Sejarah Akal: Merayakan 900 Tahun Terpasung

Siapa yang layak menentukan hidup itu harus bagaimana? Diri sendiri? Filsuf? Nabi?

Semua orang bisa menjadi filsuf apabila ia menghayati hidupnya, karena menjadi filsuf adalah tentang manusia mau menggunakan akalnya atau tidak. Tapi beda dengan nabi, tidak semua orang bisa menjadi nabi.

Berbicara tentang siapa yang berhak menentukan jalan hidup, kita perlu kembali pada keutamaan dalam hidup. Apa yang paling esensial atau membuat manusia menjadi manusia, daripada menjadi makhluk lain, jawabannya tidak lain adalah akalnya. Kenapa harus akal? Tidak yang lain? 

Kiranya pertanyaan bisa dikembalikan, hal apa yang membuat manusia menjadi manusia selain akal? Pilihlah sesuka hati, sesuai kemampuan akal masing-masing. Bahkan untuk menjawab pertanyaan ini, kita butuh akal-pikir, yang utama dalam hidup manusia, keberadaan manusia, adalah akalnya, mau tidak mau. Dengan akal, manusia bisa mempertimbangkan. Membuat kategori mana yang baik dan yang buruk.

Sebagai hewan, manusia bisa mendapatkan rasa dari rangsangan indra. Data dari rangsangan tersebut yang kemudian digunakan untuk merespon sekitar.

Sebagai manusia, ia bisa mempertimbangkan, mengkategorikan rangsangan tersebut dengan lebih baik. Oleh sebab itu data yang diterima tidak hanya kemudian direspon, tapi juga 'difilter'. Itu yang menyebabkan manusia menjadi lebih sulit ditipu daripada hewan lain yang berakhir terjerat perangkap yang dirancang pemburu.

Kenapa kebodohan seolah dibenci? Jawabannya bisa kita lihat dari paparan di atas, bahwa manusia yang sulit memfilter data-data yang diterima, kembali mengamini kehewanan manusia. Oleh sebab itu, kadang, manusia yang demikian, mudah ditipu sebagaimana hewan yang terjerat.

Bisa disimpulkan pada titik ini kedudukan akal terjelaskan. Kenapa ia bisa menjadi dengan sendirinya, teragungkan. Ia membantu manusia dalam menjalani hidupnya dengan lebih baik. Dengan demikian alasan kenapa orang dengan profesi banyak menggunakan akalnya dari pada ototnya lebih dihormati di masyarakat, terjelaskan juga.

Penggunaan akal sejak awal seolah dianggap sebagai 'jalan baik' adalah bukan sekedar anggapan kosong, bukti-bukti disajikan, oleh sebab itu ia diagungkan oleh manusia 'tanpa pengaruh'.

Kemudian pada perkembangannya, manusia melahirkan peradaban, dengan akal pikirnya. Kepentingan demi kepentingan tumbuh. Pemikiran-pemikiran manusia bertebaran, manusia yang tidak mampu atau tidak memiliki waktu untuk menciptakan pemikiran, 'mengikuti' pemikiran manusia lain yang lebih mampu.

Pemikiran-pemikiran cemerlang terakumulasi melintas zaman, sejarah pemikiran ini yang kemudian digunakan untuk belajar dan mengukur, seberapa jauh manusia menjangkau dunianya. Pemikiran ini kemudian ditujukan tidak lain adalah untuk kemaslahatan kehidupan manusia.

Kembali berbicara tentang mampu berpikir dan tidak berpikir dengan baik. Inilah yang seolah menjadi penghalang pekembangan manusia. Masalah ini sedikit teratasi dengan adanya perkumpulan yang kemudian disebut pendidikan. Di situ manusia bertukar pikiran untuk menciptakan jalan hidup yang baik.

Karena ada pendidikan, akhirnya terlahir manusia yang mengajar dan diajar. Manusia yang mengajar diasumsikan adalah manusia yang 'tau' sesuatu untuk dibagikan. Kemudian tercipta manusia yang sama-sama 'tau'.

Dalam perkembangan pemikiran, ada yang menjadi 'tau' karena proses akalnya merespon sekitar. Lalu ada pula yang menjadi 'tau' bukan karena aspek pikirannya, melainkan berasal dari 'Yang Menciptakan'. Kedua tokoh ini berpotensi menjadi 'yang mengajar tadi'.

Lalu kita pertanyakan, ada dua sumber menjadi tau dalam sejarah manusia, pertama berusaha dengan keras menggunakan akalnya, yang kedua mendapat pengetahuan langsung dari Yang Menciptakan. Lalu manakan yang benar? Apakah semuanya bisa dibenarkan?

Yang pertama mungkin bisa kita sebut sebagai filsuf. Yang kedua bisa kita sebut sebagai 'utusan'. Kalau kita mengacu pada kesadaran kita terhadap akal kita dan kemampuannya menuntun kita sejak awal, sejak pertama manusia menyadari kebermanfaatan akalnya. Perlukah kita kemudian menggunakan pengetahuan yang diklaim sebagai langsung dari Yang Menciptakan?

Dengan pengetahuan dari Yang Menciptakan itu? Haruskah posisi akal tersingkirkan? Haruskah manusia mengorbankan kemampuan dirinya yang bisa berpikir dan sudah terbukti kebermanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari? 

Kepentingan untuk menyingkirkan akal-pikir itu agaknya tidak terlihat bagi saya pribadi. Karena sejak awal dilahirkan dan menyadari hidup, akal sudah menjadi teman yang setia sebelum ajaran dari Yang Menciptakan itu dimasukkan dalam kehidupan anak kecil yang terlahir tadi.

Klaim tentang ajaran Yang Menciptakan ini tidak hanya satu, banyak manusia kreatif yang menciptakannya sepanjang sejarah. Perkembangannya menarik untuk dipelajari, untuk dihayati, bahwa akal manusia berkreasi.

Lalu mari kembali pada pertanyaan awal, siapa yang berhak menentukan jalan hidup manusia? 

Sebenarnya banyak yang ingin saya tulis tentang akal ini, namun saya ingat tujuan saya menulis bukanlah untuk memaparkan ego, saya berusaha sebanyak mungkin memangkas ego saya untuk menulis, supaya tujuan tersampaikan, yaitu menggerakkan pikiran. 

Tujuan akhir tulisan ini adalah untuk mengajak kita semua mempertanyakan kehidupan kita kembali. Ego pembaca boleh terhampar seluas-luasnya dalam merespon, saya tidak berusaha membatasi itu. Karena dengan respon, saya berhasil menggerakkan pikiran pembaca, sekalipun responnya tak tersampaikan pada saya.

Saya merasa perlu menulis tujuannya karena saya tidak menampik bahwa sebagain orang bahkan butuh penjelasan untuk mendapatkan makna dari tulisan-tulisan.

Saya sadar bahwa saya tidak berhak menentukan hidup pembaca melalui tulisan ini, oleh karenanya saya menulis bukan atas nama saya sebagai manusia yang tulisannya harus diikuti, namun sebagai manusia yang menulis atas nama akal, alat pikir yang kurang lebih selama 900 tahun terpasung.


08:09

Comments