Cerpen - Do’a Dalam Do’a
Aku bukan orang yang beruntung, namun kalau dipikir kembali, aku bukan orang yang pandai bersyukur, jika aku bandingkan diriku dengan orang-orang yang setiap harinya mengumpulkan botol mineral dan tidur beratap jembatan.
ketika umurku 7 tahun, aku dihadapkan dengan
musibah yang menyebabkan meninggalnya semua keluargaku. kecuali Paman Sani,
adik dari ayahku. Sejak kejadian itu, beliau membawaku merantau ke sebuah pulau,
entah apa nama pulau itu aku tak tahu. Saat itu, yang aku pikirkan hanyalah
perkataan Paman Sani “Aku akan membawamu merantau ke sebuah pulau”. Aku tidak
mengerti apa yang di sebut Merantau, aku kira itu semacam liburan.
Aku dan paman terombang-ambing diatas perahu
cukup lama, hingga aku lelah dan tak dapat menahan rasa kantuk. Aku tertidur
berbantal tangan mungilku.
***
Beberapa tahun telah berlalu, mengukir kisah
manis dan pahit yang padu. Saat ini, umurku 21 tahun. tak terasa 14 tahun aku
berada di pulau ini, pulau yang elok menawan yang disebut dengan Pulau Kalambi.
aku tinggal di sebuah gubuk dekat pantai, tempat aku tumbuh menjadi dewasa,
hingga bisa membedakan antara merantau dan liburan.
Paman Sani telah meninggal lima tahun silam.
Mau tak mau aku harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kehidupan sehari-hari,
bekerja sebagai nelayan. Tak jarang, apabila ada waktu luang, aku sempatkan
untuk bekerja, entah kuli bangunan, penjual koran atau apapun, semuanya yang
penting halal.
Sejak kejadian yang menimpa keluargaku, aku
tidak lagi makan ikan. ketika hendak makan, aku selalu teringat pada keluargaku
yang meninggal karena makan ikan fugu, ikan yang sering kita sebut dengan ikan
buntal, Ikan ini memiliki racun yang sangat mematikan. Oh Tuhan.. Aku tak habis
pikir, semua keluargaku meninggal gara-gara ikan ini.
“Rizal, cuaca hari ini bagus, mari kita
melaut!” ujar Pak Zamil bergesa-gesa menghidupkan mesin perahunya. Bapak Zamil
adalah warga asli pulau ini yang sering mengajakku melaut untuk mecari ikan.
“iya Pak!” jawabku.
Kitapun melaut, sampai ditengah perjalanan,
awan hitam yang mulanya tak terlihat kini telah siap menjatuhkan
butiran-butiran hujan. Bapak Zamil kemudian mematikan mesin perahunya dan
menjatuhkan jangkar. Hujanpun turun dengan derasnya.
“hujannya sangat deras ya Pak? padahal sebelum
kita melaut, tidak ada tanda-tanda akan turun hujan!”
“iya, untung saja Bapak sudah membuat atap
dari jauh hari dan menyiapkan jas hujan di perahu ini”
“syukurlah...! hari Rabu lusa, mungkin Rizal
akan meninggalkan pulau ini, Rizal mau pergi ke Ibu kota. Mungkin, Rizal akan
tinggal disana”
“kenapa mendadak nak, apa yang akan kamu
lakukan disana?”
“iya Pak, Rizal ingin bekerja disana!”
“baiklah! kalau begitu, bapak besok siapkan
bekal untukmu, bapak tidak punya banyak, tapi Do’a bapak selalu mnyertaimu”
“tidak perlu repot-repot pak, Do’akan saja
Rizal, itu sudah cukup!”
***
Hari pertama di Ibu kota, rasanya seperti
orang asing, masih kaku sama lingkungan dan merasa berbeda. Hari ini aku
gunakan untuk mencari lowongan pekerjaan, ketimur kebarat, keselatan keutara,
aku masih tidak menemukan lowongan pekerjaan. hingga tengah hari, aku singgah di
sebuah Masjid untuk menunaikan sholat dzuhur dan memantapkan hati.
“Oh Tuhan, bantulah hamba mencari pekerjaan
yang telah engkau persiapkan dengan sebaik-baiknya, apapun pekerjaannya yang
terpenting ridho-Mu padaku. Oh Tuhan, jika tidak, jangan biarkan hamba meniti
dijalan yang tidak engkau ridhoi!”
Selepas itu, aku kembali mencari lowongan
pekerjaan, setelah seharian mencari, akhirnya sekitar jam 15:47 WIB aku
memperoleh pekerjaan sebagai Pelayan di sebuah kafe.
Keesokan harinya aku mulai bekerja, ini hal
baru bagiku, aku tidak pernah menjadi pelayan sebelumnya, mau tak mau harus aku
coba, karena ini satu-satunya pekerjaan yang aku peroleh. Dihari pertama
bekerja, aku dipertemukan dengan sesuatu yang tidak biasa.
“Mas!” kata pria yang sedang bersama
pasangannya.
“ya, selamat siang, apakah anda ingin minum?”
“iya tentu, kami pesan kopi, satu dengan susu
dan satu lagi tanpa susu!”
“baik, apa ada yang lain?”
“tidak, itu saja”
“baik, tunggu sebentar!”
Tak lama, pesananpun aku antarkan.
Beberapa menit kemudian, merekapun beranjak
menuju mobil. ketika hendak melintasi jalan, ada sebuah truk melaju sangat
kencang dan menghantam mobil mereka. Spontan, aku menghampirinya dan orang-orangpun
mengerumuninya. Tak sempat di bawa ke rumah sakit, si pria meninggal di tempat
kejadian dan aku berusaha mencari tumpangan untuk membawa wanita yang
bersamanya ke rumah sakit. Karena tak ada yang mengenal wanita itu, akhirnya
aku mendampinginya kerumah sakit.
sesampainya dirumah sakit. aku bingung, aku
tidak bisa menghubungi keluarganya, ditambah dia tidak membawa apapun yang bisa
membantuku untuk mencari alamatnya. Aku tidak bisa melakukan apapun kecuali
berdo’a dan menunggunya hingga sadar.
“apa anda keluarganya?” tanya dokter kepadaku.
“iya, saya keluarganya” jawabku tanpa ragu.
“silahkan tanda tangani!” ujar dokter sambil
menjulurkan selembar kertas.
“Baik dok!”
***
Kata dokter, wanita itu mengalami cedera pada
otak, membutuhkan berminggu-minggu dia bisa sadar.
“Oh Tuhan, kembalikanlah yang ingin engkau
kembalikan,sadarkanlah wanita itu dalam keadaan yang sempurna dan tenangkanlah
hati orang-orang yang menyayanginya”
Sepulang kerja, aku rutin mengunjungi wanita
itu hingga satu minggu berturut-turut. Heran, tak satupun dari keluarganya
mencari wanita itu.
***
Dua minggu sudah berlalu, namun dia tak
kunjung sadar dari komanya. Tak tau kenapa, aku sangat peduli pada wanita ini.
Seperti ada sesuatu yang menyuruhku melakukan semua ini, mulai dari mengantarkannya
ke Rumah Sakit, hingga menunggunya sadar. Ini berasa sangat berarti.
“Andian..” ucapnya perlahan.
“mungkin Andian adalah nama pria yang
bersamanya saat itu?” tanyaku dalam hati. “kamu sudah siuman? Tenang,
istirahatlah! kamu masih belum pulih total”
“kamu siapa?” tanya wanita itu kepadaku.
“saya Rizal, pelayan di kedai kopi yang kamu
kunjungi dua minggu lalu”
“apa yang terjadi? Kemana Andian?”
“istirahatlah dulu! Nanti aku ceritakan, saat
ini yang terpenting adalah kesehatanmu”
Hari demi hari kesehatannya pun
berangsur-angsur membaik dan akhirnya dokter memperbolehkan ia pulang.
***
Ternyata, namanya Nada, dia tinggal di kota
ini untuk beberapa tahun sampai kuliahnya usai. Berada jauh dari keluarga
membuat Nada merasa gelisah, hingga ia memutuskan untuk meminta tunangannya yang
sedang bekerja diluar negeri untuk kembali ke Indonesia dan tinggal di rumah
kontrakan yang Nada tempati. Karena kecelakaan itu, akhirnya Nada tinggal
sendiri.
sejak kejadian itu, Nada sering mengirimku
pesan singkat, tak jarang dia menghubungiku. Dia menceritakan segala tentang
dirinya kepadaku. Aku sangat senang dan mulai merasa enggan untuk jauh darinya,
dia seperti bagian dari diriku, aku tak ingin kehilangan dia seperti
keluargaku.
“Akhi, terimakasih kamu sudah sangat baik padaku.
Ngomong-ngomong apakah besok kamu kerja? Kalau kamu kerja, bolehkah aku datang
ke tempat kerjamu?” isi pesan singkat Nada.
“sama-sama Ukhti, Iya aku kerja dan tentu saja
kamu boleh kesana, datang saja!” balas Rizal.
***
Besoknya, ketika aku sedang membersihkan
meja-meja di tempat kerjaku, Nada datang.
“aku tidak mengganggu pekerjaanmu kan?”
Tanyanya tersenyum.
“duduklah! mau minum kopi, nona?”
“tidak, hehehe!” kitapun tertawa bersama.
Dia menungguku hingga pekerjaanku selesai, aku
sudah menyuruhnya pulang, tapi ia tidak mau. sebagai hadiah, aku mengajaknya dinner
di tempat makan dekat tempatku bekerja. tidak mewah, tapi aku sangat senang
karena dia sangat menikmatinya, aku juga membelikannya selimut dan setangkai
bunga mawar, walau harganya tidak mahal, tapi sepertinya dia senang.
***
“Oh Tuhan, dibawah kuasamu aku mengadu,
mengharap semuanya berjalan sesuai kebutuhan, jangan kau lebih-lebihkan yang
tak pantas untukku, jangan kau jauhkan aku dari yang menjadi takdirku”
Hari berjalan dengan cepat, kebersamaan ini
tidak akan menemukan titik terang, jika aku tidak melakukan sesuatu. Hari itu aku
berniat untuk melamarnya, Tuhan mengabulkan yang menjadi keinginanku. bahkan
setelah sebulan usia tunangan kami, aku telah sah menjadi suami Ukhtiku.
“pagi ukhtiku!” bisikku.
“pagi akhi!” jawabnya tersenyum.
“tidak aku sangka semuanya akan seperti ini,
aku kehilangan pendidikan dan keluargaku sejak kecil, rasanya tidak mungkin aku
menjadi seperti saat ini”
“sudahlah akhi, itu masalalumu, lagipula tidak
ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah menghendaki. sekarang hadapi yang ada
di depan mata!” Ujarnya memegang tanganku.
Saat ini, aku memiliki tiga restoran yang
salah satunya aku kelola sendiri. aku selalu berfikir bahwa ini tidak mungkin,
tapi ini yang terjadi. Aku yang berasal dari sebuah keluarga sederhana, besar
di sebuah pulau kecil dan tidak pernah merasakan seperti apa dunia pendidikan
yang sebenarnya, menjadi pemilik tiga restoran, itu sungguh mustahil!. tapi
do’a dan usaha yang menuntunku menjadi seperti ini, usaha mengamalkan yang
menjadi perintah pertama dari Tuhanku, Iqro’.... “Bacalah!”. Tulisan apapun
yang aku lihat, aku baca. Semuanya
berawal dari perkenalanku dengan huruf A sampai Z yang semuanya diajarkan oleh
ibuku, hingga merangkai kata demi kata, kalimat antar kalimat dan seterusnya.
Beliau mengajariku segalanya, inilah satu-satunya warisan darinya.
***
Hari berganti hari kita lewati dengan canda
dan tawa. Namun semua itu berakhir, ketika takdir meminta istriku pergi menemui
Sang Pencipta. Ia terkena penyakit langka yang membawanya menemui ajal.
“Oh Tuhan, cerita manis yang kau berikan
berakhir dengan sangat cepat. engkau pemilik jawaban semua atas tanda tanya
besar yang terjadi dalam hidupku, ampunilah segala kesalahan yang pernah hamba
lakukan!”
Tidak aku sangka semuanya akan seperti ini,
mungkin ada orang yang lebih membuatku bahagia dimasa yang akan datang, Tuhan
lebih mengerti diriku daripada diriku sendiri. Aku yakin Ia tidak akan
kecewakan hambanya.
Dibawah lampu malam aku gerutu, menanyakan
arti rindu, angin berlalu tanpa ukhtiku, tapi bintang dengarku mengadu.
Kuselimuti diriku dengan selimut yang pernah aku berikan kepadanya. tak terasa,
tetesan air mata membasahi selimut itu. Aku sangat merindukannya.
”hadapi yang ada di depan mata!” aku selalu
teringat kata-katanya, aku tidak akan melupakannya, layaknya alunan musik,
kata-katanya akan selalu mengalun merdu ditelinga dan kepalaku.
“Oh Tuhan, aku mencintai-Mu lebih dari apapun.
Aku senang bagaimana engkau bisa membaca hatiku dan tahu yang tersembunyi di
dunia ini. Aku senang bagaimana engkau membuatku jatuh dan menangkapku sebelum
aku hancur. Aku senang mengadu kepada-Mu. Aku senang bagaimana aku tersenyum ketika
aku mengingat-Mu. Aku suka air mata yang jatuh untuk-Mu ketika aku mengingat-Mu
sebagai Tuhanku. aku senang menunaikan shalat dan terkadang aku tidak ingin
bangun dari sujudku. Aku senang
bagaimana engkau membuatku merasa lengkap ketika aku kesepian dan seketika aku
sadar bahwa aku punya diri-Mu. Aku senang bagaimana aku membutuhkan-Mu. aku
suka ketika aku meminta bantuan-Mu. Aku suka hal-hal kecil dalam agama ini yang
membuatku merasa menjadi bagian dari agama yang sempurna ini. Aku senang
melakukan hal-hal demi diri-Mu. Aku senang bagaimana engkau memberiku kekuatan.
Aku senang bagaimana engkau memberiku kesabaran. Aku senang bagaimana engkau
membantuku. Aku senang bagaimana engkau mengajariku. Aku senang bagaimana
engkau memberiku. Aku senang engkau telah memberiku kemampuan untuk mencintai.
Aku tidak pantas untuk dicintai. Namun engkau masih mencintaiku. Dan itulah
yang paling aku suka.”
Aku tidak akan pernah berhenti berdoa.
Comments
Post a Comment