Bahasa, Agama dan Derrida

Kali ini saya akan menyoal teks, bagaimana teks, atau bentuknya yang terkecil seperti kata, frasa, klausa dan kalimat digunakan dalam kehidupan manusia. Bagaimana sebuah kata memiliki makna tertentu, keberadaannya dimaksudkan untuk merujuk sesuatu, baik tindakan, benda, sifat sesuatu dan lain-lain.


Bahasa dikenal sebagai simbol bunyi yang mempersatukan manusia, pikiran manusia atau perasaannya. Keberadaan bahasa sangat penting bagi manusia. Bahasa yang memepersatukan manusia antar beragam kemanusiaan dan antara generasi. Ide cemerlang disampaikan dengan bahasa, dari generasi ke generasi di dalam peradaban manusia.


Mula-mula manusia berkomunikasi menggunakan bunyi, pada rentang waktu berikutnya manusia mulai membuat simbol untuk bunyi-bunyi yang mereka gunakan dalam berkomunikasi. Seiring berjalannya waktu, manusia tidak hanya menggunakan bahasa sebagai alat tukar informasi. Tapi juga digunakan untuk 'bermain-main' dengan bahasa. Dengan kata lain berkarya menggunalan bahasa.


Pada titik tertentu dalam peradabannya, manusia menggunakan bahasa untuk bersenang-senang, mengekspresikan dirinya, melampiaskan emosi dan lain-lain. Bentuk-bentuk ini kemudian kita kenal sebagai puisi, cerita rakyat atau juga fabel.


Di sisi lain, bahasa juga digunakan untuk menyampaikan kalam suci, atau yang disucikan seperti petuah-petuah leluhur, nabi, dewa atau firman entitas tertinggi yang kemudian disebut Tuhan dan lain sebagainya.


Itu sedikit tentang bahasa berdasarkan yang saya ketahui, sebelum lanjut saya ingin menegaskan bahwa tulisan ini terbuka atas koreksi. Karena pada dasarnya tulisan ini adalah karangan lepas namun bukan berarti fiktif. Namun pembuatannya tidak melibatkan pengecekan berulang. 


Untuk memperjelas posisi tulisan ini dan tulisan saya lainnya, saya tidak pernah mengklaim kebenaran apapun. Hanya ingin berbagi yang saya tau dan bagaimana saya memandang yang telah saya ketahui.


Kita kembali ke pembahasan teks, kita tau bahwa teks adalah sebuah tulisan yang memuat sebuah ide atau gagasan dari seseorang. Seperti yang sudah disebutkan di atas, ada beberapa komponen yang menyusun sebuah teks untuk menampilkan satu gagasan utuh. Komponen terkecil yang memiliki makna adalah kata.


Dalam satu kata, umumnya memiliki atau terkandung beberapa makna, contoh kata 'get' dalam bahasa inggris jika diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia akan bermakna, mendapatkan, mengambilkan, menjemput, mengerti atau paham, menjadi, tiba, meraih, menjemput dan sederet makna lainnya.


Makna kata get ini, tergantung konteks yang ada dalam sebuah kalimat. Di mana kata tersebut di disandingkan dengan kata-kata lain untuk membentuk satu pikiran. Contoh dalam kalimat We need three hours to get to Surabaya from Probolinggo, dalam kalimat ini get bermakna tiba, karena bersanding dengan kata lokasi, atau nama tempat. Artinya tiba di tempat tersebut. 


Sedangkan dalam kalimat seperti I get this gift, makna kata get dalam kalimat ini adalah mendapatkan, karena bersanding dengan kata yang menyimbolkan suatu benda, yaitu gift atau hadiah atau kata lainnya kado, kemudian. Kata gift ini, berbeda dengan reward, meskipun pada konteks tertentu maknanya mungkin sama, hadiah, tapi makna hadiah yang terkandung dalam kata reward lebih kepada sesuatunya yang abstrak, atau tidak berbentuk, seperti hadiah pahala atau pujian.


Itulah berbagai contoh mengenai kata dan makna. Ini hanya berbicara tentang kata, yang merupakan salah satu komponen teks yang sudah disebutkan sebelumnya. Dalam kata kita bisa menemukan banyak makna, ini terjadi berdasarkan pengaruh dari kata lain di sekitarnya, yang membentuk konteks. 


Bagaimana jika kita membahas frasa, kumpulan 2 atau lebih kata yang membentuk satu makna tunggal, keberadaan kata satu dengan lainnya sangat terikat, jika tidak, maknanya akan berbeda, contoh frasa "rumah hantu" dua kata ini tidak bisa dipisah, jika dipisah maknanya akan berbeda karena setiap kata memiliki maknanya sendiri, yang pertama yaitu rumah yang bermakna tempat tinggal dan yang kedua adalah hantu, makhluk yang tak terlihat, sedangkan frasa rumah hantu, bermakna wahana wisata bertema hantu atau rumah terbengkalai dan rumah berhantu. Itulah makna yang terkandung dalam frasa rumah hantu.


Kemudian bagaimana dengan klausa? Berbicara tentang klausa tidak terlepas dari pembagian klausa, sebut saja klausa independen dan klausa dependen atau tidak terikat dan terikat. Satu contoh terkait klausa saya ambil dari klausa dependen (klausa anak). Keberadaan klausa dependen sangat bergantung pada klausa induknya, karena keberadaanya sangat terikat.


Contoh dalam kalimat when it was raining yesterday, i ate hot noodles. Ketika kemarin sedang hujan, saya makan. Klausa "ketika kemarin sedang hujan" sangat bergantung pada klausa I ate hot noodles. Karena, jika klausa i ate hot noodles berdiri sendiri, maknanya masih bisa diterima pembaca. Sebuah informasi bahwa seorang subjek makan mie pedas. Berbeda dengan klausa when it was raining, 'ketika sedang hujan' ia membutuhkan informasi tambahan. Ada informasi menggantung, yang disampaikan hanyalah kondisi atau waktu tentang sesuatu, namun yang menjadi inti gagasan tidak tersampaikan.


Bagaimana kalau kita membahas kalimat, sebuah bentuk yang lebih besar dan kompleks dari sebuah bahasa. Kalimat-kalimat dalam sebuah paragraf sangat terkait satu dengan lainnya, bisa jadi apabila sebagiannya dihapus, akan menimbulkan makna yang berbeda, atau gagasan yang berbeda. Contoh dalam penggalan paragraf seperti, "saya punya semangka berwarna kuning dan merah, semangka pertama berwarna kuning dan tidak memiliki biji, sehingga sangat mudah dimakan." 


Jika penulis paragraf memenggal paragraf pada bagian itu saja, dan tidak menyertakan penjelasan tentang semangka merah, banyak asumsi yang bisa diambil dari ketidaklengkapan tersebut. Salah satunya yang terburuk adalah bisa saja pembuat paragraf berbohong bahwa ia punya semangka merah, oleh sebab itu terkesan menghindar untuk menjelaskannya, karena mengarang tentang sesuatu yang tidak ada, sangat sulit baginya. Ketidaklengkapan tersebut mengandung banyak interpretasi. Bisa saja pengarang paragraf benar memiliki semangka merah namun tidak menceritakannya karena beberapa alasan.


Dan sebagai penjelasan, bahwa pembuatan kalimat yang sempurna untuk menggambarkan gagasan dalam pikiran manusia, tidak pernah bisa dilakukan. Sesuatu yang ada dalam pikiran tidak bisa digambarkan secara persis ke dalam bahasa. Bahasa kita terbatas. Oleh karenanya, orang-orang seperti sufi yang ditanya tentang keberadaan Tuhan dan apa entitas yang kita sebut Tuhan itu, tak jarang mereka diam tak memberi jawaban, bahkan berkata "tidak ada", karena entitas tersebut terlalu kompleks untuk dijelaskan dengan bahasa-bahasa kita yang terbatas.


Oleh karenanya multitafsir selalu mewarnai keseharian kita dalam berbahasa. Kendati kita bisa menyampaikan gambaran ide dalam pikiran kita, detail terkecil kadang luput dan tidak pernah dijelaskan dengan sempurna.


Berdasarkan kasus-kasus yang sudah saya sebutkan di atas, mulai dari komponen terkecil bahasa yang juga memiliki berbagai ketidakpastian, tidak memiliki sesuatu yang jelas pada dirinya sendiri, ia terikat dengan keberadaan komponen lain. Hingga pada sesuatu yang lebih kompleks seperti teks. Hal-hal ini mengantarkan saya pada pikiran bahwa bahasa memang tidak pernah sepasti ilmu exact.


Belajar dari keluhan peserta didik saya ketika diberi Tugas tentang analisis puisi, mereka kwalahan dalam mengahdapi "ketidakpastian bahasa". Mereka dibuat bingung olehnya. Meskipun saya berkali-kali meyakinakan mereka bahwa bahasa memang seperti itu, tidak pernah ada yang salah dalam penafsiran, semua pendapst dihargai karena berasal dari pikiran mansuia yang berbeda dan beragama juga, penafsirannya mengalir sesuai pembaca, latar belakang pembaca dan apa aktivitas yang dilakukan pembaca. Saya meyakinkan bahwa tidak apa-apa menjadi liat dalam memaknai bahasa, saya berkata, bebaskan diri kalian masing-masing. Namun mereka tidak bisa melakukan itu, saya mengerti bahwa pada dasarnya manusia memang merindukan kepastian.


Dari berbagai kasus yang sudah saya alami baik dalam belajar bahasa dan mengahadapi respon pembelajar bahasa tentang ambiguitas bahasa, saya menjadi semacam penerima dengan lebih melapangkan dada bahwa terkait keberagaman bahasa, kita tidak bisa memperlakukannya sebagaimana mengahadapi ilmu pasti.


Pikiran ini menjadi lebih kokoh dan terafirmasi sejak saya mengetahui pendapat senada dengan menjelaskan yang lebih sistematis terkait bahasa dari seorang filsuf Prancis bernama Jacques Derrida. Tidak hanya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang diceritakan seperti tulisan ini, tapi berupa analisis yang tajam terkait ketiadaan ketunggalan makna.


Dalam pandangan Derrida, bahasa memiliki sifat ambiguitas dan ketidakpastian, sehingga pemahaman dan interpretasi terhadap suatu teks selalu terbuka untuk perubahan atau penyimpangan.


Selain itu, derrida berpendapat bahwa kepastian dalam bahasa pada dasarnya tidak ada, dengan demikian derrida sangat menghargai kekhususan, keunikan, unik dalam makna buruk atau baik mendapat tempat. Tidak ada ukuran kebenaran pasti dan tuntas, terkait juga dengan penafsiran bahasa pada khsusunya, oleh sebab itu pluralitas mendapat tempat dan penerimaan yang sangat tinggi.


Derrida dikenal dengan konsep dekonstruksi di mana pendekatan kritis terhadap bahasa dilakukan. Aturan-aturan pasti dalam bahasa tidak memberikan gambaran terhadap bahasa itu sendiri secara keseluruhan, aturan bahasa justru memberi ruang sempit atas interpreasi yang bahkan bisa berukuran lebih besar dan beragam daripada ruang-ruang yang disediakan oleh aturan.


Lebih lanjut, derrida memberikan gambaran bagaimana bahasa menjadi wahana utama pikiran manusia. Di mana nilai-nilai lain terkandung didalamnya dan menjadi konteks atas ujaran-ujaran bahasa. Pada bagiannya bahasa mempengaruhi bagaimana seseorang mendefinisikan sesuatu. Contoh ketika kita berkata 'laki-laki' hal-hal yang tertanam dalam kata ini menjadi kacamata bagaimana kita melihat dunia, ketika mendengar kata itu, yang tergambar adalah makhluk yang lebih kuat dari wanita, sistem patriarki terlibat dalam kata laki-laki tersebut. Derida menolak pandangan tafsir tunggal dan tertutup atas berbagai kemungkinan yang bebas.


Bagaimana kita memandang hidup, dengan demikian juga terpengaruh oleh bahasa. Oleh sebab itu cara kita mendefinisikan sesuatu menggunakan bahasa yang tertutup dalam hal penafsiran, menjadi tidak adil. Bahasa harus bebas dari kekakuan untuk bisa memberikan kemungkinan gambaran yang lebih mendekati terhadap realitas kehidupan kita. 


Menurut saya, derrida sedang memberikan ruang yang lebih luas dalam menjelaskan dunia, ia tidak memberikan penjelasan kepada dunia dengan aturan-aturan yang kaku yang telah dibangun sebelumnya. Oleh sebab itu dia dikenal dengan konsep dekonstruksi.


Penjabaran saya di atas tentang pemikiran derrida sekali lagi terbuka atas koreksi, tulisan ini secara keselurhan terbuka atas koreksi, lebih khusus ulasan saya terkait pemikiran derrida bisa sangat mungkin salah, oleh karenanya secara khusus saya menekannya pada bagian ini, bahwa ini terbuka atas koreksi.


Mari kita lanjut, dari pembahasan bahasa yang dibawa oleh derrida, juga berimplikasi pada bagaimana kita memandangan dunia. Bagaimana kita memandang diri kita, memandang masyarakat, memandang hasil karya diri kita sebagai kesatuan dengan masyarakat yang kemudian melahirkan budaya. Bagaimana kita berinteraksi satu sama lain dan juga dengan lingkungan kita. Ini semua sangat dipengaruhi oleh bahasa.


Pada bagiannya, ada masa di mana sebuah buku menjadi pandangan hidup, kita meminjam nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan bagaimana nilai tersebut mempengaruhi kehidupan kita. Mulai dari cara kita makan dan makanan apa yang harus kita makan, sehingga pada aktivitas yang bernilai lebih, seperti ibadah.


Keberadaan bahasa sangat berpengaruh kepada kondisi manusia. Terutama bahasa yang ditinggikan posisinya, katakanlah bahasa yang disebut sebagai perkataan dari pencipta, esensi tunggal dan berkuasa. Nilai-nilai bahasa tersebut menjadi lebih kaya dan terpercaya.


Sehingga pada titik tertentu ada orang-orang tertentu dan hanya orang-orang dengan kualifikasi tertentu tersebut yang memiliki kesempatan untuk menafsirkannya. Karena di atas telah disinggung bahwa bahasa merupakan pusat berpikir, nilai-nilai dalam kalam selalu menyesuaikan atau disesuaikan dengan kebutuhan dalam menjelaskan realitas.


Keberhakan seseorang melakukan tafsir berdasarkan kualifikasi yang dimilikinya adalah posisi hirarki. Dengan kata lain hal ini memunculkan kelas-kelas seperti ada yang bisa menafsikan dan ada yang tidak bisa.


Pandangan yang seperti ini yang pada bagiannya bisa disalahgunakan oleh kekuasaan, oleh sebab derrida mengkritik kekakuan bahasa yang dianggap memiliki kepastian.


Perkataan dalam tulisan ini yang mengkaitkan pemikiran derrida dengan "perkataan langit" tentu tidak disampaikan langsung oleh derrida, ini hanya murni gambaran atau tafsir saya terkait pandangan derrida tentang pentingnya mempertanyakan struktur kekuasaan dan mencari alternatif yang lebih inklusif dan adil. Dengan kata lain derrida mengajak kita untuk mempertanyakan paradigma yang dominan dalam masyarakat.


14:40

Comments