Tuhan Tidak Perlu Didekati

, Ia sudah dekat.


Aku ingin bercerita terkait keresahanku dewasa ini mengenai pembela Tuhan yang paling suci. Aku tidak mencoba menjadi tidak sopan, aku hanya terlalu resah, jadi apabila ada kata-kata yang sangat keras dalam tulisan ini, aku meminta ampunan pembela-pembela Tuhan yang suci dan mulia. 


Aku ingin menyampaikan keresahanku tentang kebertuhanan kita, mengenai bagaimana kita memuji Tuhan dan berushaa menyenangkan Tuhan. Aku hanya ingin bertanya apakah Tuhan tidak mampu menyenangkan dirinya sendiri sehingga makhluknya merasa perlu untuk menyenangkannya, kalau begitu siapa yang berkuasa di sini? Jika makhluk berusaha mnyenangkan Tuhannya.


Justru dalam pandanganku Tuhan sangat mampu menyenangkan dirjnya, semua takdir ia tentukan, aku tidak berusaha mencederai kekuasaan Tuhan dengan lancang mencoba menghiburnya seolah-olah akulah yang berkuasa. Aku sama sekali tidak ingin menyombongkan diri seperti itu.


Itu satu. Mungkin yang ingin aku sampaikan adalah pandangan teologi berbeda dari kebanyakan. Oleh sebab itu, bagi yang tidak merasa resah sebagaimana aku resah, pintu terbuka untuk berhenti membaca tulisan ini, aku sangat takut kesucian teman-teman ternodai dengan amarah apabila lanjut membaca tulisan ini.


Kedua dan seterusnya mungkin akan lebih kasar dan sangat jujur dalam membahas kebertuhanan kita, aku juga akan memberi contoh tentang tokoh agama terkemuka yang memiliki keresahan sama denganku, aku mencoba menghibur diri, supaya aku tidak merasa sendiri dalam merasakan keresahan ini.


Mari kita lanjutkan yang kedua dimulai dengan pandanganku sendiri terkait teologi, dulu, aku memandangan bahwa Tuhan berjarak, oleh sebab itu harus aku dekati, ini sejalan dengan pandangan masyoritas tentang Tuhan, namun uniknya, di sisi lain mereka menyampaikan bahwa Tuhan lebih dekat dari urat nadi. Ini sangat kontradiktif. 


Pada saat-saat tertentu orang-orang berkata bahwa Tuhan jauh, oleh sebab itu harus didekati. Hal ini umumnya dikatakan ketika orang-orang melakukan kesalahan, Tuhan jauh darimu sehingga kamu perlu mendekati-Nya. 


Iya, sebelum lanjut aku ingin menyampaikan bahwa ini hanya keresahanku saja, aku tidak memiliki kapasitas membahas ini lebih dalam, aku sadar itu. Yang memiliki kapasitas adalah orang yang belajar agama lebih dalam, sangat diskriminatif ya.


Bagaimana jika seorang yang sangat mengagumi Tuhan, seorang hamba berdosa namun tiap-tiap waktunya ia gunakan untuk memikirkan dan mengagumi-Nya, ia lalu ingin menulis tentang Tuhannya semata-mata karena ia ingin. Pertanyaannya apakah lantas ia tidak berhak? 


Apakah Tuhan saat itu tiba-tiba bersuara dari langit melarang orang itu? Tentu tidak, yang bersuara adalah orang-orang suci dan mulia yang mengaku pembela Tuhan yang paling alim, mengetahui kehendak Tuhan sehingga merasa perlu menghakimi orang lain.


Kembali lagi ke bahasan mendekati Tuhan, orang dikatakan jauh ketika melakukan kesalahan, padahal katanya Tuhan dekat. Dalam kasus ini aku ingin kembali mengingatkan kita pada kisah seorang pelacur, dengan pekerjaannya tentu hal ini adalah kesalahan bagi mayoritas orang. 


Kita lanjut ceritanya, singkat, orang ini adalah pelacur, namun dikisahkan ia memberi minum anjing yang kehausan. Lalu konon disebutkan bahwa orang ini masuk surga. Yang ingin saya tanyakan, Kalau memang tuhan jauh saat orang itu menjadi pelacur sebagaimana pendapat orang banyak, mengapa orang tersebut 'tiba-tiba dijamin surga?' 


Apakah karena tindakannya memberi minum anjing, menurut pendapat, iya, karena itu. Dilihat dari ini dan sesingkat ini, Tuhan mudah membalikkan posisi seseorang, maka pantaskan kita menghakimi orang lain akan terus melakukan keburukan? 


Menurutku Tuhan tidak jauh, oleh karenanya Ia dengan gampang bisa mengubah hati orang-orang yang dikehendaki. Ia juga tidak perlu pembela-belanya yang berusaha menyerupainya, yang bisa jadi kapanpun dan di manapun bisa memberi hukuman atau penghakiman pada seorang pelacur.


Kalau Tuhan jauh, berarti kemudian perempuan pelacur itu harus memasang foto profil nama Tuhan di semua akun sosial medianya dalam kurun waktu yang lama supaya dilihat dan dinilai oleh Tuhan dan memasang bio ayat-ayat Tuhan lalu selalu membuat status tentang agama untuk bisa dianggap memenuhi syarat masuk syurga. Itu adalah upaya mendekatkan diri kepada Tuhan dewasa ini.


Atau, dalam bentuk nyatanya sehari-hari, harus berpakaian putih, berjenggot, bergamis, berdahi hitam, membawa tasbih atau bagi perempuan, harus menutup aurat, dengan hanya menampilkan matanya. Sebagai catatan aku sama sekali tidak ada masalah dengan orang-orang yang berpenambilan seperti itu, itu upayanya dan keyakinannya dalam mengabdi kepada Tuhan. Tapi aku tidak berpikir bahwa Tuhan serendah itu, hanya tentang pakaian dan penampilan.


Lalu, disebutkan juga orang yang dekat adalah orang yang minim kesalahan, aku rasa ini mustahil, satu aspek saja, mengingat rentannya perasaan manusia kapan saja seseorang bisa melakukan atau melukai hati orang-orang. Dengan demikian, ia tidak terlepas dari kesalahan. Itu artinya, semua dari kita jauh, mayoritas juga mengamini bahwa manusia tidak luput dari kesalahan. Alih-alih menganggap bahwa kita semua jauh, aku kembali ingin menyampaikan bahwa kita tidak jauh.


Kalau kita mengumpamakan jarak, ini melahirkan kekakuan, orang yang sangat berdosa merasa sangat terpuruk untuk sekedar melihat Tuhannya. Sebaliknya, orang yang menganggap dirinya baik, suci, mulia dan paling dekat akan dengan mudah menghakimi orang lain karena merasa sangat dekat dengan Tuhan. Hal ini menimbulkan kelas superior. Padahal kita tau bahwa memungkinkan kapanpun manusia ditakdirkan masuk surga sebagaimana cerita pelacur tadi.


Jika kita mengumpamakan Tuhan dekat dan selalu begitu, orang yang melakukan kesalahan akan memperbaiki kesalahannya karena ia tau Tuhannya dekat, dan konsekuensinya ia alih-alih menjadi yang paling suci, ia berfokus pada prosesnya untuk tetap berhati-hati dalam bermanusia. Oleh karenanya, ketika fokus pada diri sendiri, Tuhan tidak perlu didekati, ia sudah dekat, kita tidak perlu mendekati-Nya, satu-satunya yang kita perlukan adalah bermanusia.


Aku menyampaikan baik dan buruk, tapi jangan salah tangkap, inti dari pembahasanku bukan itu, aku ingin teman-teman melampaui baik buruk, berbicara tentang kompleksitas dunia dan oleh karenanya kompleksitas Tuhan juga, manusia yang sederhana tidak bisa merangkum-Nya dengan kata-katanya. Aku di sini hanya ingin menyampaikan keresahanku terkait manusia bertuhan yang membabi buta dewasa ini. 


Orang-orang bertuhan menjadi sangat bengis dan menakutkan. Aku curiga yang mereka sembah adalah ego mereka sendiri. Tapi aku menjadi lega karena Indonesia pernah dikaruniai tokoh yang sangat terbuka, dengan begitu aku memiliki tameng untuk keterbukaan. Aku jujur saja memiliki tameng itu, karena aku tau jika aku tidak punya, bagaimana mungkin orang-orang percaya atas keterbukaan. Saya rasa tujuan tokoh ini ada di indonesia adalah itu.


Bagian ini aku ingin bercerita tentang seorang tokoh besar yang di miliki Indonesia, yang tentu saja ada kaitannya dengan bahasan ini. Bahasan bagian ini semacam tameng dari bahasan sebelumnya, untuk memberikan keterpercayaan dalam keresahan tak berarti ini. Dalam sebuah acara TV, putri dari tokoh besar tersebut diundang, ia menyampaikan bagaimana keterbukaan ayahnya dalam beragama, bernegara dan menjadi ayah.


Dalam sebuah kesempatan, ayahnya meminta maaf kepadanya karena sering lalai bermanusia, terutama dalam menjadi ayah bagi anak-anaknya. Menurut si A, (putri seorang tokoh ini kita sebut A.) Ayah si A minta maaf karena lalai menjadi ayah yang baik. Ia berkata bahwa terlalu sering menyediakan waktu untuk Tuhan dari pada untuk anak-anaknya.


Dari sini kita bisa lihat bahwa ini pandangan berbeda dari kebanyakan pendapat tentang Tuhan, tokoh ini bahkan minta maaf kepada si A karena mengutamakan Tuhan daripada keluarganya, jika kita masukkan cara berpikir tokoh ini ke dalam logika mayoritas, tentu pandangannya salah, karena bagi mayoritas, Tuhan adalah segalanya. 


Ia harus dibela mati-matian, bahkan untuk disandingkan dengan keluarga saja ia tidak setara, Tuhan selalu menempati posisi teratas. 


Oleh sebab itu tidak heran jika ada yang meninggalkan keluarganya untuk berjihad demi Tuhan bahkan ada yang rela mati untuk Tuhan. Pertanyaanku, apakah Tuhan tidak sekuat itu sehingga perlu dibela oleh makhluknya? Sebenarnya yang berkuasa siapa jika kita merasa memiliki kekuatan untuk membela?


Yang ditekankan dari keberadaan tokoh ini adalah bermanusia, itulah yang utama. Kembali lagi saya ulang bahwa bahkan tokoh ini 'meminta maaf' pada putrinya karena telah lalai bermanusia, menjadi ayah yang selalu ada untuk anaknya. Ia mengorbakan kesempatan itu dan meminta maaf atas yang telah ia lakukan.


Kita sangat jarang menyaksikan tokoh seperti ini, yang memilih sangat terbuka atas kebertuhannanya. Atau bahkan kita tidak pernah lagi melihat tokoh sepertinya, bukankah ini sesuatu yang langka dan berharga? Yang kita lihat dewasa ini adalah kemarahan, di mana orang-orang berusaha menjadi pembela Tuhan paling lurus dan suci, sehingga merasa berhak menghakimi orang lain.


Kita kembali ingat kepada tokoh ini, tentang pilihannya yang terbuka dan santai terhadap keberagaman cara berpikir, beragama. Bahkan si A yang sudah kita bahas di atas, dibebaskan dalam melakukan dan mengimani agamanya, misalnya dalam hal berpaikain. Padahal ayah si A adalah tokoh yang sangat dikenal sebagai yang 'alim'. Kita semua tau itu. Beliau juga dikenal dengan kalimatnya yang kontroversial bagi logika mayoritas, yaitu "Tuhan tidak perlu dibela".


Kalimat itu sangat jelas dan lugas, namun sedikit yang mau merenunginya. Keresahanku tidak berhenti di sini. Aku masih merasa resah, sekalipun tulisan ini hampir selesai. Sekalipun aku sudah menyampaikan keresahanku. Masih ada dalm benak ini sisa-sisa keresahan yang memang tidak bisa diungkapkan semuanya.


Sebagai penutup, aku hanya ingin menyampaikan bahwa yang terjadi saat ini justru sebaliknya, adalah kebalikan dari yang dilakukan tokoh besar kita yang telah aku ceritakan sebelumnya. Aku tidak tau sebelum ia terlahir di Indonesia adalah tokoh sesantai dia dan setelah kepergiannya, adakah yang seterbuka dan semenerima dia terhadap segala kemungkinan yang diciptakan Tuhan?


Aku masih memiliki keyakinan, bahwa jika saja ia tidak terlahir di Indonesia dan jika saja ia tidak begitu. Maka tidak ada yang berani melakukan yang dia lakuakan, mengingat masyarakat suci ini sangat beringas dan penuh penghakiman.



06:48


Comments