakukan untuk mengahadapi kehidupan nyata kita ini. Untuk menciptakan dunia yang lebih manusiawi untuk ditempati.


17:53

Comments