Cerpen - Qosim si tuan tanah

Ini cerita tentang tuan tanah yang penyabar. Ia adalah Qosim, orang paling kaya di desanya. Selama ia menjadi tuan tanah, ia tak pernah sedikitpun menyombongkan diri, ia rendah hati dan disukai banyak orang, orang-orang senang mengunjungi daerahnya untuk sekedar bertukar sapa. Jika pergi kesana, maka pasti ketika pulang tangan tak akan hampa, selalu ada sesuatu yang Qosim berikan

Ia sangat sabar dan selalu ramah kepada setiap orang, berbeda dengan istrinya, ia memiliki banyak kaki-tangan yang selalu memberi informasi tentang warga sekitar, kebanyakan menerima kabar buruk, ia tidak tau bahwa kaki-tangannya adalah orang yang tidak bertanggungjawab, selalu saja memberi kabar buruk yang benar ada dalam kehidupan warga atau sekedar mengada-ngada, kaki-tangan istri Qosim tersebut memiliki keinginan untuk menguasai daerah kepemilikan si tuantanah, Qosim.

Hingga pada suatu hari, ada seorang anak berumur 12 tahun datang bersama neneknya ke rumah tuan tanah, ketika itu tuan tanah tidak ada di rumah, mau tidak mau mereka menemui istri tuan tanah. Mereka bertatap muka di ruang tamu, disana ada orang kepercayaan istri tuan tanah mendampinginya.

"Ada apa gerangan kau berdua datang kemari?" Tanya istri Qosim si tuan tanah.
"Saya kemari ingin menitipkan cucu saya Ehsan untuk mencari ilmu dan mengaji disini" ujar nenek itu tertunduk.
Kemudian, anak buah istri tuan tanah berbisik,
"Nyonya, ibu anak ini seorang pelacur".
Tanpa pikir panjang istri tuan tanah berkata,
"Aku menolaknya!" ia berkata dengan suara lantang.

Nenek itu dan cucuknya bisa apa selain terdiam dan kemudian pergi. Cucunya hanya bisa menangis karena tau dirinya ditolak. Mereka berduapun pergi dan tak pernah kembali, bahkan ketika tuan tanah mencari mereka, mereka tak ditemukan dimanapun.

Tuan tanah hanya bisa mengelus dada mendenger perlakuan istrinya itu. Di tambah ketika kedatangan anaknya dari kota, keadaan semakin mengkhawatirkan, tuan tanah hanya bisa diam melihat kelakuan anaknya yang lebih parah daripada ibunya. Ia merubah semua peraturan yang berlaku di asrama kecil milik ayahnya dan membuat daerahnya terlarang dikunjungi sembarang orang, semua itu berlaku dengan baik, warga tidak lagi mengunjungi daerah tuan tanah, kalaupun datang, hanya seminggu sekali, mereka tidak membenci atau kesal terhadap keluarga tuan tanah, mereka tau ini dilakukan demi keamanan daerah tuan tanah, mereka memilih untuk bersabar walau tidak lagi mendapatkan yang biasa tuan tanah berikan setiap harinya.

Bagaikan sumber mata air yang tiba-tiba kering di musim penghujan. Warga hanya bisa bersabar dan berharap ini tidak berkelanjutan, semua tak disangka-sangka, kenyataannya lebih buruk daripada pemikiran-pemikiran warga, bahkan warga tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan untuk pergi beribadah ke Masjid milik tuan tanah. kecuali mereka mau berjalan sekitar 400 meter dari gerbang yang dijaga ketat oleh anak buah istrinya.

Hal ini memang tidak terlalu memberatkan, hanya berjarak sekitar 400 meter, tidak bermasalah untuk orang yang benar-benar ingin beribadah, dihitung-hitung ini sebagai usaha. Namun jika dipikir ulang, ada sesuatu yang membuat semua ini seakan tidak pantas diberlakukan, tapi kembali lagi semua warga memiliki pandangannya masing-masing tetang hal itu.

Istri tuan tanah dan anaknya yang baru datang belajar dari kota sangat kompak, ditambah lagi kelompok kaki-tangan istri tuan tanah yang semakin tak punya malu, tuan tanah merasa tidak kuat, ia merasa bersalah, ia adalah pemilik semua itu tapi tidak bisa melakukan apa-apa, ia hanya bisa bersabar dan mengurus asrama dan masjid dengan baik, sebagai satu-satu miliknya yang bisa ia atur tanpa istri dan anak laki-lakinya itu. Buah tidak jauh jatuh dari pohonnya, tapi pohon yang mana, pohon yang subur lagi baik atau pohon yang buruk dan menyengsarakan.
Keadaan tidak berubah, daerah tuan tanah menjadi tempat terlarang untuk orang-orang yang tidak memenuhi syarat.

______________
Kadang kita perlu berada di posisi orang lain untuk merasakan bagaimana yang orang lain alami. Misalnya ketika kita menganggap diri kita benar, bukan berarti orang lain salah dan ketika kita menganggap sesuatu itu baik, bukan berarti juga baik untuk orang lain. kita tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain, karena setiap orang memiliki pendapat masing-masing. Ketika kita terus mengganggunya dengan kata-kata atau tindakan, justru siapa yang salah? kita boleh menasehatinya bahkan sangat di anjurkan, namun dengan batasan-batasan tertentu, selama kita tidak mengganggu hak orang lain. kita hidup di negara demokrasi, kita harus menghargai setiap pendapat, setolol apapun itu.


- Galau15 :v

Comments