Terinformasi: tentang bermanusia

Masih ingat ketika kita tertipu konten azab ketika masih kecil, ada yang berubah atau dikutuk menjadi tikus, pari, kambing dan lain-lain. Saat itu kita benar-benar merasa ketakutan, aspek emosi kita bermain saat itu. 


Namun ketika sudah beranjak dewasa, emosi kita tidak lagi bisa dipermainkan, karena kita sudah mulai terinformasi. Fenomena ini melekat dalam ingatan kita sampai pada titik tertentu kita mulai melupakannya, kita telah mengetahui informasi yang lebih bisa diterima. 


Hal ini sama dengan dogma, sejak kecil kita terdogma, emosi kita dibangun untuk tetap mempertahankan ingatan kita terkait dogma-dogma tersebut. Oleh sebab itu amat sangat susah untuk melepaskannya, apa lagi ini dilakukan sepanjang hidup kita. 


Kita 'dilarang' atau dianggap dosa jika terinformasi dengan informasi lain selain dari dogma, itulah sebabnya kita seolah-olah terjebak di dalamnya. 


Hal ini sama persis dengan video azab tadi, jika kita dilarang atau dianggap dosa untuk mengetahui informasi yang lebih masuk akal terkait azab atau kutukan tadi, buakn tidak mungkin kita akan terus-menerus terikat secara emosional dengan ingatan-ingatan tentang azab itu.


Tapi tidak sama dengan dogma, dalam kasus azab ini kita diperbolehkan untuk mengecek kebenarannya, oleh sebab itu kita tidak lagi mempercayainya dan justru tertawa ketika melihat kelakuan kita sebelum terinformasi dengan baik. 


Sungguh menyedihkan apabila kita terus-menerus mempercayai azab itu, kita dibodohi olehnya. Sebagaimana kita mempercayai dogma, itu juga sama menyedihkan.


Jika saja kita terus mempercayai azab itu, banyak kerugian yang akan didapat, kita terus-menerus merasa takut terhadap sesuatu yang bahkan bukan kebenaran, kemudian kita juga gagal menjadi pribadi yang lebih baik dengan mengetahui lebih banyak informasi tentang kebenaran.


Saat ini kita dengan mudahnya melupakan azab itu karena tidak ada yang menghalangi, dan menjadi terinformasi tidak dianggap berdosa. Kita terinformasi dengan informasi yang lebih bisa diterima oleh akal kita. Ini yang sangat tidak mungkin dilakukan dalam kasus dogma. Padahal, jenis informasi antara azab tadi dan dogma, sangatlah persis.


Ini yang menjadi kekhawatiran saya sebagai manusia dan saya selalu merasa perlu untuk menulis tentang ini. Bagaimana jika dogma yang kita terima, sama persis dengan azab tadi, ialah berita bohong yang dibuat sedemikan rupa untuk mencapai kepentingan seseorang?


Terus terang saya tidak bermaksud bersikap kontra terhadap dogma yang telah diajarkan kepada kita, namun, saya hanya memberikan kemungkinan lain tentang dogma tersebut. Sebagaimana kita tau, bahwa kemungkinan apapun bisa terjadi. Apalagi kita selalu dihalangi untuk terinformasi dengan informasi lain.


Jika kita terinformasi, kita akan dianggap keluar dari golongan tertentu, bahkan dianggap musuh. Boleh dibunuh. Padahal satu-satunya yang kita lakukan hanyalah terinformasi, sejak kapan terinformasi adalah kejahatan?


Saya hanya berusaha memberikan gambaran tentang bagaimana emosi kita dipermainkan, akal dipenggal, oleh karenanya kita tidak bisa berpikir dengan jernih dan kemudian terinformasi. 


Filsafat dan sains sangat membantu kita dalam hal terinformasi, membuka sekat-sekat pikiran untuk menjangkau yang tidak kita jangkau selama bertahun-tahun. Oleh sebab itu, oleh golongan tertentu filsafat menjadi sangat hina. Orang yang belajar filsafat dianggap telah menghina dogma.


Kembali saya ingin menekankan bahwa aspek emosi dalam diri kita diolah sedekian rupa supaya kita merasa bahwa inilah yang sebenarnya, hal ini masif dilakukan, hingga kita dewasa dan sudah benar-benar melupakan kemungkinan yang lain dan lupa untuk belajar bagaimana cara berpikir yang baik.


Sains, di sisi lain, tidak ditakuti, keberadaannya terlalu kuat sehingga susah dihilangkan, oleh sebab itu kadang dogma ditafsir untuk disesuaikan dengan sains. Supaya dogma, sekali lagi, tidak ditinggalkan. Kendati sains tidak dianggap hina, namun untuk golongan pemuja dogma yang lebih konservatif, penggunaan sains dibatasi.


Jika kita terus-menerus terdogma dengan sangat kuat, dunia kita menjadi sangat kuno dan tertinggal, saya bersyukur saat ini lebih banyak manusia progresif, di mana mereka mencoba menyesuaikan dengan zaman. Saya sangat mengapresiasi mereka.


Terdogma artinya kita hidup dengan nilai-nilai tertentu yang bukan berasal dari kita. Melajnkan menggunakan cara berpikir seseorang atau kelompok tertentu. Mungkin dan mungkin saja, untuk sebagian orang yang tidak punya waktu untuk merenungi nilai-nilai yang baik untuk dirjnya sendiri, keberadaan dogma menjadi penting dan sangat dibutuhkan.


Kembali lagi saya tekankan bahwa saya tidak mencoba menjadi oposisi dari dogma, saya masih bisa melihat sisi baik dari dogma, Tapi saya tidak menyarankan penggunaan dogma serampangan. 


Saya lebih suka melihatnya digunakan sebagaimana hoax azab, kini ia ditertawakan, bukan untuk menjelekkan azab itu, bagaimana pun azab itu juga membuat kita lebih patuh kepada orang tua kita, tapi kita gunakan azab itu sebagai bahan nostalgia mengenai masa kecil kita yang lugu dan mudah tertipu.


Hal ini sangat baik untuk bahan introspeksi kita, untuk tidak tertipu lagi di lain hari, itulah yang seharusnya kita lakukan, bukan?. Menjadi lebih baik hari demi hari. Pada akhirnya, tak seorangpun menjangkau kebenaran dengan sangat utuh. Jika ada, ia berhak menggantikan posisi Tuhan.


16:08

Comments