Merenung di Warung

Pas di Blitar, aku terduduk di sebuah warung sederna di pinggir jalan, menikmati es coklat yang baru saja disajikan, saat itu matahari sangat terik. Ketika memperhatikan lalu-lalang kendaraan, terdengar teriakan dari sisi kananku, terdengar suara dari rumah yang belum rampung dibangun. 


Suara itu terdengar sangat jujur "Tidak boleh capek bekerja, biar selalu bisa t*i" teriak seorang kuli yang sedang mengaduk semen. Aku mendengar kata-kata itu seketika dibuat tersenyum dan merenung panjang mencerna kata-katanya. "Benar juga." Aku membatin.


Pada dasarnya, kita mempertahankan hidup sebagaimana hewan-hewan atau makhluk hidup lain. Karena selain punya nafsu makan dan mempertahankan keturunan, manusia juga punya emosi dan pikiran logis, maka manusia menjadi berbeda dengan makhluk hidup lain.


Hewan dan tumbuhan terus makan dan mempertahankan keturunan. Manusia di sisi lain, karena memiliki emosi dan pikiran, kemudian bisa mengatur dan memutuskan apakah akan terus makan atau melakukan diet, atau terus melahirkan keturunan atau memutuskan untuk tidak berketurunan.


Karena sebagian manusia tidak mau disamakan dengan hewan, maka pada saat itu juga seharusnya mereka memanfaatkan kemampuannya 'yang berbeda dengan hewan itu' secara penuh dan maksimal.


Dari ungkapan yang dilontarkan kuli di atas, seolah menyadarkan kita semua, bahwa kita sama saja dengan hewan-hewan lain. Ia mengajak kita memperhatikan kehewanan kita, bahwa kita memang tidak pernah seistimewa itu.


Dengan ini aku juga teringat kata-kata seorang tokoh islam (aku lupa namanya), yang mengatakan bahwa kita tidak lebih adalah makhluk berisi kotoran. Setiap tindak-tanduk kita setiap hari hanyalah aktivitas mengisi perut.


Untuk keluar dari kenyataan tentang kemanusiaannya itu, manusia lalu menciptakan dunia spiritual untuk memberikan makna pada hidupnya. Ini adalah konsekuensi dari emosi dan pikiran yang ada dalam diri manusia.



06:45

Comments