[Rasionalisme] Opini ... Baca saja sudah, nanti juga tau.


Sejauh yang saya ketahui, rasionalisme berasal dari rasio (akal) rasional (masuk akal) dan isme (paham atau aliran). Jadi rasionalisme bisa diartikan aliran atau paham yang berkaitan dengan rasio. Dalam Islam menggunakan akal sangatlah dianjurkan, bahkan bisa dikatakan sangat ditekankan, Al-qur’an menyebut orang-orang yang menggunakan akalnya dengan sebutan ulil albab; orang yang berakal atau orang yang menggunakan akalnya. Dengan akal kita bisa mencapai kebenaran, makanya banyak sekali ayat Al-qur’an yang memerintahkan kita untuk berpikir, supaya kita tahu mana yang haq dan mana yang batil. Kita juga dapat menambah keimanan dengan memikirkan ayat-ayat Tuhan serta merenungkan ciptaan-Nya. Kendati demikian, akal kita memiliki keterbatasan, jadi tidak semua yang kita tau bisa kita nalar dengan baik. Ketika kita berbicara masalah agama, kita harus memegang erat-erat keyakinan, karena agama melampaui rasionalitas, tapi bukan berarti kita harus berhenti menggunakan rasio kita, rasio menjadi pendukung untuk mencapai kebenaran.

Bayangkan jika tidak ada seorangpun yang menggunakan rasio atau nalar sejak pertama manusia diciptakan, mungkin manusia akan setara dengan hewan dan dunia tidak akan mengalami perkembangan. Dengan rasio, peradaban umat manusia menjadi semakin maju dan canggih, cara berpikir manusia dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Manusia menjadi semakin pintar memilih. Dari semua itu, muncul rasionalisme yang menganggap akal atau pikiran adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran atau realitas sesungguhnya. “Cogito ergo sum” Aku berpikir, maka aku ada (Rene Descartes). Rasionalisme menganggap berpikir adalah hakikat manusia, pikiran adalah dasar dari kebenaran. Itulah mengapa rasionalisme menolak kepercayaan yang hanya berdasarkan iman. 

Seperti yang saya sebutkan di atas, tidak semua hal di dunia bisa diterima oleh akal dengan baik, karena akal manusia terbatas dan Descartes menyadari itu, tapi bagaimanapun rasionalisme menolak wahyu. Jika akal kita tidak terbatas seharusnya tubuh kita juga tanpa batas dalam artian “abadi”. Jika tubuh kita abadi maka dunia juga harus abadi, jika dunia tidak abadi sedangkan tubuh kita abadi, dimana kita akan tinggal? Perlahan kita akan berakhir, begitupun alam semesta beserta isinya, termasuk pikiran-pikiran. Kita tinggal di dunia yang memiliki batas, pikiran kita berada di dalam tubuh yang terbatas, secara otomatis pikiran kita juga terbatas, semuanya jelas, bisa kita pikirkan semuanya berubah dan memiliki batas akhir. Jadi penolakan rasionalisme terhadap wahyu adalah kesombongan manusia yang lemah dan terbatas itu. Wahyu ada untuk melengkapi keterbatasan pikiran kita. Pikiran kita selama di dunia ini memiliki batasan, karena terikat dengan fisik kita yang terbatas, pikiran kita akan menjadi sempurna ketika kita sudah menyatu dengan Kesempurnaan.

Sedikit banyak pernyataan rasionalisme dapat diterima, dengan akal kita bisa mencapai kebenaran, membedakan dan mempertimbangankan mana yang benar. Begitupula dalam pandangan Islam, akal sangat dihargai namun tidak menjadikannya nomor satu. Asas-asas kebenaran terhadap dunia ini yang dikatakan oleh rasionalisme telah ada di pikiran manusia sama dengan kisah Adam yang diajari oleh Tuhan tentang dunia dan isinya. Namun akan masuk akal jika kita menyadari seutuhnya perbedaan yang “diajari” dan yang “Mengajar”, tentu saja berbeda dan tidak mungkin sama, atau dengan kata lain yang lebih tegas, perbedaan Pencipta dan ciptaan. Rasionalisme tidak mengatakan apapun tentang ketuhanan, tapi yang jelas rasionalisme tidak menolaknya. Bukan tidak mungkin Tuhan mengutus seorang rasul untuk membawa wahyu sebagai petunjuk bagi pikiran-pikiran manusia yang terbatas.

Comments