Puisi Jalaluddin Rumi - TARIAN MABUK TUHAN

Cinta merenggut ibadahku
dan mencurahiku ribuan lagu.

Aku mencoba tetap berzikir
La haula wala quwwata illa billah,
tapi tak kuasa.

Mau tak mau aku pun menari dan menyanyi,
sementara aku pendiam dan terkendali.
Tapi siapa sanggup terus diam-terkendali
tatkala badai mengombang-ambingkan diri?

Sebuah gunung menjaga gema dalam dirinya.
Demikian pula aku, yang menahan suaraku
di pedalaman jiwaku.

Seperti sekeping kayu terhempas ke dalam api-Mu,
aku terbakar menjadi abu.

Aku menjadi kosong saat menyaksikan-Mu.
Kekosongan ini begitu syahdu, memupus keberadaanku,
Tapi ketika kekosongan itu datang,
Keberadaan memekarkan ribuan kembang.

Dunia bagai seorang buta di bawah langit biru
yang bersimpuh di tepi jalan.
Siapa pun yang menyaksikan kekosonganmu,
akan menjumpai sesuatu di balik biru dan orang buta itu.

Ruh suci tersembunyi layaknya Muhammad dan Isa
yang berjalan di sebuah kota
dan tak seorang pun mengenalinya.

Pujianku adalah penyerahan diriku
pada kekosonganku.

Ketika kau memuji matahari, kau puji matamu sendiri.
Kata-katamu bagai perahu di tengah lautan.
Biarlah perahu itu diayun gelombang, berlayar di keluasan,
karena gerak sejati adalah gerak lautan itu sendiri.

Kenapa mesti berduka dalam kekosongan ini?
Kenapa mesti bersedih dalam mabuk panjang ini?

Bilamana kau mabuk Tuhan,
biarlah perasaan berdosamu hilang.
Rasakan saja ayunan lembut di sekitarmu
dalam tarian mabukmu.

.

Diterjemahkan oleh Shalahuddin Gh dari “Buoyancy”, puisi Jalaluddin Rumi terjemahan Coleman Barks dalam “The Essential Rumi”.

Comments