Mata Kuliah Berbicara untuk Mahasiswa


        Berbicara menjadi tren akhir-akhir ini, ia menjadi senjata paling sering digunakan belakangan. Banyak bukti yang direkam oleh waktu sejak tahun 2016 hingga sekarang. Mulai dari pasukan demo berjilid-jilid yang ditujukan kepada mantan gubernur Jakarta, Ahok setelah pidato kontroversialnya mengenai surat Al-Maidah 51 di Pulau Pramuka pada akhir tahun 2016 lalu, hingga pemilihan capres-cawapres tahun 2019 yang memantik perdebatan di tahun sebelumnya, sepanjang tahun 2018 antar kubu 01 dan kubu 02. Hal tersebut tidak terlepas dari suara mahasiswa yang turut meramaikan jagat maya. Jika menurut Rene Descartes “Aku berpikir maka aku ada,” menururt mahasiswa, dengan mengemukakan pendapat, mereka menganggap diri mereka ada, mereka menganggap diri mereka diperhitungkan. Itulah sebabnya jika mereka diam, mereka akan dianggap hilang dan artinya mereka kehilangan panggung untuk mencapai tujuannya.

Perdebatan bahkan terus terjadi seusai pemilihan, dilanjut aksi demo oleh pendukung 02 yang menganggap pemilihan tidak murni suara rakyat. Tidak berhenti di situ, suara terus digaungkan baik dari kelompok-kelompok mahasiswa yang turun ke jalan, hingga melalui postingan yang bertebaran di media sosial mengenai penolakan terhadap UU KPK dan RKUHP pada akhir tahun 2019. Tidak ada yang salah dengan itu, demokrasi memang seharusnya memeliahara suara dan menampung kritik dari berbagai kalangan, tak terkecuali kelompok yang disebut-sebut sebagai agen perubahan itu. Di sisi lain, ada hal yang bisa kita ambil dari rentetan kejadian ini, kita bisa melihat bahwa manusia tidak bisa dipisahkan dengan hasratnya untuk selalu berbicara, ia akan terus mengeluarkan isi pikirannya untuk mencapai apa yang ia yakini sebagai kebenaran.

Susan Cain, seorang penulis asal Amerika memaparkan budaya berbicara tidak terlepas dari berkembangnya revolusi industri. “Kebangkitan industri adalah daya utama yang membangkitkan budaya ini,” tulisnya. Perkembangan budaya semacam ini terjadi menjelang abad dua puluh di Amerika, dan memiliki dampak hingga saat ini serta mulai diikuti oleh negara-negara berkembang salah satunya Indonesia. Perkembangan masyarakat dari masyarakat agrikultural yang mensyaratkan otot lengan untuk bekerja, hingga masyarakat industri teranyar yang menuntut kekuatan otot leher untuk berbicara. Dengan berlandaskan pada nilai-nilai saintifik, katanya, mahasiswa menjadi kelompok yang paling riuh dalam menyuarakan gagasannya dalam segala persoalan yang terjadi di setiap aspek kehidupan, tak terkecuali dunia perpolitikan.

Pada akhirnya berbicara menjadi tren yang diikuti oleh semua kalangan termasuk dalam sistem pembelajaran sekolah menengah, terbukti dengan terbentuknya kurikulum 2013 yang mewajibkan siswa lebih aktif berbicara daripada gurunya. Negara berusaha memenuhi permintaan pasar dengan membentuk manusia yang terus berbicara. Hal ini, bagi saya pribadi adalah hal positif yang harus dipertahnkan. Namun yang disayangkan, selagi seluruh masyarakat dunia mencoba melahirkan generasi yang lihai berbicara, ada satu hal yang dilupakan, sesuatu yang lebih penting dari sekedar berbicara, yaitu mempertimbangkan substansi dari hal yang dibicarakan. Dengan ringan kalimat ini menggaung di beberapa instansi pendidikan, baik luar negeri ataupun dalam negeri “Bicara apapun, yang penting berani!”.

Ketika semua orang berbicara, tidak ada ruang untuk saling mengerti. Publik dipenuhi oleh kebisingan tanpa ujung. Ini terjadi karena minimnya kesadaran untuk menahan dan menyaring ucapan termasuk dikalangan mahasiswa sendiri. Dunia menjadi riuh dengan perndapat-pendapat yang tidak dipertimbangkan. Perkataan para sahabat nabi, hadis nabi dan ayat suci Al-Qur’an mengenai pentingnya diam di situasi-situasi tertentu sudah tidak berlaku lagi. Seolah-olah semua itu kalah dengan tren berbicara saat ini. Mahasiswa sebagai tokoh utama yang mempopulerkan budaya berbicara berlomba-lomba mengomentari apapun yang dianggap tidak benar menurut versinya, sekalipun hal yang dibicarakan jauh dari bidang keahliannya. Berbicara berlebihan tanpa mengetahui batasan akan melahirkan caci maki dan kebencian, hal ini bisa dilihat dari beberapa postingan yang memprovokasi dan pidato yang berujung saling lapor dan bahkan saling mengancam nyawa.

Ketika berbicara, setidaknya mahasiswa harus mengetahui batasan-batasan seperti kapan harus mendengarkan dan mengerti lawan bicara, kapan harus berhenti dan menyadari kemampuannya terhadap hal yang dibicarakan dan kapan harus merenung serta berintrospeksi diri. Hal-hal inilah yang hilang dari dunia kita saat ini. Berdiskusi atau bertukar pikiran adalah aktifitas yang positif, kegitan ini akan melatih kemampuan berpikir dan bernalar mahasiswa, menambah pemikiran kritis dan  membuat pikiran menjadi lebih open-minded hanya jika dilakukan dengan pemahaman yang utuh dan logika yang benar terhadap hal yan dibicarakan. Jika tidak, diskusi tidak menghasilkan apa-apa, yang tersisa hanyalah debat kusir, logical fallacies atau bahkan berkontribusi dalam pengembangan hoax.

Mengemukakan pendapat dan kritik terhahadap suatu hal adalah hal baik dan sangat dibutuhkan. Namun akan berbeda apabila hal-hal yang disebutkan di paragraf sebelumnya terjadi. Jika demikian, solusi tidak akan ditemukan dan akan melahirkan masalah baru. Hal ini terjadi pada saat publik dibisingkan dengan isu UU Cipta Kerja, mahasiswa menjadi kelompok pertama yang merasa berhak berbicara dan tiba-tiba semua menjadi ahli hukum. Secara pribadi, saya tidak membenarkan semua yang dilakukan pemerintah, juga tidak dapat membenarkan yang dilakukan pendemo. Apa yang bisa kita pelajari adalah bagaimana sikap mahasiswa dan pemerintah itu sendiri. Semuanya ingin berbicara tanpa ada yang mau mendengarkan. Di satu sisi ada sekelompok mahasiswa yang mengekspresikan amarahnya dengan membakar halte (meskipun terakhir ditemukan bahwa itu bukan mahasiswa), beriringan, berteriak mengemukakan pendapat, entah pergi berdemo dengan pengetahuan lengkap terhadap hal yang dituntutnya atau tidak, sedangkan di sisi lain ada pemerintah yang entah mendengar keluhan rakyat atau tidak. Semuanya seolah tidak peduli pada apa yang terjadi dan pada apa yang dibutuhkan negeri ini, satu-satunya hal yang diinginkan keduanya adalah berbicara untuk memenuhi kepentingannya sendiri.

Mengenai kasus Ahok beberapa tahun lalu, mahasiswa seharusnya bersuara paling lantang untuk menganalisis kata per kata dan konteks ucapan Ahok dengan seluruh ilmu linguistik yang katanya dipelajari oleh mahasiswa bahasa. Untuk kegaduhan pemilihan umum mahasiswa seharusnya mampu meredam pertikaian dengan data statistik mengenai kedua pasangan calon yang katanya sudah dipelajari mahasiswa matematika dan ekonomi. Untuk revisi terhadap UU KPK dan UU Cipta Kerja seharusnya mahasiswa hukum menjadi bidak terdepan untuk mengadakan diskusi bersama mengenai draf yang tersebar di dunia maya sebelum melakukan tindakan turun ke jalan.

Dibuat : 05 Desember 2020



Comments