Sampai Batas Mana Kita Mempertahankan Keyakinan Kita?

Pendapat dan penghakiman itu berbeda. Pendapat menjadi suatu pendapat kalau punya argumentasi yang jelas, bukan berlindung di balik circular reasoning (sesat pikir berisi argumen yang berputar-putar tanpa ada pembuktian yang jelas). 


Contoh dalam konteks ini, ketika memandang sebuah masalah dalam sudut pandang dogmatis. Argumen yang selalu dipakai seperti "Sudah jelas-jelas agama bilang A, B dan C." 


'Jelas-jelas' itu sendiri tidak memiliki definisi yang jelas, parameternya tidak ada. Hanya berdasarkan pendapat dogmatis. Agama yang kita yakini adalah hasil tafsir, dan ketika berbicata tafsir, tidak ada satu metode sempurna menyamai kesempurnaan Tuhan, metode menafsir agaknya pun berbeda-beda dan berkembang. Terbukti muncul banyak berbeda pendapat bahkan dalam satu agama atau aliran.


Tafsir pada kesempatan tertentu dengan kepentingan tertentu menggantikan nabi, dan seiring waktu juga sampai batas tertentu menggantikan hati nurani. Seseorang tidak lagi berpikir untuk dirinya sendiri apa yang benar dan baik, dan hanya bertanya, apa yang dikatakan oleh hukum?


Saya percaya bahwa agama tidak untuk diperdagangkan atau diperlakukan sesuai keinginan individu atau kelompok tertentu. Tapi untuk diterapkan dalam hidup dengan pemahaman yang holistik terhadap zaman.


Kenyataan bahwa kompleksitas kehidupan manusia dan segala keanehan yang diciptakan tidak bisa dikotak-kotakkan. Pemahaman superfisial tentang pikiran dan perasaan manusia yang kompleks tak terelakkan dalam memahami makna hidup. 


Semakin banyak mengetahui berbagai sudut pandang, semakin sadar bahwa kehidupan tidak berbentuk kotak-kotak. Hidup ini seperti lingkaran, garis potong simetrisnya berjumlah tak terhingga.


Saya juga yakin dalam beberapa bagian tertentu dalam kitab suci, kita diperintahkan untuk berpikir secara independen tanpa tendensi. Bahkan dalam Islam ada sebutan khusus untuk orang yang mau berpikir.


Keterbukaan untuk belajar sudut pandang orang lain selalu terbuka, misal mempelajari agama lain sangat dianjurkan untuk mendapatkan katamata yang pas dalam melihat sesuatu. Dalam Islam hal baik dari luar islam disebut hikmah.


Kita harus melihat seringkali sesuatu itu menjadi benar bukan karena terbukti benar, melainkan karena diyakini benar. Kita kembali ke alam nyata kita. Misal kenapa air bisa mengalir, jawaban objektifnya adalah karena permukaan tanah yang dilalui air miring, oleh sebab itu air mengalir. Ini bisa kita amati keberadaannya. Berbeda dengan pendapat bahwa kenapa air ini mengalir? Karena kitab A mengatakan air harusnya mengalir.


Kita harus membedakan mana yang benar sebagaimana adanya dan mana yang mendapat bias dogmatis, emosi dan sebagainya. Contoh lain mungkin seperti ini. 


Ada seorang anak sebut saja A, secara objektif ia tidak pernah melakukan kesalahan apapun, berdasarkan aturan moral tertentu. Namun karena ada tetangganya yang pada dasarnya merasa iri kepada si A, kemudian kesalahan kecil si A menjadi umpan yang sangat empuk bagi tetangganya yang iri untuk dibesar-besarkan. 


Pada saat itu, tetangganya tidak bisa melihat fakta objektif bahwa lebih banyak kebaikan yang si A lakukan, daripada kesalahan yang dilakukannya. 


Si tetangga terpengaruh bias emosi pribadinya. Memang faktanya si A melakukan kesalahan, tapi si tetangga tidak bisa melihat konteks lebih luas, misal terhadap kebaikan yang telah si A lakukan, tapi justru cenderung membesar-besarkan kesalahan si A. Hal ini bisa saja mengarah ke cerita bohong pada titik tertentu.


Contoh lain misal tokoh B memiliki konflik dengan tokoh C, kemudian tokoh C berlaku tidak adil kepada anak si B. Contoh ini memperlihatkan bahwa si C terpengaruh emosi pribadi. Padahal jika dilihat secara objektif, anak si B tidak terlibat konflik dengan si C.


Saya sengaja memberikan contoh yang dekat dengan keseharian kita seperti ini, mengingat bisa saja kejadian ini terjadi di sekitar kita.


Let's not surrender our life to dogmatic, illogical, and gender-biased social structure, so the narrative will not be dull.


Pada akhirnya, yang perlu kita lakukan ketika membahas kemanusiaan adalah melihat fakta dengan seobjektif mungkin berdasarkan kebenaran yang dicapai berdasarkan penarikan kesimpulan yang benar. Ketika berbicara tentang alam dan fenomena kemanusiaan, kita bisa merujuk ilmu pengetahuan. 


Kalau membahas ketaqwaan (meski itu personal dan juga sebenarnya tidak perlu dibahas di hadapan umum), pada konteks itu kita boleh saja membaca ayat dan fatwa, tapi pada konteks yang terukur dan jelas, kita tidak mungkin memaksakan pendapat dogmatis. 


Kita seharusnya tidak mencampur-campurnya, Karena pada dasarnya tidak seharusnya dicampur, antara yang 'baik' berdasarkan kacamata agama dan 'baik' sebagaimana adanya (objective state), Kalo dipaksa campur. Hasilnya bias dan penuh penghakiman.


Kalau itu yang terjadi, ada baiknya ambil jalan tengah. Hidup masing-masing. Siapapun boleh tidak percaya, siapapun boleh percaya. Kita memiliki pandangan masing-masing, semuanya dalam ikhtiar manusia menuju baik, satu dengan lainnya tidak perlu saling mengganggu pandangan. Tidak ada manusia yang pada dasarnya ingin menjadi tidak baik, semuanya ingin menjadi baik.


Semua hal memiliki alasan dan ceritanya masing-masing. Mari luangkan waktu untuk berpikir sejenak dan berhenti menghakimi sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangan kita baik satu individu dengan lainnya atau antar satu kelompok dengan kelompok yang lain.


Pada akhirnya kita tau Tuhan sengaja menciptakan perbedaan itu, Tuhan merestui keberadaannya, maka sangat tidak perlu berkata bahwa ada yang terbaik. Menghargai atau diam adalah pilihan terbaik.


Kalau Tuhan menciptakan semua manusia sama, hidup ini akan datar. Kalau Tuhan menakdirkan semua manusia menjadi baik, tidak akan ada kehidupan. Kenyataan bahwa Tuhan menciptakan segala perbedaan adalah bukti bahwa Tuhan Maha melakukan itu, tidak ada yang buruk atau gagal cipta. Baik dan buruk hanya tolak ukur yang dimiliki alam manusia. 


Berbicara sesuatu yang objektif, pada taraf tertentu yang lebih kompleks, kita bisa berdebat tentang hal ini, sebelumnya yang disebutkan tentang obkjective state adalah hal-hal ringan, fakta yang bisa kita konfirmasi hanya dengan duduk dan berpikir ulang. Namun pada hal yang kompleks, manusia perlu melakukan berbagai peninjauan dan penelitian untuk mendapatkan fakta objektif.


Tapi saya tidak akan berbicara tentang itu, yang ingin saya sampaikan adalah, bahwa debat tidak bisa menunjukkan mana pihak yang benar, tidak bisa sama sekali. Debat hanya bisa menunjukkan pihak yang paling jago debat, bukan yang paling benar. 


Karena pada titik tertentu kebenaran memiliki variabel yang banyak sekali, tidak didasarkan oleh kekuatan argumentasi. Jadi argumen itu hanya mendemonstrasikan kebenaran, bukan membuktikan kebenaran. 


Jadi segala hal tentang perdebatan seringkali tidak menghasilkan apapun selain kebencian, intoleran dan seterusnya. Semua pendapat bisa didebat, kalau kita mau. Itu hal biasa. Pendapatku bisa didebat, pendapatmu juga bisa. Perlu diketahui sekali lagi bahwa debat tidak menghasilkan kebenaran. Itu hanya permainan kata-kata. Seperti yang kita tau juga, dalam dialektika tidak pernah ada akhir final.


Oleh sebab itu, saya ingin menyampaikan bahwa perdebatan agaknya akan elok jika dihindari, jika memang tidak perlu atau berpotensi merusak hubungan antar manusia.


Pada saat tertentu, berkutat dengan keheningan dan mempertimbangkan yang akan terjadi adalah jalan terbaik. Karena di sini terlihat bahwa kebenaran tidak begitu saja didapatkan.


Do not be discouraged to learn about something you don't understand. It's never too late to learn, to listen and to seek the truth. As for those who are more knowledgeable, it is very harmful to look down and be cynical to those who are in the process of learning. This is how people get disconnected. If collectively a certain goal is trying to be achieved, do not sabotage the path of others in getting there.


Pada titik tertentu kita harus sadar literasi model apa yang ada pada zaman ini sehingga kita berhak mengklaim kebenaran dan digunakan untuk menyerang orang lain, bukan untuk membijaksanakan dan mendewasakan diri sendiri.


Pada tulisan ini saya berusaha memberikan penjelasan tentang pendapat, dimulai dari pendapat yang berdasarkan dogma, emosi hingga pada pendapat yang berdasar pada puncak pengetahuan kita sebagai makhluk yang berpikir. Namun pada akhirnya, yang bisa saya sarankan dengan kepastian adalah ketidakpastian itu sendiri. Bahwa 'keraguan' dalam menarik kesimpulan terhadap realitas yang terjadi di sekitar kita, menjadi tolak ukur yang paling ampuh dalam dunia kita yang kompleks.



Ide-ide disusun tahun 2019-2022 baru ditulis tahun 2023.

Comments