Cerpen - Di Balik Sebuah Postingan
Oleh : Lia Umami
Bahagia...
seberapa sering kalian mendengar dan merasakannya? Apa kalian benar-benar
bahagia? Banyak orang sering mengucapkan "Saya bahagia" seraya
diiringi tawa. Namun apakah kalian tahu apa 'bahagia' itu sendiri?
Sembari memikirkan
jawaban ... Perkenalkan, nama aku Dilraba Nina Letvian, biasa dipanggil Diba.
Aku ingin memberitahu jika bahagia memang bisa didapatkan di mana saja, bibir
terangkat sempurna membentuk tawa, namun apakah hati juga tertawa? Itu
pertanyaan penting dan harus disadari.
Bagiku ... kebahagiaan
adalah diri sendiri. Aku akan mengatakan 'percuma' dengan gamblang jika
seseorang mencari kebahagiaan di sana-sini. Namun dia tidak bahagia pada
dirinya sendiri. Jika kamu atau kalian ingin bahagia, maka cintailah diri sendiri
terlebih dahulu, setelahnya, entah kalian berada di mana pun, pasti kalian akan
bahagia sepenuhnya. Bukan hanya bibir yang tertawa, bahkan hati dan jiwa juga
merasakan itu.
Aku ingin berbagi
sepenggal kisah hidup dan aku pastikan kalian tidak akan menyesal karena
mengetahuinya.
Aku terlahir dengan
rupa yang biasa-biasa saja. Namun kata Ibuku "Perempuan tidak ada yang
jelek, semuanya cantik. Yang membuat perempuan jelek itu adalah tingkah
lakunya.” dan aku secara sadar setuju dengan hal itu. Kendati pun rupaku
biasa-biasa saja, Aku tetap bahagia, Aku menerima dengan lapang dada, karena
pada akhirnya, Aku juga akan mendapatkan jodoh.
Suatu hari saat aku
menginjak masa remaja, di mana pada masa tersebut akan ada beberapa hal yang
berubah pada diri sendiri, seperti suara, sikap, sifat, dan lainnya. Aku pun
mengalaminya. Rupaku yang sudah pas-pasan, malah ditambah dengan tumbuhnya
jerawat. Aku tidak tahu apa penyebabnya karena makan pun aku pikir selalu
sesuai dengan kebutuhan tubuh, aku juga selalu berpikiran positif. Pada saat
itu aku pun langsung menghampiri ibu dan mengadu.
"Ibu, ada keadaan
darurat!" ucapku sedikit keras. Di tanganku ada sebuah cermin berbentuk
oval dan ada gagangnya. Kakiku bergerak cepat menuruni tangga rumah.
"Darurat kenapa?
Ada apa?" Ibu yang mendengar ucapanku membalas dengan raut wajah yang
cemas bercampur terkejut.
Aku melihat Ibu yang
keluar dari dapur masih dengan memakai apron, sedangkan tangan sebelah kiri
memegang codet, dan tangan sebelah kanan memegang piring. Ibuku pasti memasak
untuk sarapan. Karena terkejut dengan keadaan mukaku yang tumbuh jerawat secara
tiba-tiba, Aku mengabaikan rasa bersalahku. Pikiranku saat itu kacau.
"Ibu, lihat!
Wajahku ditumbuhi jerawat." Aku menunjuk mukaku sendiri. Perasaanku sudah
berantakan, aku juga ingin menangis. Aku rasa ... semua perempuan di muka bumi
juga a1kan bereaksi sama sepertiku jika mengalami hal yang serupa. Apalagi pada
masa remaja, di mana perempuan sangat ingin bergaya.
Ibuku menghela napas,
mungkin merasa hal itu tidaklah penting hingga bisa menggegerkannya ketika lagi
sedang larut dalam acara memasak. "Diba, itu hal biasa. Kamu kan sudah
remaja. Sudah kelas dua SMP" ucap Ibu sembari berbalik badan dan kembali
berjalan menuju dapur. Aku pun mengintilinya dari belakang.
Ucapan Ibuku tidak bisa
menenangkanku. "Ini gak biasa Ibu. Kenapa bisa jerawat langsung tumbuh
banyak gini?" Aku frustasi. Benar! Wajahku ditumbuhi jerawat bukan hanya
satu atau dua, tapi lebih dari tiga! Dan itu di kedua pipi Aku. Wajah itu
paling penting dari penampilan, dan kebanyakan jika bertemu dengan orang. Hal
pertama yang dilihat dan dinilai adalah wajah. Jadi, aku ingin menangis, marah
namun tidak tahu akan marah kepada siapa. Bahkan aku langsung membayangkan rasa
malu yang besar saat bertemu dengan orang-orang karena perubahan wajahku.
Dan tentu saja itu
benar dan terjadi. Aku memutuskan berangkat sekolah setelah melewati dua hari
libur dan menghabiskannya dengan menangis, juga tidak mau keluar kamar walau
Ayah dan Ibu sudah membujuk.
Awalnya tidak ada hal
buruk terjadi, karena Aku berangkat sekolah pun memakai masker. Kejadian buruk
itu terjadi ketika aku sudah berada di kelas. Teman-temanku semua langsung
membombardir dengan serentetan pertanyaan.
"Diba, kok mukamu
jadi gitu?" tanya salah satu teman perempuanku, namanya Sisi. Dia adalah
teman sebangkuku. Aku yang mendengar pertanyaan itu langsung menempelkan jari
telunjuk di bibir, mengisyaratkan agar Sisi tidak membuat kebisingan. Namun
keburuntungan memang tidak berpihak kepadaku.
"Ada apa?"
"Astaga,
Diba."
"Kok bisa sih?
Kamu makan apa? Kemaren baik-baik aja."
"Kenapa tiba-tiba
berjerawat gitu sih, Dib?"
"Ya ampun. Banyak
gitu jerawatnya, Dib?"
Begitulah kira-kira
mereka menyerbuku, tentunya masih banyak lagi. Aku pun melirik Sisi, dia malah
cengengesan tidak jelas seraya meminta maaf. Ya, mau bagaimana lagi, ini memang
tidak bisa dihindari, cepat atau lambat pasti akan terungkap.
"Gak papa. Aku
juga nggak tau kenapa bisa begini. Kata Ibu sih faktor pubertas. "Memang
benar. Setiap kali aku menangis dan murung, Ibu akan selalu mengatakan hal itu.
"Udah-udah. Kalian
kayak nggak pernah liat ginian." Aku sedikit lega karena Sisi membantuku
dalam situasi ini.
Karena pengusiran Sisi,
akhirnya mereka bubar. Namun aku masih bisa mendengar beberapa dari mereka yang
masih saja membicarakan keadaan wajahku dengan berbisik-bisik. Aku mencoba
mengabaikannya, tapi rasanya sulit. Aku tahu, di antara mereka, hanya satu atau
dua yang benar-benar tulus, dan selebihnya mereka melakukan itu hanya sekadar
formalitas atas nama 'teman sekelas'. Terkadang, seseorang itu hanya ingin tahu
bukan peduli. Walau begitu, Aku tetap berterima kasih. Karena di balik
ketidakpedulian mereka, itu mengajarkan aku tentang ketulusan dan kepedulian
antar sesama.
"Diba, maaf ya.
Kamu jangan sedih, ntar kita cari solusi bersama untuk perawatan muka
kamu."
Sisi adalah salah satu
dari mereka yang benar-benar perduli. Aku bisa memastikan hal itu. Jadi, Aku
pun mengangguk.
Sejak hari itu, aku
terus disemangati oleh kedua orang tuaku untuk tidak terlalu mempermasalahkan
wajahku, dan mereka rela untuk membiayai perawatan wajahku kepada dokter tapi
aku tidak mau, karena jujur saja, Aku tidak suka dengan cream yang
berasal dari sana. Sisi pun setiap hari selalu memberikan pengaruh positif.
Lambat laut Aku pun merasa terbiasa dengan keadaan mukaku yang berjerawat,
namun tidak sepenuhnya, Aku terkadang juga masih merasa sangat malu untuk
keluar jalan-jalan.
Suatu hari saat Aku
berada di ruang tamu, Aku sedang menjelajahi dunia maya. Hingga aku terpaku
pada salah satu akun perempuan. Kenapa aku tertarik kepada akun tersebut?
Karena kasus yang dimilikinya adalah sama dengan apa yang aku alami. Benar,
wajahnya ditumbuhi banyak jerawat, dan itu lebih banyak dari punyaku. Aku pun
melihat-lihat postingannya. Saat melihat, aku dibuat takjub dengan wajahnya ketika
memakai make up, sungguh cantik. Terlebih lagi aku dibuat takjub dan merasa
kecil adalah pada saat melihat postingannya yang menunjukkan wajahnya yang
tanpa dandan dengan bangga. Pun pada captionnya.
Perasaanku langsung
terenyuh. Bersalah karena membuat orang tua repot, bersalah karena menyiksa
diri sendiri dengan terus berpikiran buruk. Aku iri pada perempuan itu, aku
tidak bisa seberani dan sebangga dirinya. Namun saat itu aku langsung sadar. Aku kembali memantapkan hati, memperkokoh
perasaan, dan membangun ulang kebanggaan. Jadi, sejak melihat postingan itu, Aku
dengan sabar dan telaten merawat wajah
agar jerawatku hilang, pikiran juga sudah Aku atur kembali agar terus
berpikiran positif. Hingga sampai hari ini, Aku sudah sukses melewati masa itu.
Aku banyak berterima kasih kepada orang tuaku, Sisi, juga perempuan itu. Aku
merawat diriku sendiri dengan baik. Aku bahagia ... karena bahagia pada diri
sendiri membawaku terus merasakan rasa itu, entah aku berada di mana dan
melakukan apa.
Inilah sepenggal
kisahku saat remaja. Persoalan yang terlihat kecil, namun untuk seseorang yang
mengutamakan penampilan, itu adalah masalah yang besar. Untuk menutup kisah
singkat ini, Aku ingin memberikan sepatah dua patah lagi.
Apa pun warna kulitmu,
apa pun warna matamu, apa pun gaya rambutmu, tinggi, pendek, berjerawat,
bisulan, panuan, atau apa pun ... perempuan itu cantik. Kenapa? Karena hakikat
perempuan itu sudah ditakdirkan cantik. Yang membedakan adalah hati. Untuk kita,
para wanita, cintailah diri sendiri, berbanggalah. Jika sukses menanamkan hal
itu, kita akan bahagia dan bersyukur berlipat ganda.
Aku tidak menyesal
dengan insiden wajahku yang ditumbuhi jerawat, Aku banyak belajar dari hal itu.
Sekarang ... Aku bahagia di mana pun aku berada. Jadi setelah sepenggal kisah
ini, apa kalian sudah memiliki arti dari bahagia? Carilah arti itu, dan
tetaplah tersenyum. Mari merasakan bahagia yang sesungguhnya.
Comments
Post a Comment