Berempati untuk Menjadi Manusia Adil

Mari memupuk empati. Dewasa ini, banyak sekali perilaku-perilaku tidak berempati yang saya amati. Terutama sejak era sosial media. Orang yang bahkan tidak mengenalpun bisa saling membenci. Jari-jari digampangkan untuk mengetik kata-kata yang kurang baik. Ada kalanya kata-kata disusun sedemikian rupa seolah-olah bijak, memenuhi aspek retoris, namun pada dasarnya ditujukan untuk menyakiti orang lain. Saat ini kita tiba di masa di mana orang-orang berprasangka, dan anehnya mereka menarik kesimpulan tentang keadaan seseorang berdasarkan postingan di media sosial, lalu dengan itu seolah-olah mendaptkan legitimasi untuk menghakimi orang lain dengan kata-kata kasar atau sindiran. Orang-orang menjadi seolah-olah ahli memahami orang lain di mana pada dasarnya hal tersebut hanyalah kesimpulan prematur dari pengamatannya.

Saya pada dasarnya bukanlah orang yang pandai berempati, tapi saya merasa perlu untuk menulis ini sebagai peringatan kepada saya pribadi, sekaligus ingin membagikan ini barangkali di luar sana ada orang-orang yang sama seperti saya dan sedang mencoba mengontrol dirinya untuk selalu memahami posisi orang lain sebelum berkomentar atau merespon hal-hal yang orang lain lakukan.

Ada beberapa contoh tindakan tidak berempati yang sering terjadi di sekitar kita.
Meakipun indakan yang ini dapat bervariasi tergantung pada konteks dan situasi, namun ada beberapa hal yang umum dilakukan seseorang baik secara sadar atau tanpa disadari dilakukan karena sudah tumbuh dengan hal-hal tidak berempati dalam waktu yang cukup lama. Tindakan-tindakan tidak merempati umumnya dilakukan oleh orang yang suka berbicara meskipun tidak selalu begitu. Namun orang-orang seperti ini biasanya ingin selalu didengar tanpa mengdengar orang lain. Umumnya yang menjadi korban adalah sebalik, yaitu orang-orang yang tidak menyukai kebisingan, yang hidupnya lebih banyak dihabiskan untuk tidak berbicara. Orang-orang ini seringkali tidak didengar. Banyak orang yang berbicara dengannya cenderung tidak mendengarkan dengan seksama saat mereka berbicara. Entah apa yang mendasari perilaku ini, namun hal ini sering terjadi dengan berbagai alasan. Bisa karena tidak sabar, atau yang lainnya. Karena pada umumnya orang yang pendiam, tempo bicaranya sangat pelan, oleh sebab itu mereka sering diabaikan. Padahal, untuk menjadi yang adil, kita harus mendengarkan posisi-posisi terpinggirkan seperti mereka.

Selain tidak mendengarkan, banyak orang menolak memahami atau mencoba melihat dari sudut pandang seseorang yang berbeda dengan diri kita atau kelompok kita. Hal-hal ini ummunya terjadi terhadap kelompok minoritas. Dalam tulisan empati ini kelompok minoritas memang selalu menjadi sasarannya, baik minor berdasarkan sifatnya seperti yang sudah disebutkan di paragraf sebelum ini atau minor dalam identitas komunal, seperti agama. Umumnya, mayoritas menjadi pelaku utama ketidakadilan, menolak memahami orang atau kelompok lain yang lebih kecil dan melihat posisi orang lain berdasarkan kacamatanya sendiri. Oleh sebab itu ia mengalami bias dalam memahami orang lain karena hanya berusaha menarik informasi yang ia setujui terkait seseorang atau kelompok tanpa benar-benar memperhatikan dan memahami orang atau kelompok tersebut. Ini sering terjadi dalam kehidupan kita. Baik di media sosial atau dunia nyata.

Salah satu contohnya adalah kelompok minoritas yang diatur menggunakan aturan-aturan mayoritas, penggusuran tempat ibadah minoritas, diskriminssi persekusi dan lain sebagainya. Padahal kalau kita membayangkang diri kita berada dalam posisi tersebut, katakanlah ketika kita beribadah, tiba-tiba datang sekelompok warga menyeruduk dan meminta kita untuk menghentikan ibadah kita, apa yang kita rasakan? Seperti inilah cara-cara memahami posisi orang lain. Banyak sekali kelompok minoritas, tidak hanya berdasarkan agama atau ras, ada juga yang berdasarkan pola pikir atau sifat, orientasi hidup bagaimana seseorang memandang dirinya dan memandang sekitarnya dengan cara berbeda. Apakah kita berhak menyakiti orang lain hanya karena mereka berbeda, memiliki pandangan berbeda atau memiliki baju berbeda atau berkulit berbeda? Saya ingin pembaca peka, kelompok minoritas apa saja yang ada di dunia kita saat ini, yang sedang mengalami persekusi atau diskriminasi, atau sekedar diminta untuk bertindak seperti mayoritas atau meniru mayoritas, disadari atau tidak, ini juga merupakan bentuk tidak berempati.

Tidak mendengarkan orang lain dan berujung tidak memahaminya kemudian memunculkan tindakan mengabaikan perasaan atau kebutuhan orang lain dan hanya fokus pada kepentingan diri sendiri. Ini semua adalah tindakan tidak berempati yang pada bagiannya akan melahirkan ketidakadilan, tidak objektif memandang sesuatu dan hanya bertindak semau kita. Contoh pengabaikan perasaan atau kebutuhan orang lain umumnya terjadi anatara orang tua dan anak. Orang tua sebagai yang berkuasa dan memang secara literal lebih tua kadang merasa paling tau dan berpengalaman dalam hal-hal yang dialami anak. Padahal, anak-anak hidup di zamannya. Zaman mereka dan orang tuanya bisa saja berbeda cukup signifikan, namun pengabaikan kebutuhan anak sering terjadi. Belum lagi melibatkan agama atau moral bahwa anak-anak harus patuh kepada orang tuanya. Nyatanya dalam beberapa konteks, anak-anak bisa saja menegur orang tuanya, tentu dengsn teguran yang baik. Misalnya orang tuanya salah memahaminya dan tidak memiliki pengetahuan yang bensr mengenai sesuatu. Anak bisa saja berkomentar mengenai hal itu, dan sebsgai orang tua dan manusia, sehsrusnya ia bisa menerima kritik, karena pada dasarnya mereka sangat bisa melakukan kesalahan. Meskipun dalam pikirannya mereka bisa saja beranggapan bahwa aturan-aturan tertentu itulah yang terbaik untuk anak.

Selain itu, yang marak terjadi yaitu membuat lelucon yang menyakitkan atau tidak sesuai dengan situasi. Pada situasi tertentu boleh jadi kita berteman dengan seseorang dan cukup akrab, lalu kita melontarkan lelucon terkait orang tersebut, dengan batas tertentu mungkin sah-sah saja mengingat kita telah mengetahuinya dengan baik. Kendati kita tau banyak mengenai orang tersebut, batasan tetap harus ada. Orang lain boleh berkata "tidak asik, baperan!". Menurut saya ini hanyalah bentuk ketidakpekaan tersendiri, ketidakmampuan membaca sekitar. Orang yang memahami sekitarnya, tidak akan melakukan hal-hal yang tidak mengenakkan untuk orang lain. Saya pikir, semua orang harus pandai dalam memposisikan dirinya di atas sepatu orang lain.

Berempati sebensrnya sangat mudah dilakukan, namun ada beberapa orang yang bahkan tidak memilih untuk berempati karena merasa paling tau posisi orang lain. Pada dasarnya mereka tidak tau, hanya berasumsi bahwa dirinya tau yang orang lain alami. Hal tidak berempati lainnya biasanya dilakukan dengan menunjukkan ketidakpedulian atau meremehkan perjuangan atau penderitaan orang lain. Semua tindakan tersebut dapat menunjukkan kurangnya empati dan kepekaan terhadap orang lain, serta dapat menyebabkan rasa sakit atau ketidaknyamanan bagi orang yang terkena dampaknya. Masyarakat mayoritas sangat berpengaruh dalam menyetir empati publik di dalam masyarakat yang tidak kritis dan penuh bias. Katakanlah dalam sebuah musibah yang menimpa golongan A, misal bencana alam, karena pada dasarnya golongan A dikenal berlainan ideologi dengan B, lalu B mengutarakan kehagiaannya terhadap musibah yang terjadi pada A. Dalam contoh ini, A menjadi tokoh yang tidak berempati, mengingat tokoh A berideologi A, orang-orang lain yang berideologi sama, cenderung akan membela A tanpa memperhatikan konteks atau peristiwa yang terjadi dengan lebih adil dan manusiawi.

Memupuk empati bisa menjadi hal yang sangat berharga dalam kehidupan kita, karena itu penting untuk mengembangkan kemampuan kita untuk lebih mengerti posisi orang lain. Dalam tulisan ini, saya tidak sedang berusaha 'mengajari' seseorang tentang berempati, sebagai manusia tentu kita memilikinya tanpa diberitahu. Namun, ada saat-saat tertentu kita lupa, bahwa yangvkita lakukan adalah tidak adil dan semena-mena, oleh sebab itu perlu diingatkan. Berikutnya saya ingin menggambarkan bagaimana seharusnya kita berempati.

Pertama, ketika kita merasa bahwa kita paling tau posisi seseorang dan merasa tidak perlu mendengar orang tersebut, lakukan sebaliknya. Justru dengarkan dengan penuh perhatian. Cobalah untuk benar-benar mendengarkan apa yang orang lain katakan, tanpa terganggu oleh pikiran atau perasaan kita sendiri. Jadilah terbuka dan terima segala sesuatu yang disampaikan. Bukan berarti kita harus selalu setuju dengan pandangan orang lain, namun dalam hal-hal tertentu kita perlu mendengarnya, karena bisa saja kita sendiri yang salah menilai sesuatu. Ketika kita tidak mendengsr dari awal, kita akan kehilangan berbagai kesempatan untuk memahami pemahaman lebih besar dari apa yang hanya kita ketahui.

Selain mendengarkan dan memeprhstiksn dengan baik. Cobalah melihat dari perspektif orang lain. Coba bayangkan diri kita berada dalam situasi yang sama seperti orang lain dan bagaimana kita akan merasakan hal itu. Ini dapat membantu kita memahami perasaan mereka dan menunjukkan bahwa kita peduli tentang apa yang mereka alami. Salah satu contohnya sangat banyak diperbincangkan baru-baru ini yaitu pengungsi rohingya, mungkin sebagian dari kita merasa kesal dengan perilaku pengungsi rohingya. Ini wajar karena kita memiliki budaya dan latar belakang berbeda, namun terlepas dari itu, kita juga harus perlu meletakkan dalam ruang-ruang pikiran kita bagaimana jika yang terjadi pada rohingya, terjadi pada kita? Saya tidak mengatakan bahwa 'ketidaksopanan' yang dikabarkan dilakukan oleh warga rohingya adalah benar, saya ingin berusaha membawa kita semua pada pandangan atau sudut pandang di mana kitalah yang menjadi pengungsi. Apa yang akan kita rasakan? Diusir dari negaranya sendiri dan terlunta-lunta. Saya tidak ingin kita semua terjebak pada cara berpikir hitam putih, bahwa yang buruk akan tetap buruk dan semua buruk. Meski di sisi lain, kita tau perubahan selalu mungkin terjadi.

Selanjutnya dan menurut saya sangat penting adalah tidak membuat asumsi tentang orang lain. Kita tidak boleh menganggap bahwa kita tau segalanya tentang seseorang atau situasi tertentu. Daripada bertindak seperti orang yang paling tau, cobalah untuk tetap terbuka dan belajar lebih banyak tentang orang tersebut dan situasinya. Katakanlah dalam memandang orang yang memiliki orientasi atau identitas gender berbeda dengan kondisi lahiriahnya, kita akan mengatakan ini salah berdasarkan pendapat golongan tertentu, daripada mengutuknya dan memaksakan pandangan kita kepadanya, kita harus terbuka bahwa bagaimanapun orang tersebut adalah manusia, yang sama seperi kita, memiliki perasaan yang sama seperti sedih dan bahagia. Jika kita berperilaku tidak adil, ada baiknya kita mengoreksi diri kita, dimulai dengan berempati dan dilanjutkan dengan tindakan-tindakan memahami kondisi seseorang dengan kebih objektif.

Selain semua hal di atas, ada yang menjadi tumpuan dari semua itu. Ketika kita berempati, artinya kita memahami orang lain, yang mungkin saja memiliki hal-hal yang berbeda dengan kita. Maka, menjadi sabar adalah hal yang terbaik. Karena kita manusia dan juga memiliki ego, mempraktikkan kesabaran menjadi sangat penting dalam konteks ini. Empati memerlukan waktu untuk berkembang, jadi jangan khawatir jika kita tidak merasa seperti ahli saat pertama kali mencobanya. Mari berlatih bersama-sama dengan kesabaran dan terus memperbaiki kemampuan kita. Dimulai dengan melakukan tindakan kecil sesuai dengan situasi. 

Setelah kita memahami perasaan dan situasi orang lain, cobalah melakukan tindakan positif yang sesuai. Hal-hal kecil seperti menawarkan pendapat atau mendengarkan dengan empati bisa membuat perbedaan besar bagi orang lain. Kita harus ngat bahwa memupuk empati bukanlah suatu yang instan, melainkan merupakan proses yang perlu diupayakan secara konsisten. Semoga tips-tips di atas bisa membantu mengembangkan kemampuan empati kita semua. Itu saja kiranya yang bisa saya tulis terkait empati. Menulisnya sangat mudah, dan harapan untuk melakukannya juga menjadi mudah, akan selalu saya aminkan.

06:04

Comments